Pada awal tahun 2010 yang lalu, rumah saya kedatangan seorang bule dari Amerika, namanya Karen atau biasa dipanggil Miss (Ms.) Karen. Maksud kunjungannya adalah dalam rangkaian penelitiannya terhadap sekolah adik saya. Ms.Karen waktu itu tengah menjalani studi S3-nya di Columbia University dan disertasinya adalah tentang pendidikan Islam di Indonesia, dan salah satu yang menjadi subjek penelitian adalah SD adik saya, Al Azhar 31 Yogya. Kunjungannya ke rumah adalah untuk mewawancara orang tua serta saudara dari adik saya (ya termasuk saya sendiri).
Pada basa-basi awal sebelum wawancara, Ms.Karen bertanya-tanya mengenai daerah asal ayah dan ibu saya. Ayah saya yang orang Minang hanya mengatakan singkat, dia dari Sumatra. Usai wawancara, ibu saya menyuguhkan empek-empek kepada Ms.Karen. Dia kemudian bertanya, “From where this food from ?” Ibu saya menjawab, “Dari Palembang,” “Where is Palembang?” “In Sumatra.” Mendengar jawaban dari ibu saya itu, Ms.Karen menoleh kepada ayah saya dan berkata, “Oh, so you used to eat this food, right?” Karena ayah saya mengatakan sebelumnya bahwa dia dari Sumatra, Ms.Karen mengira ayah biasa makan empek-empek. “Oh no,” kata ayah saya, “This is from Palembang, South Sumatra. Different from me, I’m from Padang, West Sumatra,” Ms.Karen nampak sedikit bingung. Saya yang melihat kejadian itu, dalam hati hanya berkata, “Jadi begitukah pemikiran orang luar? Satu pulau, jadi budayanya pasti sama? Itu dikatakan oleh orang yang waktu itu sudah hampir setahun di Indonesia. Lalu apalagi dengan yang belum pernah ke Indonesia? Kata iklan : Belum tahu dia!”
Saya kemudian agak geregetan, dan membayangkan, seandainya Ms.Karen berkeliling lebih jauh lagi di Indonesia, bayangkan apa yang akan dia jumpai. Coba saja misalnya dia jalan-jalan dari Sumatra ujung Selatan sampai ke ujung Utara. Dia tidak hanya akan menjumpai perbedaan antara budaya Sumatra Selatan dengan Sumatra Barat lagi, tapi juga...silahkan hitung sendiri. Atau tidak perlu jauh-jauh, coba dia bandingkan budaya Betawi yang dia temui di Jakarta dengan budaya yang dia temui di Jogja. Atau lebih dekat lagi, coba dia berkeliling Jawa Tengah saja, dan temukan perbedaan aksennya. Entah bagaimana jadinya bila dia sempat melongok sedikit ke Kalimantan, atau Sulawesi, atau Indonesia bagian timur. Barangkali Ms.Karen sudah melakukannya, and I’m sure that she must say, “Oh my God!” (setahu saya, dia belakangan sempat ke Toraja dan Kalimantan).
Indonesia adalah Negara dengan tidak kurang dari 300 etnis atau suku yang berbeda-beda, dengan lebih dari 700 bahasa dan dialek yang berbeda-beda pula. Saya biasanya adalah orang peragu, tapi kali ini saya yakin 100% bahwa tidak ada Negara lain yang memiliki budaya lokal sekaya itu di dunia ini, lebih dari Indonesia! Bila Ms.Karen berkeliling Eropa, dia baru akan menjumpai budaya yang berbeda ketika dia telah melintasi batas negara. Apalagi kalau dia ke Jepang atau Korea. Atau kalau dia berkeliling Timur Tengah ataupun Amerika Latin, dia akan melihat negara-negara yang berbeda tapi budayanya mirip-mirip. Ms.Karen mungkin juga sudah pusing, melihat berbagai berita dari Afrika sana, di mana dalam satu negara yang baru punya dua etnis yang berbeda saja sudah perang saudara.
Di negaranya sendiri, Ms.Karen boleh jadi menemui budaya yang beraneka ragam. Tapi budaya A.S itu adalah budaya campuran dari berbagai bangsa dan negara. Sementara budaya-budaya yang ada di Indonesia adalah budaya pribumi asli alias indigenous alias ‘aborigines’. Inilah yang sangat khas dari Indonesia. Sehingga saya geregetan dan ingin sekali Ms.Karen atau juga orang-orang lain dari luar negeri berkeliling Indonesia dan melihat, bahwa inilah negara terkaya di dunia! Dan ini juga yang selalu membuat saya heran : kenapa kita mesti minder sebagai orang Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar