Halaman

Senin, 21 Juli 2014

Bukan Salah Islam

Fenomena religiusitas dalam kehidupan manusia dewasa ini mempunyai dua kutub. Di satu sisi, terdapat banyak kalangan yang semakin religius, sementara di sisi lain banyak yang makin meragukan agama ataupun malas menjalankannya.
Orang-orang merasa malas menjalankan perintah agamanya, atau tidak tertarik pada ajaran dan nilai-nilai agamanya, tentu memiliki alasan tersendiri. Karakter pribadi yang memang seorang pemalas, memang banyak menjadi alasan. Faktor seperti karakter dan kepribadian bisa disebut sabagai faktor internal yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang. Namun, terdapat pula faktor eksternal, di antaranya adalah faktor sosial. Faktor sosial inilah yang semakin dominan dalam mempengaruhi tingkat religiusitas seorang individu dalam tipikal masyarakat yang ada di era ini.
Di antara faktor sosial yang ada, antara lain menyangkut bagaimana individu yang bersangkutan melihat model dari orang-orang shaleh dan juga orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
 Beberapa tahun belakangan, banyak sekali kita menyaksikan (baik itu dari media massa, internet, maupun dari lingkungan dekat kita) orang-orang yang kita anggap menguasai ilmu agama, rajin ibadah, bahkan bisa kita sebut sebagai ustad atau kiyai, ternyata melakukan hal-hal yang itu jelas merupakan tindak kriminal dan juga dilarang agama. Banyak ustad yang diisukan melakukan pelecehan seksual. Ada beberapa ustad yang diduga melakukan penipuan. Ada seorang ketua partai yang kita kenal sangat Islami, ditangkap oleh KPK dengan tuduhan menerima suap. Terakhir, bahkan seorang menteri agama, juga terindikasi melakukan korupsi.
Orang-orang yang melihat kasus-kasus tersebut, merasa prihatin. Sayangnya, banyak di antara orang-orang yang prihatin tersebut, kemudian menjadi tidak tertarik juga kepada Islam, bahkan tidak sedikit yang jadi menjauhi ajaran Islam. Alasan yang kerap terlontar adalah “ustad, kiyai aja kelakukannya kayak gitu, sama aja. gw mah yang penting cukup baik sama orang aja, gak usah tinggi-tinggi ngejalanin agama.” Dengan kata lain, orang menjadi berpikir bahwa jikalau orang yang nampak taat beragama saja bisa berbuat negatif, lantas untuk apa kita juga taat beragama? Toh yang penting kan berbuat baik saja, ntar juga masuk surga.

Eitttsss…
Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah salah kaprah yang fatal. “Beribadah adalah urusan masing-masing dengan Allah” oke, itu benar. Jadi, soal bagaimana orang-orang yang kita pandang sebagai ustad atau kiyai itu berperilaku buruk, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Perkara Anda menganggap itu perbuatan yang salah, keliru, munafik, dsb., silahkan. Tetapi kemudian apabila mereka ‘seperti itu’, apakah lantas itu mempengaruhi keberagamaan Anda? Dalam hal ibadah, Anda adalah Anda, mereka adalah mereka, kita adalah kita. Tugas kita antar sesama manusia dalam hal ibadah hanyalah saling mengingatkan dan mungkin mengajarkan. Ini baru satu hal.
Kedua, perkara mereka mungkin sudah rajin beribadah, pengetahuan agamanya luas, namun masih memiliki beberapa perilaku negatif, itu bukan salah Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk korupsi, tidak menghargai wanita, berperilaku munafik, melakukan tindak kekerasan, atau perbuatan-perbuatan lain yang merugikan orang lain. Sama sekali tidak. Shalat sejatinya mendorong perbuatan ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan munkar. Puasa sejatinya melatih orang untuk mengendalikan diri. Ibadah haji sejatinya membentuk orang menjadi lebih bijak dalam berperilaku. Apabila ada orang yang sudah rajin shalat, ngaji, rajin puasa sunnah, atau sudah haji tapi kok tidak ada dampak kepada perilaku sosialnya, maka kekhusyukan dan pemaknaan mereka terhadap ibadah yang mereka jalankan itu patut dipertanyakan.
Ada juga pendapat yang sering muncul “makin paham seseorang tentang aturan agama, makin pandai pula dia mengakalinya.” Pendapat ini mungkin ada benarnya, tapi juga tidak bisa sepenuhnya disetujui. Sekali lagi, itu berpulang pada orangnya masing-masing. Kalau memang yang bersangkutan sudah punya niat yang salah, ya penyimpangan itulah yang akan mereka lakukan. Tapi banyak juga yang ilmu agamanya luas, dan perilakunya pun makin bijak. Kelompok yang niatnya keliru tadi, bisa jadi disebabkan banyak faktor samping : motivasi ekonomi, adanya kesempatan, tipe kepribadian, kepentingan politik, dll. Jadi, sama sekali bukan disebabkan oleh pengetahuan agama itu sendiri. Karena, lagi-lagi, agama sama sekali tidak mengajarkan perilaku menyimpang tersebut.


Jadi, kesimpulannya adalah : apapun yang dilakukan orang-orang yang kita anggap taat itu, biarin aja! Kalau kita mau beribadah ya beribadah aja. Kalau kita mau memperdalam agama, ya belajarlah. Udah, itu aja.