Halaman

Tampilkan postingan dengan label untuk Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label untuk Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 November 2013

Goyang Cesar Style


Beberapa bulan belakangan muncul fenomena joget yang begitu booming di Indonesia, yang sering disebut sebagai ‘Goyang Cesar’. Goyang cesar mulai dipromosikan dalam acara Yuk Kita Sahur yang ditayangkan oleh Tr*ns tv pada bulan Ramadhan lalu. Mungkin pihak tr*ns tv sendiri tidak pernah menyangka bahwa goyang cesar bakal begitu digemari oleh khayalak ramai di seluruh penjuru tanah air.
Saya pribadi kurang sepakat ketika banyak di antara teman-teman saya di social media yang bersikap sinis terhadap joget ini. Sejak awal kemunculannya, jujur saya menikmati joget ini. Melihat perkembangannya kemudian yang makin digemari oleh masyarakat, saya berpikir bahwa joget ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk promosi kesenian dangdut Indonesia ke dunia internasional. Misalnya melalui perwakilan-perwakilan PPI (pesatuan pelajar Indonesia) yang tersebar di berbagai negara, yang kemudian melalui media youtube, flashmob, atau semacamnya mempromosikan joget ini. Bayangan saya, joget ini tidak hanya akan menduniakan budaya Indonesia, tapi bahkan bisa mengalahkan fenomena Gangnam style.
Hanya saja, yang saya sayangkan, belakangan ini segala bentuk promosi joget ini lebih banyak cenderung ke arah komersialisasi. Berbagai pihak lebih sering menggunakan joget ini untuk menarik keuntungan belaka bagi usahanya. Di samping itu, juga timbul persaingan yang tidak sehat antar stasiun tv. Begitu goyang cesar booming, masing-masing stasiun tv seperti berlomba-lomba menciptakan jogetnya sendiri, demi keuntungan bisnisnya masing-masing tentunya.
Fenomena ini sungguh bukan yang saya harapkan. Dalam hal ini saya sama sekali bukannya membela tr*ns tv. Seandainya yang pertama kali memperkenalkan goyang cesar itu adalah r*ti, s*tv, a*tv, atau yang lainnya, saya tetap akan mendukungnya. Ketika ada suatu karya seni yang itu mengandung unsur yang kental akan budaya bangsa, dan kemudian booming, mestinya seluruh media massa yang ada mendukung karya tersebut dan membantu promosinya ke dunia Internasional.
Hal inilah yang dilakukan seluruh stasiun tv di Korea Selatan terhadap Gangnam Style, hingga menyebabkan dance tersebut terkenal ke seantero jagat. Tak peduli dari stasiun tv atau manajemen artis mana si Psy (penyanyi Gangnam style) berasal, ketika Gangnam style mulai populer dan dikenal di luar negeri, berbagai stasiun tv dan manajemen artis Korea yang lain lantas turut mendukungnya.
Apakah berarti saya melarang stasiun-stasiun tv lain untuk menciptakan joget juga? Tentu saja tidak. Itu hak masing-masing. Lho, saya juga suka kok dengan joget yang lain, seperti goyang campur-campur a*tv ataupun goyang gaspol r*ti. Kalau ada stasiun tv lain yang punya joget dangdut versi lain, ataupun karya seni lain yang juga berunsur budaya lokal, dan ternyata booming, maka stasiun-stasiun tv lain juga mesti mendukungnya, begitu seterusnya. Malah kalau seperti itu, justru bakal makin banyak macam karya seni Indonesia yang dipromosikan di luar negeri, dan secara tidak langsung nama Indonesia makin terkenal dalam kancah Internasional. Jadi, maksud saya di atas adalah, yang terpenting ‘perlombaan joget’ ini tidak lantas hanya untuk tujuan komersil semata. Semoga saja demikian.

Selasa, 29 Mei 2012

Pelajaran dari Korea


Akhir April lalu, saya mendapat kesempatan untuk berpergian ke luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidup saya, tepatnya ke Korea Selatan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ar Razaq yang telah memberi saya keberuntungan tersebut. Terima kasih juga kepada pihak Zimmer Institute yang telah mengundang dan membiayai segala akomodasi saya untuk ke dan selama di sana. Uniknya, Korea Selatan sebenarnya tidak termasuk dalam daftar 10 Negara yang ingin saya kunjungi , yang pernah saya tulis di blog ini pada sekitar bulan April tahun 2011 lalu, tepat setahun lah. Tapi, itulah misteri Ilahi.
Dahulunya, terutama pada masa-masa awal pasca Perang Korea dengan Korea Utara di sekitar era 1950 hingga 1970-an, Korsel bukanlah sebuah negara yang maju, bahkan tergolong miskin. Di saat di negara kita Bung Karno mampu menantang negara-negara Barat dan membuat keder bangsa-bangsa Asia lainnya, Korsel masih bergulat untuk bangkit dari kepayahan ekonomi. Bahkan di saat terjadi krisis moneter Internasional tahun 1998, mereka jauh lebih terpuruk daripada Indonesia. Tapi, kenapa dalam waktu yang relatif singkat mereka mampu berubah wujud menjadi negara maju, bahkan mulai dapat melebihi negara-negara tetangganya seperti Jepang dan China?
Berikut ini beberapa hal yang saya cermati dan rasakan selama di sana, dan ternyata banyak sekali yang berbeda dibandingkan dengan yang saya jumpai di Indonesia, terutama dari segi perilaku manusianya :

1.      Bersih
kalau di taman monas, kira-kira mau gak ya bule-bule itu tiduran kayak begini?

Jujur, saya shock ketika berjalan-jalan di ‘alun-alun’ kota Seoul di hari terakhir saya di Korea. Alun-alun tersebut berada di pusat sebuah kota megapolitan. Anda tentu akan membayangkan lalu-lintas padat, dan membuat taman kota itu menjadi bising, kotor, dan kurang nyaman. Anda salah besar! Ya, lalu lintas di sekitarnya memang sangat padat dan kadang macet. Tapi alun-alun itu sendiri sangat amat bersih. Bahkan, udara di sekitar rumah saya di sebuah dusun (catet : dusun) di Sleman Utara tidak pernah sebersih itu! Ini sungguh sesuatu yang ironis bagi saya.

Tempat sampah di kota Seoul sangat jarang, barangkali tiap 50-100 meter barulah kita ketemu dengan tong sampah. Tapi, jalanannya bersih luar biasa, nyaris tidak ada sampah plastik atau kertas yang berserakan. Saya tidak berlebihan. Saya ke sana bersama dengan dua orang dokter yang sebelumnya sudah pernah ke Jerman dan Amerika, dan mereka sepakat mengatakan bahwa kedua negara tersebut tidak sebersih Seoul.

Sekarang, coba bandingkan itu semua dengan Jakarta. Ah, rasanya gak usah dibandingkan deh, sangat kentara sekali perbedaannya. Kebersihan adalah salah satu perlambang kerapian dan ketertiban berpikir seorang individu. Jika itu mewujud dalam sebuah sistem tatanan sosial yang lebih besar seperti kota, maka itulah lambang ketertiban warga setempat. Lingkungan yang bersih juga mampu membuat kita merasa nyaman dan sehat dalam beraktivitas, yang dampaknya akan mampu meningkatkan kinerja. Jadi, sebelum bicara masalah apapun terkait poleksosbud, lebih baik diawali dulu dengan membuat Indonesia bersih. Kalau Indonesia bersih, itu adalah langkah pertama membuat kinerja bangsa menjadi lebih baik.

2. Menghargai dan mencintai milik bangsa sendiri

foto pertama begitu menjejakkan kaki di Korea,
langsung nampak bagaimana mereka begitu membanggakan 'milik sendiri'

Saat ini demam K-Pop dan Hallyu (budaya Korea) sedang gencar-gencarnya menginvasi dan menguasai pasar Indonesia. Sebelum berangkat ke Korea, saya sempat bertanya-tanya, seperti apa kalau di negara asalnya sendiri? Ternyata, memang lebih ‘parah’. Di manapun toko, pasar, restoran, kantor, supermarket, bahkan di jalanan, semuanya senantiasa memutar lagu-lagu K-Pop. Di baliho-baliho, banner-banner, semua tempat pemasangan iklan, yang ditonjolkan adalah artis-artis Drama Korea. Saya nyaris tidak menemukan adanya lagu-lagu barat yang diputar di area umum, begitu pula dengan artis-artis Hollywood yang  sangat jarang ada di berbagai baliho.

Rupanya begitulah cara bangsa Korea begitu menghargai dan mencintai kepunyaannya sendiri. Penghargaan seperti itulah yang membuat mereka bangga dan termotivasi untuk mempromosikan budayanya ke negara-negara lain, hingga bisa mewabah seperti sekarang ini. Sementara di tempat kita? Lagu dangdut dan campursari dianggap kampungan, norak, gak pantas diputar di tempat-tempat elite, dan berbagai bentuk ‘under-estimating’ lain. Hei, bagaimana budaya kita mau terkenal dan diakui dunia, kalau bangsanya sendiri aja menganggap remeh seperti itu! Kita malah asyik dan bangga dengan punya orang lain.

Nggak cuma soal seni. Hampir semua mobil di sana menggunakan Hyundai dan KIA, produk domestik mereka sendiri. Hampir semua barang elektronik menggunakan Samsung dan LG. Okelah, mungkin kualitas produk teknologi kita nggak secanggih mereka. Tapi, kita harus ingat bahwa kita sebenarnya masih punya banyak ilmuwan dan ahli I.T yang cerdas-cerdas..eh...jenius. Namun sayang, seringkali penemuan mereka nggak dipedulikan (apalagi oleh pemerintah), hingga akhirnya mereka memilih berkarir di luar negeri saja. Jadilah kita nggak kebagian pinternya mereka.
Padahal kalau kita mau berdikari dan tidak banyak mengimpor seperti sekarang, saya haqqul yakin kita bisa lebih maju dari bangsa Asia manapun. Bukannya kita semua tahu kalau negara kita kaya SDA dan budaya? Tapi, lari ke man...ah, basa-basi seperti ini sudah sering saya dengar dan baca, tapi tetap nggak perah ada tindak lanjut yang nyata. Kalau emang pemerintahnya nggak bisa diharapin, ya udah deh, mulai aja dari lingkup kecil dulu.

3. Kerja keras lebih dari yang lain


Jam berapa para karyawan di Jogjakarta pulang kantor? Jam berapa para pengusaha di Jakarta pulang kerja? Saya mungkin ada 2-3 hari di Seoul di mana saya masih berada di jalanan hingga pukul 23.30 malam waktu setempat. Jam segitu, jalanan di Seoul masih sangat padat dan ramai dengan kendaraan. Di Indonesia, saya termasuk orang yang berjalan lebih cepat daripada orang lain. Tapi begitu di sana, ternyata semua orang berjalan lebih cepat daripada saya!

Saya bukan termasuk tipe orang yang bekerja dan berpikir secara cepat, mungkin karena terlalu hati-hati. Kecepatan berjalan saya sama sekali tidak berbanding lurus dengan kecekatan kerja saya. Tapi nampaknya tidak demikian dengan orang Korea. Kecepatan berjalan mereka ternyata memang sesuai dengan bagaimana mereka bekerja. Saya sangat jarang melihat ada orang yang berleha-leha, nongkrong di jalan sambil bersendau gurau, kecuali mungkin di rumah makan atau kafe yang memang tempatnya istirahat. Konon, orang Korea punya pepatah seperti ini : “Saat orang lain tidur, kita harus bangun. Saat orang lain bangun, kita harus berdiri. Saat orang lain berdiri, kita harus berjalan. Saat orang lain berjalan, kita harus berlari. Saat orang berlari, kita harus terbang.”

Pada medio 1990-an hingga awal 2000-an, Korea Selatan menyadari bahwa mereka telah tertinggal jauh dari para negara tetangganya seperti Jepang dan China. Maka, tak ada cara lain kecuali mereka harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras dan lebih produktif daripada kedua negara itu. Inilah cikal bakal akhirnya Korsel kini bisa mewujudkan impiannya.

Kita? Bisanya cuma marah-marah melihat tingkah Malaysia. Atau hanya bengong saja melihat kemajuan Singapura. Tidak ada, sama sekali tidak ada hal positif yang kita lakukan. Para pekerja - khususnya kerah putih – di negara kita tetap saja lebih malas dari negara lain. Lihat saja yang terjadi di kantor-kantor pemda atau dinas pemerintah sepanjang hari. Lebih banyak mana baca koran dan main catur daripada kerjanya? Karyawan swasta juga begitu-gitu saja kerjanya : yang penting sesuai prosedur dan perintah bos, itu sudah cukup. Akhirnya yang kaya ya bos-bosnya saja. Sementara, mereka yang betul-betul bekerja keras seperti tukang becak, pemulung, pedagang keliling, ya hanya gitu-gitu saja hidupnya. Untuk yang satu ini, salah siapa? Ah, saya gak mau nyari-nyari kesalahan. Mungkin salah saya juga, tidak bertindak dan beraksi. Saya saja, atau ada yang lain nih?

4.  Disiplin
kapan ya ngantri busway bisa kayak gini? -gak pake umpek-umpekan dan rapi

Saya termasuk orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Saya juga terbiasa dengan budaya molor di berbagai organisasi yang saya ikuti selama ini. Begitu saya mengikuti workshop di luar negeri untuk pertama kalinya (catet : betul-betul pertama kali), langsung saja saya mendapat tamparan keras. Gara-gara, maaf, pub dan mandi teralu lama, saya terlambat naik ke bus yang akan membawa kami dari penginapan menuju Yonsei University. Kontan rekan saya memarahi saya habis-habisan karena teman-teman dari negara lain dan profesor yang akan mengisi seminar sudah menunggu. Jadwal berangkat pukul 08.00, pukul 07.50 para panitia sudah betul-betul siap. Hal ini sama sekali tidak pernah saya temui seumur hidup saya beraktivitas sosial di Indonesia. Yang ada, jadwal acara misalnya harusnya mulai jam 8, jam 10 baru mulai deh tuh. Jadilah saya terkaget-kaget begitu menghadapi kenyataan yang sangat berbeda, di belahan dunia yang lain.

Berdasar pengalaman itu, barulah saya paham kenapa seorang teman saya di Senyum Community yang dulu pernah sekolah di Korea, dia selalu datang tepat waktu tiap kali rapat. Hmm...rasanya untuk yang satu ini saya tidak perlu banyak basa-basi. Anda bayangkan saja bagaimana seandainya semua orang Indonesia bisa disiplin waktu seperti teman saya ini.

Bukan cuma disiplin waktu, tapi juga dalam menaati peraturan. Paling mudah adalah soal lampu merah. Jangankan kendaraan, di Korea orang jalan kaki saja sangat patuh pada traffic light. Pernah suatu kali, jalanan sepi. Di kedua sisi trotoar, pejalan kaki sudah padat dan siap untuk menyeberang, termasuk saya. Tapi karena lampu traffic masih menyala merah untuk pejalan kaki, mereka tidak maju selangkah pun! Saya hanya bisa membatin waktu itu , “coba kalau ini di Indonesia, pasti dah pada nyeberang tuh”. Jangankan jalanan sepi, jalanan ramai saja gak peduli : lampu kuning = ngebut, coy! Inilah masalahnya : di Indonesia, peraturan dibuat untuk dilanggar. Jangankan warga, yang bikin peraturan sendiri saja juga melanggar koq!

Apapun yang saya tulis ini sama sekali bukan berarti saya begitu mengagumi Korsel dan ‘menyesal’ jadi orang Indonesia. Justru sebaliknya, karena saya begitu percaya bahwa kita memiliki potensi yang jauh lebih banyak daripada mereka, hingga seharusnya dan tentunya kita bisa lebih maju daripada mereka. Kalau sekarang kenyataannya tidak, yaaa...semua berpulang pada manusianya. Karena Yang Di Atas telah menitipkan, dan gimana jadinya titipan itu ya pinter-pinternya + bener-kagaknya yang ngelola. 

Jumat, 09 Desember 2011

Winter Olympic Jayawijaya 2022



Jujur, saya meneteskan air mata ketika melihat foto-foto pegunungan Jayawijaya di Google (apalagi kalau ke sana ya?). Sungguh, kurang apa lagi anugerah yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Kita sudah memiliki 60 % dari total spesies tumbuhan di dunia, wilayah laut terluas di dunia, cadangan minyak 9,7 juta barel, 30 % mamalia dunia, 30.000 jenis tanaman obat, terumbu karang terkaya, cadangan gas alam terbesar ke-6 di dunia, bahkan hingga salju pun ada di Indonesia yang padahal adalah negara tropis. Akan tetapi, sungguh ironis karena kita tidak mampu memanfaatkannya untuk kemakmuran kita sendiri. Semuanya habis diambil perusahaan asing dan rakyat kita sendiri malah kelaparan. Itulah yang membuat saya sangat sedih.

Mungkin saking sedihnya, hingga otak saya konslet dan terbesitlah ide gila (kalau tidak bisa dibilang ekstrim) : menyelenggarakan Winter Olympic alias Olimpiade Musim Dingin di pegunungan Jayawijaya, khususnya Puncak Jaya. Mimpi? Nggak juga. Bukannya Indonesia lagi ‘hobi’ jadi tuan rumah event-event Internasional? Daripada nungguin niat nggak jelas ala PSSI untuk jadi tuan rumah Piala Dunia, mending KONI yang ‘sedikit’ lebih jelas organisasinya bisa mencoba merealisasikan ide ini.
Mustahil? Siapa bilang? Singapura dan UEA (Uni Emirat Arab) yang lahannya terbatas bisa jadi tuan rumah berbagai macam ajang internasional, dengan membangun pulau buatan dan sebagainya. Monako, salah satu negara terkecil di dunia, menyulap jalan rayanya jadi arena balap F1. Terkait olimpiade musim dingin ini sendiri, negara-negara tropis macam Jamaika, Madagaskar, sampai negara tetangga kita seperti Thailand dan Filipina nyatanya bisa turut berpartisipasi sebagai kontingen. Sementara ini, yang kemungkinan mengajukan diri (bidding) untuk jadi tuan rumah Winter Olympic 2022 baru negara-negara dingin klasik seperti Eropa dan A.S. Siapa tahu, ketika kita ikut bidding, panitia pemilihan malah jadi tertarik dan kagum, “Winter olympic in tropical country? Wow, that’s impressive! We’re gonna see the most unique olympic ever!”

Memang, akan ada sejumlah hambatan besar tentunya, seperti yang akan saya sebutkan berikut ini. Tapi, di sisi lain sebenarnya semuanya bisa diakali.
Pertama, soal venue. Okelah, untuk cabang-cabang outdoor kita bisa gunakan gunung Carstensz Pyramid dan sekitarnya itu. Tapi bagaimana dengan cabang-cabang indoor, seperti hoki es dan figure skating? Mungkin untuk yang satu ini kita bisa mengebut pembangunan gedungnya, sebagaimana kita mengebut pembangunan sejumlah venue SEA Games di Palembang kemarin. Tapi jangan lupakan juga, untuk yang outdoor pun banyak yang mesti ditata ulang dari lokasi yang ada. Selama ini Pegunungan Jayawijaya jarang, bahkan tidak pernah digunakan untuk wisata dan olahraga es, seperti untuk ski, luge, skeleton, skating, dsb., kecuali untuk pendakian semata. Memang di sana ada Taman Nasional Lorentz, tapi lebih banyak terfokus pada ekosistem tropis yang ada di sekitar Jayawijaya dan Yahukimo.
Semua ini nantinya akan berkaitan juga dengan masalah akomodasi dan transportasi. Selama ini, setidaknya ada 2 jalur yang bisa dan biasa digunakan oleh pendaki wisata untuk menuju Carstensz. Satu adalah melalui jalur desa Ilaga, dan yang lain adalah via helikopter menuju bukit danau. Sebenarnya juga bisa lewat area Tembagapura tambang emasnya Freeport, tapi butuh perizinan ribet dan medannya juga lebih terjal dan berbahaya. Bahkan, di sana tidak dibangun kereta gantung, selain untuk keperluan pertambangan Freeport.

Kelihatan bukan, bahwa sebelum bicara soal biaya dan teknis tata ulang daerah, ada satu biang kerok yang menghambat pengatasan kedua masalah tersebut : Freeport. Panitia winter olympic Sochi (Russia) 2014 merasa paling kerepotan karena harus merelokasi warga-warga yang ada di sekitar pegunungan tersebut. Di Papua, masalahnya akan lebih rumit dari itu. Sudah sejak zaman bahula konflik rakyat Papua vs freeport terjadi, dan telah menyangkut persoalan ekonomi, keamanan, hingga politik. Maka, mau tak mau pemerintah harus menyelesaikan masalah ini jika betul-betul ingin maju ke arena host bidding. Kepada masyarakat setempat, mesti dilakukan pendekatan budaya dan ekonomi. Buang jauh pendekatan militer. Kepada pihak freeport, saya rasa dari dulu cuma satu solusinya : ambil alih! Nggak ada yang lain. Selama kita masih ‘manut’ dan membiarkan saja perusahaan asing itu mengeruk kekayaan alam tanpa memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat setempat, ini masalah nggak akan selesai. Rakyat Papua sebenarnya hanya butuh keadilan, dan demi mereka, kita tidak boleh takut pada A.S dan kawan-kawannya.

sumber gambar : wisatamelayu.com
Sepertinya pembicaraan saya mulai merembet. Tapi memang itulah masalah pokoknya. Kalau soal konflik sosial sudah selesai, maka dampak positifnya akan terasa bagi Indonesia dan rakyat Papua. Salah satunya ya soal persiapan winter olympic ini. Pendekatan budaya dan ekonomi seperti yang saya bilang, mutlak perlu diterapkan pada masyarakat setempat. Jadikan adanya event winter olympic ini sebagai lahan mencari keuntungan bagi mereka. Winter olympic adalah event kelas dunia dan akan ada ratusan tamu asing yang datang, mulai dari atlet dan ofisialnya, pejabat publik, artis, hingga turis. Inilah yang perlu ditekankan pada masyarakat, dan tentu mereka akan senang dengan peluang emas ini.
Setelah pemerintah dan warga bisa bekerjasama, tata ulang dan renovasi akan enak dilaksanakan. Soal keamanan juga menjadi lebih terjamin. Kita bisa mulai membuat akses baru menuju Carstensz Pyramid yang lebih aman dan mudah, tapi tetap menantang dan eksotik. Dalam hal ini sarana dan prasarana trasnportasi perlu ditambah. Di situ juga bisa turut dibangun penginapan-penginapan, apalagi kalau lokasinya di dekat desa tradisional, biasanya bule-bule suka yang seperti itu. Tema ‘Indigenous Tropical Winter’ sepertinya menarik untuk diangkat nih. Apalagi dengan turut memanfaatkan Taman Lorentz berikut pemandangan indahnya.
Kemudian paling pokok tentu saja pembangunan arena-arenanya. Apabila asumsinya kita terpilih pada bidding 2015 dan olimpiadenya baru akan dilaksanakan pada 2022, maka waktu 7 tahun sekiranya cukup untuk persiapan. Asumsi biaya sekitar 5,7 miliar U.S dollar juga bisa diatur jauh-jauh hari. Yang terpenting, semua lokasi ini bisa digunakan untuk jangka panjang pasca olimpiade, yaitu seterusnya menjadi tempat wisata Internasional yang menguntungkan. Menarik bukan?

Lorentz National Park
Kemudian, soal panitia lokal. Menurut saya, ini seharusnya sama sekali bukan masalah jika orang-orang kita ini kompeten, bertanggung jawab, dan cukup punya nurani. Tapi lihat yang terjadi selama SEA Games 2011 kemarin. Mana yang korupsi wisma atlet lah, isu pengaturan skor lah, panitia dibilang nggak profesional lah, penonton nggak tertib lah, aduh pusing.. Saya kira anda sendiri tahu apa sih masalahnya dan gimana cara penyelesaiannya. Sudah banyak yang membahas soal ini dan capek rasanya. Tapi, sungguh saya yakin sebenarnya dalam dada bangsa kita masih tersimpan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Sense itu itulah yang perlu ditembak, agar masyarakat serta panitia terpantik dan sadar, “ini adalah event dunia, nama Indonesia dipertaruhkan di sini. Jadi, saya harus bisa membuat event ini berjalan selancar dan sebersih mungkin,” Yakin! Toh, keuntungannya juga untuk kita sendiri. (kecuali kalau ada yang mau mencari keuntungan ekstra lewat ‘jalur’ lain, itu beda cerita - penyakit bangsa, ckckck)

Di samping itu, masih ada satu masalah krusial lagi. Yaitu soal salju di Jayawijaya dan Puncak Jaya itu sendiri. Diperkirakan kuantitas salju di beberapa pegunungan di dunia, seperti Himalaya, Andes, Patagonia, hingga Jayawijaya akan terus berkurang tiap tahunnya, menyusul terjadinya Global Warming. Bahkan, diprediksi akan menghilang dalam waktu beberapa tahun ke depan, sebagaimana yang sudah terjadi di Kilimanjaro. Oke, ini adalah faktor alam. Tapi, kita semua tentu sudah hafal, apa penyebab global warming itu dan siapa pelakunya. Tak lain adalah manusia sendiri. Nah, dengan demikian, si manusia itu tentu mampu untuk mengatasinya. Dalam kasus Jayawijaya ini, setidaknya bisa menekan angka penurunan lapisan es yang ada. Saya bukan ahli geologi, tapi saya yakin di Indonesia ini banyak scientist yang mampu mencari solusi atas hal ini. Bahkan di Papua sendiri sudah banyak bibit-bibit ilmuwannya, hasil didikan pak Yohanes Surya contohnya.

Jadi, kesimpulannya, selama Indonesia mampu secara mandiri dan otonom memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki, serta membentuk sumber daya manusia yang kompeten dan bermoral, sangat mudah bagi kita untuk melakukan sesuatu yang positif yang mampu membuka mata dunia Internasional. Lebih khusus, termasuk memperhatikan daerah-daerah yang sebenarnya potensial tapi selama ini kurang terakomodir atau malah terlupakan. Faktor alam yang aslinya sulit dikendalikan pun dapat kita kontrol dan optimalkan. Dan, ‘the most unique winter olympic ever’ yang dibilang si panitia bidding tadi bukan lagi sebuah impian. 

Rabu, 02 November 2011

Ayu Ting Ting jadi Personil SNSD ?



Ini bukanlah sebuah tulisan kontradiktif. Memang, dalam tulisan sebelumnya, saya pernah membahas mengenai Girlband Korea impian, tapi ya memang yang saya sukai dari Korea hanya girlband-girlband nya. Itu pun saya menyukai mereka sebagai seorang cowok normal - yang tentu senang melihat wanita-wanita cantik menari dan menyanyi apalagi kalau lagunya enak – dan sama sekali bukan sebagai penggemar K-pop. Sekali lagi, saya bukan penggemar K-pop. Lihat saja di daftar 6 Boyband Terfavorit yang pernah saya tulis, tidak ada boyband Korea. Sementara satu-satunya serial drama Korea yang pernah saya tonton hanyalah ‘Heading to the Ground’, itupun karena temanya tentang sepakbola. 

Sekali lagi, saya InsyaAllah dan semoga bukan orang yang munafik. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengutarakan keheranan saya yang sangat terhadap bagaimana budaya K-pop bisa over popular di negara kita. Bagaimana bisa muncul boyband-boyband dan girlband-girlband baru yang semuanya berorientasi ke boyband-girlband Korea. Gaya-gaya fashion ala korea pun sangat digemari dan ditiru oleh anak-anak muda kita. Hmm...mungkin ini lah contoh latahnya orang Indonesia. Saya masih ingat, bagaimana dulu sekitar tahun 2004-2007 budaya J-pop, harajuku, dan cosplay dari Jepang sempat begitu mewabah, dan sekarang nyatanya sudah mulai berkurang. Mundur lagi ke belakang, popularitas F4 sempat membuat kaum ABG Indonesia di awal 2000-an keranjingan budaya mandarin. Kemudian waktu Kuch Kuch Hota Hai booming tahun 2000, semua jadi tergila-gila film dan tarian India. 

Saya hanya merasa bahwa bangsa kita ini seringkali minder dengan bangsa lain, sehingga malu dengan budaya sendiri dan menjadi mudah dikuasai budaya bangsa lain. Pertanyaannya : emang pantas kita minder? Hei, budaya dan potensi SDM Indonesia adalah yang terbaik di dunia!! Ini bukan omong kosong, sama sekali bukan.
Oke, karena saat ini yang akan saya bahas adalah wabah K-pop, maka coba kita bandingkan. Khususnya adalah soal boyband-girlband.

Pertama, soal wajah. Agnes Monica, Nindy, Audi Item, Aura Kasih, BCL, Rossa, dan masih banyak lagi. Mereka adalah penyanyi-penyanyi bersuara bagus dan sekaligus berwajah rupawan, dan kita semua tahu wajah cantik mereka itu murni ciptaan Tuhan. Sebagian mungkin sedikit tertolong make up, tapi sekalipun ketika tidak berias, saya lihat wajah mereka setidaknya tetaplah manis dan enak dilihat. Sedangkan para penyanyi Korea? Sudah menjadi rahasia umum, dari mana wajah cantik mereka berasal. Mungkin mereka kekurangan penduduk, sehingga sulit mencari yang bersuara indah dan cantik sekaligus. Makanya solusinya adalah dengan memberi sedikit (atau banyak?) sentuhan dokter bedah. Berbeda dengan kita, yang punya 100 juta lebih penduduk wanita berusia muda, hingga kita bisa sampai ke pelosok desa-desa untuk mencari yang berwajah manis dan bersuara bagus, dan itu tidaklah sulit. 


Kedua, soal suara / vokal. Mereka penyanyi bukan? Jadi, mana yang lebih penting : suara atau penampilan fisik? ABG-ABG cewek berteriak-teriak melihat kegantengan para personil SuJu atau Shinee. Ketika Smash muncul, banyak yang mencibir mereka ikut-ikutan, menjiplak, dan sebagainya. Oke, saya mau bertanya sama kalian, para boyband Indonesia. Ngapain sih kalian ikut-ikutan style dari Korea? Saya kasih tahu ya, kalian punya modal lebih baik dari mereka : suara kalian itu lebih bagus!! (Bisma misalnya, suaramu sekarang sudah lebih bagus dari Lee Teuk! Kalau Kyuhyun okelah mungkin lebih bagus dikit dari Rafael) Ya, orang Indonesia menurut banyak penelitian itu memang diberikan anugrah berupa suara dasar yang bagus, dan ini biasanya dikarenakan faktor fisiologis dan lingkungan. Contohnya orang-orang Batak, Manado, dan Ambon, yang dari sananya suaranya sudah indah. Korea? Udah training bertahun-tahun tetep aja suaranya pas-pasan. Okelah, ada beberapa yang suaranya memang bagus seperti 2NE1, Big Bang, 2PM, 2AM, Wonder Girls, atau Brown Eyed Girls. Tapi yang lainnya? 
Kalian yang fans-nya boyband-girlband lain boleh melempari saya pakai tomat. Tapi, cobalah kalian dengarkan baik-baik suara boyband-girlband Korea itu, terutama ketika mereka live performance. Cobalah dengarkan pakai headset, dengarkan versi mr.Removed-nya baik-baik. Tidak sekedar mendengarkan, tapi dipikir baik-baik. Atau coba bandingkan dengan boyband-girlband Indonesia masa lalu (AB Three, RSD, Trio Libel, dsb.) misalnya. Nanti akan terlihat nyata di mana letak kualitas vokal mereka. Tolong ya, masa’ sudah lypsinc saja masih tetap dibela, itu nggak realistis namanya. Kalau kalian memang suka dan sayang sama mereka, justru seharusnya kalian bisa kritis terhadap mereka. Suporter sepakbola yang dikenal anarkis itu saja masih lebih realistis. Buktinya, kalau tim kesayangannya kalah, mereka akan tetap loyal dan mendukung di satu sisi, tapi di sisi lain juga mengkritik dan memberi masukan. Saya tidak pernah mendengar suporter MU atau Barcelona, ketika timnya bermain buruk, tetap dibilang bermain bagus.


Ketiga, soal dance dan musik. Saya melihat musik Korea itu umumnya adalah remix dari R&B dan hip hop milik barat. Begitu pula dance-nya, yang memodifikasi street dance milik A.S. Sementara budaya asli mereka sendiri bersifat homogen alias cuma 1 karakter. Indonesia? Kita punya sekitar 19 macam corak musik tradisional dan tidak kurang dari 105 jenis tarian daerah. Masa’ segitu kayanya nggak dimanfaatkan?!! Terus, ngapain gunanya kita dulu ngucapin Sumpah Pemuda? Ya, Bung Karno, M.Yamin, atau Soegondo Joyopuspito pasti akan menangis prihatin melihat latahnya anak-anak muda sekarang ngikutin budaya luar. Maaf, tapi saya cuma mau mengingatkan kepada mereka yang membentuk boyband-girlband baru, bahwa kita punya gaya dan budaya sendiri yang jauh lebih kaya, indah, dan luhur. Contohnya, saya yakin, TaeYeon atau Hyorin Sistar sekalipun belum tentu bisa menyanyi dalam cengkok dangdut. Indonesia punya tembang Jawa atau musik Dayak yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari musik Rap. Jadi nggak perlulah ngikutin punya luar. Tuntutan pasar? Saya yakin, ketika kita tampil berbeda dari umum, justru itu akan menarik perhatian publik dan niscaya akan laku dijual! Apalagi kalau itu sudah membawa kebanggaan Nasional, maka pasar musik mancanegara akan tertarik. Nggak percaya? Coba aja!


Saya pernah menulis mengenai the Divers, sebuah girlband Indonesia impian saya. Kira-kira seperti itulah konsep girlband Indonesia yang seharusnya menurut saya. Cantiknya alamiah, suaranya bagus dan terlatih, serta membawa unsur-unsur budaya lokal Indonesia dalam setiap musik dan dance-nya. Ah, saya berharap ada produser yang mewujudkan khayalan itu. Atau setidaknya, biarkanlah terlebih dahulu Ayu Ting Ting masuk jadi personil SNSD. 
Ngomong-ngomong, bagi orang-orang Korea yang membaca ini, saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan negara anda. Justru sebaliknya, saya begitu mengagumi bagaimana negara anda bisa berkarya secara maksimal dengan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, negara kami perlu banyak belajar pada negara anda terkait strategi promosi dan penguasaan pasar.

Rabu, 21 September 2011

Malin Kundang in Disney


Since their born in 1923, Disney Company has released a lot of cartoon and animated movies. Almost all of those movies have their story based on many different countries or culture. 
For example, Aladdin that based on Middle East fairy tales, Mulan (Chinese), Jungle Book (India), Pocahontas (Indian), Emperor’s New Groove (Latin), Lilo & Stitch (Caribbean), and so many other stories from Classic European like Cinderella, Princess & Frog, Beauty & the Beast, Peter Pan, and so on. 

This article based on my worried about, “why there is no Indonesian?” 
Indonesia is a country with a kind of diversities and rich culture, due to its 300 diferrent ethnics in this country. Those diversity include the diversity of indigenous clothes, music, languange, and also the fairy tales. 
Malin Kundang
Each region in Indonesia has its own fairy tales or commonly called 'Cerita Rakyat'. For example : Malin Kundang from West Sumatra; Roro Jonggrang, Timun Mas, Bawang Merah-Bawang Putih, Ande-ande lumut (Java); Jayaprana (Bali); the Beginning of Toba Lake (North Sumatra); Tangkuban Perahu (Sunda, West Java); si Pitung (Jakarta); Hang Tuah (Riau); 7 Boys (Aceh); Animal Soccer, Kekekow and Poor Girl (Sulawesi); the Crying Stone, Patin Fish (Borneo); Copper Crocodile (Maluku); or Peu Mana Meinegaka Sawai (Papua). There are so many other fairy tales. 
And, you know? That stories have different style one another!
Timun Mas
So, I think there is no reason for Disney to not create an animated movie that has a setting in Indonesia.
You have too much choice, man! 
I hope you, whoever work in Disney Company, or whoever has a link to Disney, can tell your boss or your colleagues about this. I guarantee, it will be interesting. You can prove yourself : If you go to Indonesia, you can see how Indonesian kids still and will always love this stories. I’m sure, that also will be happen to the other kids in the other countries. 
Bawang Merah-Bawang putih
If you want to know more about Indonesian fairy tales, you can browse, by either the stories that I’ve mentioned in 3rd paragraph or ‘cerita rakyat’, as the keyword. Trust me, you will say, “I must see this story in Disney movies!”



NB : saya sengaja menuliskan artikel ini dalam bahasa Inggris, dengan harapan akan ada orang Disney yang membaca, kemudian menjadi jalan untuk dibuatnya film Disney yang bersetting cerita rakyat Indonesia, sebagaimana tujuan dari tulisan ini. 

Kamis, 15 September 2011

Miss Angola and Us


Baru-baru ini dilangsungkan perhelatan Miss Universe tahun 2011, dengan hasil pemenangnya adalah Miss Angola, Leila Lopes. Bicara soal Miss Angola, saya jadi ingat sebuah acara talkshow populer di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Sekitar tahun 2009, dalam salah satu segment di program tersebut, ada karakter yang disebut Miss Angola yang diperankan oleh salah seorang host acara tersebut, PP (inisial), yang biasanya selalu kebagian dikerjai. Dalam perannya sebagai Miss Angola itu, dia didandani dengan lumuran hitam-coklat, dan memakai pakaian yang terkesan primitif dan norak. 

Si ‘Miss Angola’ itu bertugas membacakan pernyataan seputar para artis yang menjadi bintang tamu program tersebut, mengenai hal-hal yang belum banyak diketahui publik mengenai artis tersebut. Apabila pernyataan itu benar, maka ‘Miss Angola’ tidak diapa-apakan. Tapi apabila pernyataannya itu ternyata dianggap salah oleh si artis, maka dua host lainnya, IB dan Pd, akan mengerjai si ‘Miss Angola’, entah itu disuruh makan yang banyak lah, dicoret-coret mukanya lah, dan sebagainya. Intinya, nampak bahwa dalam gambaran program talkshow tersebut, Angola adalah negara Afrika yang kuno, dan Miss-nya pun pasti berwajah jelek dan aneh. Di sinilah masalah yang ingin saya diskusikan.

Saya sama sekali tidak ingin menyinggung soal SARA di sini. Justru sebaliknya, saya ingin mengkritisi pola perilaku bangsa kita yang sebenarnya ‘rasis’, namun terselubung atau mungkin tidak kita sadari. Kita, terutama orang-orang dari Indonesia bagian barat, seringkali memandang rendah orang-orang berkulit hitam. Padahal di dunia barat, hal-hal seperti itu sudah ‘old school’ banget. Di liga-liga sepakbola Eropa, siapapun penonton yang rasis, maka klub yang didukungnya ataupun si penonton itu sendiri, akan dikenai sanksi. Begitu pula dalam hukum di Amerika Serikat. 
Tapi kita lihat di negara kita. Mengolok-olok antara satu ras dengan ras yang lain di media seperti televisi atau internet itu dianggap guyonan yang biasa saja. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin, termasuk saya sendiri, seringkali tanpa sadar mengejek atau menggunjingkan suku lain. Maraknya kasus kekerasan antar suku semakin menjadi bukti shahih : Inikah adab bangsa Timur yang katanya menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika? 

Kasus Miss Angola ini adalah pelajaran penting. Bangsa yang kita jadikan sebagai bahan olok-olokan, ternyata Putri-nya malah menjuarai Miss Universe. Sementara Putri Indonesia sendiri, dalam ajang yang sama, masuk 15 besar pun tidak! Untuk kasus Putri Indonesia ini pun, kita sebenarnya juga masih ‘rasis’, entah sadar ataupun tidak. Dalam tujuh perhelatan Putri Indonesia terakhir, hanya 2 kali dimenangkan oleh Putri dari luar Jawa. Bahkan 3 kali pemenangnya adalah Putri dari ibukota, Jakarta. Saya jadi mempertanyakan sistem penjuriannya. Padahal sudah TERBUKTI, satu-satunya yang berhasil masuk 15 besar Miss Universe (tepatnya tahun 2004) justru wakil dari luar Jawa, yaitu Artika Sari Devi (Bangka-Belitung) yang wajahnya ‘Indonesia banget’. Sementara mereka yang blasteran ‘Londo’, yang dianggap mampu menyaingi Putri-Putri dari Amerika Latin, nyatanya malah kalah. 

Itulah. Kita seringkali memandang rendah suku-suku bangsa tertentu, tapi di sisi lain justru terlalu mengagung-agungkan suku bangsa yang lain. Dalam stasiun tv yang sama dengan tempat talkshow yang saya ceritakan tadi bernaung, seringkali orang-orang bule begitu dihargai, kadang berlebihan. Begitu pula bagaimana mereka sekarang juga terkesan terlalu Korea-oriented. Seolah-olah, bangsa kita ini lebih rendah daripada mereka-mereka. 
Ironis. Memprihatinkan. Mental-mental seperti inilah yang membuat kita semakin menjadi ‘bangsa budak’, bahkan menjadi budak di negeri sendiri. Nanti, di tulisan yang lain, saya akan jelaskan bahwa sebenarnya bangsa kita ini lebih hebat dari mereka.  

Terakhir, saya jadi ingat kata-kata teman saya : 
“Perbedaan itu Biasa, tapi Jangan Biasa Membeda-bedakan”.

Sabtu, 23 Juli 2011

Kenapa Harus English ?


Baru-baru ini adik saya yang paling bungsu naik ke kelas 3 SD. Saya melihat-lihat jadwal pelajarannya yang baru. Semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Semuanya, bahkan ‘Pendidikan Kewarganegaraan’ ditulis ‘Citizenship’ – kesannya jadi seperti mata kuliah anak Hubungan Internasional. Bahasa Inggris memang telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib utama di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Bersama matematika dan bahasa Indonesia, mereka menjadi mata pelajaran yang di-UAN-kan, mulai dari SD hingga SMA.

Saya kemudian teringat, pernah menonton di situs youtube, bagaimana group girlband asal Jepang favorit saya, Morning Musume, tengah mengikuti sebuah reality show, di mana mereka belajar bahasa Inggris. Seusai menyaksikannya, langsung saja saya memberikan comment : “Pre-school children in Indonesia are more clever then them. But why Japan is more rich? That’s ironic..” Ya, memang ironis. Jepang, Korea Selatan, dan mungkin juga Rep.China, adalah negara-negara maju dan besar di kawasan Asia, bahkan dunia. Tapi bahasa Inggris mereka bahkan tidak lebih baik daripada kebanyakan anak-anak TK di Indonesia. Tapi kenapa negara kita jauh lebih miskin? Kalau memang kita pintar berbahasa Inggris, kenapa kita masih miskin? Kalau bisa maju tanpa bisa berbahasa Inggris, kenapa kita harus belajar bahasa Inggris? Lalu, apa gunanya kita belajar bahasa Inggris?

“...Biar bingung, asal British!” kira-kira seperti itulah penggalan lirik dari salah satu lagu group band Jamrud, ‘Asal British’. Kita, orang Indonesia mungkin memang banyak yang pintar berbahasa Inggris. Tapi seringkali kita sendiri bingung bagaimana ‘mempergunakannya’. Saya sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali mendengar dari guru-guru dan dosen-dosen saya, bahwa kita akan menghadapi perdagangan bebas, dan bahasa Inggris menjadi sangat penting untuk dapat bersaing dengan para pekerja asing di berbagai industri dan perdagangan kelak.

Oke, saya ‘nangkap’ maksud semua ini. Jadi, kita harus pintar bahasa Inggris, agar dapat diterima di perusahaan-perusahaan asing, dengan gaji besar, kemudian mengabdi kepada mereka yang notabene berinvestasi untuk mengeruk kekayaan alam kita sebesar-besarnya tanpa sedikit pun menguntungkan rakyat kita sendiri? Atau dengan kata lain, berarti tujuan kita belajar bahasa Inggris adalah untuk menjadi ‘pelayan yang baik’ bagi orang-orang asing, di tanah kita sendiri? Nah, ini dia point ke-ironis-annya!

Orang-orang Jepang, Korea, dan China, saudagar-saudagar kaya Timur Tengah, juga masyarakat negara-negara Eropa yang berbahasa non-Inggris (terutama Prancis), kesemuanya bukanlah orang-orang yang berintensi untuk dapat pintar berbahasa Inggris. Karena, mereka memang merasa tidak membutuhkan itu. Mereka sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mandiri dengan tetap mempertahankan identitas bangsanya, tanpa harus mengemis pada negara lain. Mereka memproduksi sendiri kebutuhan mereka secara aktif dan memiliki sendiri aset-aset negara yang penting. Meski tetap terbuka pada investasi asing dan juga kerjasama antar negara (bahkan menjadikannya penting), tapi mereka tidak lantas menggantungkan diri pada itu.

Itulah masalah negara kita. Lihatlah bagaimana kita begitu getol mengirimkan TKI dan TKW ke luar negeri, dengan harapan membawa devisa sebanyak-banyaknya pada negara, bahkan sampai rela disebut sebagai ‘bangsa budak’. Mereka yang dikirim itu, seringkali tidak memiliki ketrampilan yang memadai, kecuali ya bahasa asing itu tadi. Lihat sendiri, bagaimana hasilnya. Jangankan di tingkat lapisan masyarakat bawah hingga karyawan perusahaan swasta. Bahkan pemerintah kita pun punya banyak hutang pada negara-negara barat, yang konon belum bisa lunas sampai anak cucu kita. Cukup sudah simbol ketergantungan kita pada bangsa lain.

Saya menulis ini bukan karena anti-bahasa Inggris, atau malas mempelajarinya (alhamdulillah, kemampuan bahasa Inggris saya masih di atas rata-rata orang Indonesia), atau bahkan menganggapnya tidak penting. Bahasa Inggris itu penting, sangat penting bahkan. Tapi tidak kemudian lantas menjadi pelajaran utama dalam kurikulum pendidikan Nasional. Kita hendaknya menjadikan bahasa Inggris itu selevel dengan bahasa-bahasa lainnya, yaitu dengan memberikannya hanya jika dibutuhkan. Misalnya, bahasa Inggris dijadikan setingkat dengan pelajaran sosiologi atau kimia di SMA, atau dengan kata lain menjadi pelajaran pendamping. Bagi mereka yang merasa butuh bahasa Inggris lebih dalam – untuk bekerja atau mendapat beasiswa misalnya – dipersilahkan mengikuti kursus-kursus di luar sekolah.
Tapi, semua ini hanya dapat terlaksana kalau kita sudah dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap bangsa barat. Sayangnya, kita nampaknya belum sampai ke level itu. Atau belum mau? 

Selasa, 05 Juli 2011

Seandainya Ms.Karen Jalan-jalan Lagi



Pada awal tahun 2010 yang lalu, rumah saya kedatangan seorang bule dari Amerika, namanya Karen atau biasa dipanggil Miss (Ms.) Karen. Maksud kunjungannya adalah dalam rangkaian penelitiannya terhadap sekolah adik saya. Ms.Karen waktu itu tengah menjalani studi S3-nya di Columbia University dan disertasinya adalah tentang pendidikan Islam di Indonesia, dan salah satu yang menjadi subjek penelitian adalah SD adik saya, Al Azhar 31 Yogya. Kunjungannya ke rumah adalah untuk mewawancara orang tua serta saudara dari adik saya (ya termasuk saya sendiri). 

Pada basa-basi awal sebelum wawancara, Ms.Karen bertanya-tanya mengenai daerah asal ayah dan ibu saya. Ayah saya yang orang Minang hanya mengatakan singkat, dia dari Sumatra. Usai wawancara, ibu saya menyuguhkan empek-empek kepada Ms.Karen. Dia kemudian bertanya, “From where this food from ?” Ibu saya menjawab, “Dari Palembang,” “Where is Palembang?” “In Sumatra.” Mendengar jawaban dari ibu saya itu, Ms.Karen menoleh kepada ayah saya dan berkata, “Oh, so you used to eat this food, right?” Karena ayah saya mengatakan sebelumnya bahwa dia dari Sumatra, Ms.Karen mengira ayah biasa makan empek-empek. “Oh no,” kata ayah saya, “This is from Palembang, South Sumatra. Different from me, I’m from Padang, West Sumatra,” Ms.Karen nampak sedikit bingung. Saya yang melihat kejadian itu, dalam hati hanya berkata, “Jadi begitukah pemikiran orang luar? Satu pulau, jadi budayanya pasti sama? Itu dikatakan oleh orang yang waktu itu sudah hampir setahun di Indonesia. Lalu apalagi dengan yang belum pernah ke Indonesia? Kata iklan : Belum tahu dia!” 

Saya kemudian agak geregetan, dan membayangkan, seandainya Ms.Karen berkeliling lebih jauh lagi di Indonesia, bayangkan apa yang akan dia jumpai. Coba saja misalnya dia jalan-jalan dari Sumatra ujung Selatan sampai ke ujung Utara. Dia tidak hanya akan menjumpai perbedaan antara budaya Sumatra Selatan dengan Sumatra Barat lagi, tapi juga...silahkan hitung sendiri. Atau tidak perlu jauh-jauh, coba dia bandingkan budaya Betawi yang dia temui di Jakarta dengan budaya yang dia temui di Jogja. Atau lebih dekat lagi, coba dia berkeliling Jawa Tengah saja, dan temukan perbedaan aksennya. Entah bagaimana jadinya bila dia sempat melongok sedikit ke Kalimantan, atau Sulawesi, atau Indonesia bagian timur. Barangkali Ms.Karen sudah melakukannya, and I’m sure that she must say, “Oh my God!” (setahu saya, dia belakangan sempat ke Toraja dan Kalimantan). 

Indonesia adalah Negara dengan tidak kurang dari 300 etnis atau suku yang berbeda-beda, dengan lebih dari 700 bahasa dan dialek yang berbeda-beda pula. Saya biasanya adalah orang peragu, tapi kali ini saya yakin 100% bahwa tidak ada Negara lain yang memiliki budaya lokal sekaya itu di dunia ini, lebih dari Indonesia! Bila Ms.Karen berkeliling Eropa, dia baru akan menjumpai budaya yang berbeda ketika dia telah melintasi batas negara. Apalagi kalau dia ke Jepang atau Korea. Atau kalau dia berkeliling Timur Tengah ataupun Amerika Latin, dia akan melihat negara-negara yang berbeda tapi budayanya mirip-mirip. Ms.Karen mungkin juga sudah pusing, melihat berbagai berita dari Afrika sana, di mana dalam satu negara yang baru punya dua etnis yang berbeda saja sudah perang saudara. 

Di negaranya sendiri, Ms.Karen boleh jadi menemui budaya yang beraneka ragam. Tapi budaya A.S itu adalah budaya campuran dari berbagai bangsa dan negara. Sementara budaya-budaya yang ada di Indonesia adalah budaya pribumi asli alias indigenous alias ‘aborigines’. Inilah yang sangat khas dari Indonesia. Sehingga saya geregetan dan ingin sekali Ms.Karen atau juga orang-orang lain dari luar negeri berkeliling Indonesia dan melihat, bahwa inilah negara terkaya di dunia! Dan ini juga yang selalu membuat saya heran : kenapa kita mesti minder sebagai orang Indonesia? 

Kamis, 02 Juni 2011

Motif Lahirnya SNM


Sebelum saya melanjutkan menulis profil dan juga cerita Super Natural Man (SNM), saya akan terlebih dahulu menjelaskan motif di balik pembuatan cerita ini. 

Dengan segala rasa hormat kepada para penulis cerita-cerita superhero Indonesia sebelumnya, seperti Gundala, Godam, Saras 008, hingga Panji Manusia Millenium (saya sangat mengagumi dan mengapresiasi karya-karya anda sekalian), saya merasa masih ada yang kurang. Tokoh-tokoh superhero itu masih sangat berbau barat, baik itu dalam kostum, superpower, maupun jalan ceritanya. Hendaknya kita bisa mencoba mencontoh China atau Jepang.

Bukan, bukan mencontoh kostum dan jalan ceritanya lagi seperti yang dilakukan para penggiat Cosplay atau Harajuku. Bukan yang itu, itu kegiatan lain. Tapi sebaiknya kita mencontoh bagaimana mereka dapat memasukkan unsur-unsur budaya mereka dalam kemasan cerita action superhero atau semacamnya. Contohnya film-film silat dan kungfu China, serta anime-anime Jepang semodel Samurai X dan Naruto. Bukankah kita juga punya budaya yang serupa yang kalau difilmkan atau dikartunkan bakalan keren juga?

Saya mencermati dalam beberapa komik superhero Amerika seperti dari Marvel dan DC Universe, terdapat karakter-karakter superhero yang diceritakan berasal dari Asia Timur, Timur Tengah, India, Amerika Latin, Eropa, Afrika, dan bahkan Thailand serta Vietnam. Mereka semua dikonsepkan sangat bercirikan budaya negara mereka masing-masing dalam pengkarakterannya. Satu hal yang membuat saya masih penasaran, kenapa tidak pernah ada yang karakternya berasal dari Indonesia?! Sekali lagi, kita punya banyak sekali budaya daerah. Tapi kenapa tidak ada, barang satu saja, yang dimasukkan oleh Marvel ataupun DC ke dalam tokoh atau setidaknya setting dalam cerita mereka?

Saya pikir tidak ada alasan sama sekali kita tidak mampu, apalagi minder, untuk membuat superhero versi kita sendiri dan bernuansakan budaya kita sendiri. Biaya? Saya melihat ada dua - sebenarnya mereka satu corporation - stasiun TV di Indonesia yang animasinya sudah bagus dan secara grafis nampak cukup elegan. Akan tetapi, kelemahan mereka adalah jalan ceritanya yang masih luar negeri banget dan kadang hanya bermaksud menyindir sinetron stasiun tv lain. Sebaliknya, terdapat dua stasiun TV lainnya yang jalan ceritanya sebagian besar sudah mewakili kemauan saya di atas. Akan tetapi animasinya, maaf, izinkan saya untuk menyebutnya amat sangat buruk (begitu buruknya hingga kepala manusia dan ekor ular aja kelihatan banget kalau digabung, belum lagi kalau pas ceritanya lagi bertarung di langit gitu. Aduuuh, please deh..). 

Nah, kenapa para stasiun tv di atas tidak bekerjasama saja, dengan konsep saling mengisi atau mutualisme, daripada saling menyindir satu sama lain. Demi kemajuan film supehero Indonesia, tidak ada salahnya komersialisme dikesampingkan sementara. Atau kalau memang mereka tidak bisa diharapkan, saya melihat di Indonesia ini banyak sekali animator dan juga penulis cerita muda yang handal. Tidak perlu jauh-jauh, selama hidup di Jogja saja saya sudah beberapa kali melihat orang-orang seperti itu. Asal ada kemauan dan visi yang jelas, pasti bakal jadi.

Oke, mungkin tadi itulah yang bisa saya ceritakan terkait faktor pendorong saya membuat SNM ini. Memang, dua tokoh utamanya, SNMan dan Linda, mungkin belum terlalu ‘Indonesia’. Tapi teman-teman utama mereka dalam SNM Teams seperti Butet, Ki Sastro, Wastu, Leak, dan Wabai adalah karakter-karakter yang saya gambarkan sangat ‘Indonesia’ dan menonjolkan budaya daerahnya masing-masing, mulai dari kekuatan super hingga kisah hidupnya. Bahkan saya membayangkan kalau mereka dibikinkan filmnya masing-masing, sangat bagus untuk mempromosikan Indonesia kepada dunia luar. Jadi, kepada para produser film, komikus, ataupun penggiat dunia per-superhero-an lainnya, silahkan hubungi saya. Terima kasih. ^^



sumber gambar (maaf, saya soalnya gak pinter nggambar, jd minjem punya orang lain,hehe) :
arablogreaditandshareit.blogspot.com
pariwisata.jogja.go.id
cilemmbu.blogspot.com
picturesof.net