Lurah cantik, camat ganteng, satpol pp
cantik, penjaga krl ganteng, penjual gethuk cantik, penjaga warteg cantik,
sampai tukang tambal ban cantik. Fenomena ‘orang biasa’ yang mendadak tenar
lantaran penampilan fisiknya yang rupawan, sering sekali kita saksikan dewasa
ini. Awalnya beredar di berbagai sosial media, kemudian banyak dibicarakan dari mulut ke mulut,
sampai akhirnya diundang ke acara reality
show di tv.
Menurut Anda, bagaimana fenomena ini
bisa terjadi? Kebanyakan pendapat orang tentu adalah karena wajah mereka yang
memang menjual, dan layak diangkat ke ranah publik. Tidak ada salahnya juga
pendapat ini. Namun di sini saya lebih ingin menjelaskan sedikit analisis saya
mengenai bagaimana secara sosio-psikologis orang-orang ini bisa menjadi populer.
Manusia memiliki kecenderungan untuk
lebih peka terhadap hal-hal yang berbeda dari apa yang ‘umum’ baginya.
Contohnya begini : Misalnya Anda disuruh memilih satu bola di antara 5 buah
bola. Empat buah bola semuanya berwarna merah, tapi ada satu yang berwarna biru
sendirian. Hati Anda akan cenderung ingin memilih yang biru. Kenapa? Karena dia
berbeda dari yang lain. Atau contoh lainnya : misalkan selama ini yang ada di
dalam pemikiran Anda, yang namanya es dan sambal itu tidak mungkin jadi satu.
Namun tiba-tiba ketika lewat di sebuah jalan, Anda menemukan rumah makan
menawarkan menu yang ditulis besar-besar “Es Sambal”. Tentu Anda jadi penasaran
bukan?
Jadi, sebetulnya ini memang bukan
hanya soal cantik, ganteng, manis, atau tampan. Ini soal pola pikir atau
mindset -yang boleh saya bilang agak keliru- dari sebagian besar orang
Indonesia. Kita berpikir bahwa orang-orang dengan profesi tertentu pada umumnya
tidak memiliki wajah yang cantik atau ganteng. Seolah-olah, yang namanya
penampilan fisik itu ada hubungannya dengan pekerjaan. Akibatnya, ketika ada
yang cantik/ganteng tapi pekerjaannya bukan yang ‘seharusnya’ (artis/model/semacamnya),
kita jadi kepo.
Padahal, bukankah siapa saja boleh
memilih apa saja pekerjaannya? Seseorang yang berwajah cantik tidak harus
menjadi model atau pemain film/sinetron. Sah-sah aja kan kalau mereka memilih
profesi lain. Mengapa di banyak negara lain, fenomena seperti ini tidak terjadi?
Itu karena mereka menghargai kompetensi lebih dari penampilan fisik.
Sebenarnya ada juga faktor lain yang sangat
mempengaruhi munculnya fenomena ini, yaitu “the Power of Upload”, tapi itu akan
saya bahas di tulisan selanjutnya ya, hehee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar