Halaman

Sabtu, 30 April 2011

Orang Baik dan Orang Hebat


“Basuki itu orang baik, bukan orang hebat. Saya nggak mau dia jadi orang hebat. Dia orang baik,” sampai detik ini, saya masih terngiang betul komentar Nunung Srimulat, ketika dia melawat rekannya sesama pelawak, Basuki, beberapa tahun lalu itu. Nunung mengucapkannya sambil menangis. Ketika seseorang wafat, hal yang paling diingat dari dirinya adalah kebaikannya atau bagaimana dia berhubungan dengan orang lain, seperti contohnya dalam kasus Basuki ini. Di sisi lain, banyak juga tokoh-tokoh lain yang ketika wafat, yang dikenang dari dirinya adalah prestasi-prestasinya atau apa yang telah berhasil dia raih ketika masih hidup. 

Seringkali terbesit dalam pikiran, bagaimana orang lain mengenang kita ketika kita telah tiada kelak ? Yang mana ? Orang baik kah atau orang hebat kah ? Saya sering berpikir, jadi orang baik itu tidak begitu dikenang ataupun dianggap oleh orang, dibandingkan kalau kita jadi orang hebat. Orang baik seringkali kalah populer dibandingkan orang hebat. Orang hebat, apa yang dia lakukan, akan banyak dibicarakan orang. Kalau dia orang biasa, orang akan terkagum-kagum, kemudian banyak yang ingin mengorbitkannya. Kalau dia sudah seorang yang terkenal, orang akan memuja-mujanya. Sementara orang baik, who’s care ? Kalau dia seorang rakyat biasa, kebaikannya akan berlalu begitu saja tanpa ada yang membicarakan. Ya..mungkin ada yang membicarakan, tapi sebentar saja. Kalau dia seorang terkenal, orang akan berpikir, apakah dia sungguh-sungguh berbuat baik atau cuma ingin menaikkan popularitas saja ? 

Dari dulu sampai sekarang memang susah jadi orang baik. Tapi benarkah sesulit itu ? Mungkin, itu kalau kita melihatnya dari sisi bagaimana orang lain melihat kita. Kalau tidak, maka pertanyaan ‘who’s care’ tadi, kitalah yang akan mengatakannya. Ya, kita tidak akan peduli ataupun berpikir dulu sebelum melakukan kebaikan, “apakah orang lain melihat ini ?” Begitu juga kalau kita hendak berusaha meraih suatu prestasi atau apa yang kita targetkan, kita tidak akan berpikir, “apakah yang saya capai ini akan disebarluaskan hingga saya jadi terkenal ?” 

Memang, kita (termasuk saya) sendirilah yang sering membeda-bedakan antara orang baik dan orang hebat. Kita yang menganggap kebaikan itu tidak lebih penting dari pencapaian keberhasilan, ataupun sebaliknya. Semua karena orientasinya kepada penilaian manusia. Esensinya, sebenarnya orang baik itu ya orang yang hebat dan orang yang hebat itu ya (seharusnya) orang yang baik. Walaupun seringkali orang baik itu tidaklah hebat dan orang hebat itu bukan orang yang baik, semuanya bergantung pada niat dan orientasi diri sendiri. Jadi, anda orang baik atau orang hebat ?

Jumat, 22 April 2011

Asaku yang Tertinggal di Jakarta

Jakarta adalah sebuah kota besar, menjadi impian bagi siapa saja orang Indonesia yang ingin mendulang uang banyak, ingin jadi orang terkenal, ingin menikmati surga dunia deh pokoknya. Itu adalah sebuah paradigma, sebuah pola pikir yang ada di benak setiap orang di berbagai daerah di Indonesia dari sejak jaman Bung Karno dulu. Menurut pandangan orang-orang di provinsi-provinsi lain di luar DKI, pergi ke ibukota sama saja sebuah harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, daripada terus-menerus hidup di tempat asal. Tapi, apakah paradigma itu masih berlaku ?

Ketika tulisan ini saya ketik, saya belum lama merasakan menjadi sarjana. Dalam rentang waktu yang sama sejak saya wisuda hingga menulis ini, sudah banyak sekali teman-teman saya, dari teman SMP, SMA, sampai kuliah, yang kemudian mengadu nasib, bekerja di Jakarta. Sementara saya sendiri ? Sempat (dan mungkin masih) terpikir untuk bekerja di sana. Saya adalah seorang pemuda, masih memiliki masa depan (InsyaAllah), dan masih punya harapan untuk dapat meraih mimpi-mimpi saya. Sebagian mimpi-mimpi itu ada di Jakarta. Begitupun dengan sebagian cinta saya, ada yang masih tertinggal di Jakarta.

Akan tetapi, Jakarta tetaplah sebuah kota di dunia, bukan sebuah tempat di surga. Karena itu Jakarta masih memiliki banyak kelemahan yang membuat sebenarnya dia tidak cocok untuk sebagian orang dengan tipe dan karakter tertentu. (Hmm..barangkali dari tadi orang Jakarta yang membaca tulisan ini sudah membatinnya). Jakarta adalah kota yang keras (betul kan?), sangat ‘time is money’ oriented. Siapa cepat, dia dapat. Tidak akan cocok bagi orang-orang yang sebenarnya tidak begitu ambisius, orang-orang yang mengutamakan keamanan daripada mengambil resiko, orang-orang yang bekerja dengan impulsif atau ‘yang penting kerja’. 

Barangkali orang-orang Jakarta yang saat ini membaca tulisan ini, bisa memberitahukan kepada saya, jikalau saya ada kesalahan. Jikalaupun saya benar, maka wahai orang-orang Jakarta yang membaca tulisan ini, beritahukanlah kepada saya : “apakah saya cocok dengan Jakarta ? dan bagaimana dengan cinta saya yang ada di sana ?” Ah, saya mungkin lebih baik mengharapkannya pulang, mari menghabiskan waktu dengan saya di sini (Jogja) saja, atau di kota lain. Ataukah mungkin suatu saat nanti saya akan membaca kembali tulisan ini dari sebuah rumah saya di Jakarta ? 

Senin, 18 April 2011

10 Negara yang Paling Ingin Dikunjungi

Belum pernah ke luar negeri, tapi kalau namanya bermimpi boleh-boleh aja dong. Yang jelas yg disebutkan di sini selain Arab Saudi, karena ada kewajiban naik haji jadi ya itu negara otomatis pingin dikunjungi. Oke, ini dia urutannya :
1. Norfolk Island
Norfolk ? Mana itu ? Nomor satu lagi.
Nggak usah susah-susah, intinya, nih negara nggak ada bedanya sama negeri dongeng! Alasanku cuma satu, kenapa menempatkannya jadi negara yang paling pingin kukunjungi : ingin menghabiskan hari tua di ‘surga’.

2. Turki
Negara leluhur. Begitu inginnya ngerasain pulang ke sana, sampai aku sering mikir, kalau aku nggak boleh mati sebelum sempat menginjakkan kaki di Turki!

3. Suriname
Kedekatan budaya dengan Indonesia. Lucu, ngebayangin ada sebuah negara di dekat Brazil (nun jauh di sana) yang banyak penduduknya yang menggunakan bahasa Jawa dan masih memegang budaya Jawa. Hemm..seharusnya orang-orang yang masih di Jawa (terutama anak mudanya nih) bisa mencontoh mereka.

4. Bhutan
Konon merupakan negara dengan tingkat kebahagiaan penduduknya tertinggi di dunia. Apa sih rahasianya? Tapi alasanku bukan hanya itu, tapi juga pingin ngerasain gimana kehidupan ala Bhiksu yang begitu tenang, di daerah pegunungan nan sejuk. Nikmatnya..

5. Vanuatu
Nggak tahu kenapa. Lucu aja namanya. Dari kecil aku selalu penasaran jadinya sama negara yang satu ini.

6. Liechtenstein
Negeri di kaki bukit pegunungan Alpen nan...ah, nggak usah dibahas, ke sana aja yuk!

7. Kanada
Banyak banget orang Indonesia yang pingin pergi ke Amerika Serikat. Ah, tuh negara cuma menang promosi lewat film. Aslinya, lihat aja gimana mereka dengan seenaknya nyerang dan memborbardir negara2 yang gak berdosa, seolah-olah mereka itu yang paling benar. Mending ke negara tetangganya aja deh, yang lebih damai. Paling nggak sudah ngerasa pergi ke Amerika.

8. Inggris
Pingin nonton Liga Inggris. Satu lagi, aku suka aksen mereka dalam berbicara.

9. Brunei Darussalam
Kalau kesembilan negara yang lain jauh-jauh, ya udah, ke Brunei aja yang deketan. Tinggal ke Kalimantan, terus lewat perjalanan darat deh.

10. India
Kalau negara-negara yang lain enak dikunjungi untuk liburan atau semedi (?), aku pingin banget bisa dapet beasiswa dan lanjut belajar Psikologi di negaranya ShahRukh Khan ini. Sekalian bisa ndengerin lagu-lagu India tiap hari gitu.
*lho, gbrnya koq gak nyambung?*??

Minggu, 17 April 2011

Manusia Tanpa Kekurangan

Mengeluh. Terlalu banyak keluhan yang seringkali kita lontarkan dalam hidup ini. Keluhan itu bisa bermaksud mengeluhkan apa yang tidak kita miliki, mengeluhkan sikap orang lain pada kita, ataupun mengeluhkan karena kita tidak dapat memperoleh ataupun melakukan sesuatu. Sayangnya, kita seringkali tidak menyadari - atau tidak mau menyadari - bahwa keluhan-keluhan itu tidak akan kemudian mendatangkan apa yang kita harapkan. Jadi, entah kita mengeluh ataupun tidak, tidak akan merubah keadaan.

Keluhan bisa berasal dari apa yang tidak kita miliki, yang kemudian membuat kita merasa tidak mampu melakukan apa yang dapat dikerjakan oleh orang lain. Tapi masalahnya, kalau orang lain bisa mengerjakan sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan, bukankah itu berarti ada pekerjaan lain yang bisa kita kerjakan tapi tidak dapat dikerjakan orang lain ?

Dari sini terlihat bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang berhak mengklaim bahwa dirinya penuh dengan kekurangan sedemikian hingga tidak memiliki kelebihan sama sekali. Kita barangkali hanya belum mencoba (atau tidak mau mencoba, atau mungkin sudah lupa kalau pernah mencoba) melihat pada sisi lain dari diri kita yang positif. Sisi itulah yang membuat kita merasa sebagai manusia tanpa kelebihan. Padahal, kalau kita mampu untuk melihat sisi itu, kita akan berpikir sebaliknya : bahwa kita adalah manusia tanpa kekurangan. ‘Tanpa kekurangan’. Why ? Karena kita selalu punya kelebihan.