Halaman

Jumat, 30 Desember 2011

Top 40 Boyband Songs


There are 40 Greatest Boybands’ Songs from all groups, from all countries in the world, from all times* ever...

40.     Tu Jo Na Aai (2009)F4 / India
39.     Hands Up (2011) 2PM / South Korea
38.     Inikah Cinta (1998) M.E / Indonesia
37.     Jamila (2007) UtN1 / Iraq
36.     He Dont Love You (2000)Human Nature / Australia
35.     ABC (1990) - The Jackson 5 / USA
34.     Monster (2010) Arashi / Japan
33.     Wo Nan Guo (2002) 5566 / Taiwan
32.     5 Steps (1997) Dru Hill / USA
31.     Keep on Movin’ (1999)5ive / UK
30.     Stuck in My Heart (2002) C21 / Denmark
29.     Ring Ding Dong (2009) Shinee / South Korea
28.     Last Flight Out (2000) Plus One / USA
27.     Tonight (2011)Big Bang / South Korea
26.     As Long As You Love Me (1997) - Backstreet Boys / USA
25.     I’ll Be Loving You (Forever) (1989) - New Kids On The Block / USA
24.     All or Nothing (2001) O-Town / USA
23.     Same Old Brand New You (2000) – A1 / UK
22.     This I Promise You (2000) - N’Sync / USA
21.     One Love (2002)Blue / UK
20.     Back for Good (1995)Take That / UK
19.     Because of You (1998)98 Degrees / USA
18.     I’ll Make Love to You (1994) Boyz II Men / USA
17.     No Matter What (1998) Boyzone / Rep. of Ireland
16.     I Want it That Way (1999) - Backstreet Boys / USA
15.     Candy Girl (1983) New Edition / USA
14.     Love Me for a Reason (1974)The Osmonds / USA
13.     My Love (2000) Westlife / Rep. of Ireland
12.     Bye Bye Bye (2000) – N’Sync / USA
11.     I Want You Back (1969) The Jackson 5 / USA
10.     a Song for Mama (1997) Boyz II Men / USA

9.       Step by Step (1990) – New Kids On The Block / USA

8.       Uptown Girl (2001)Westlife / Rep. of Ireland

7.       Words (1996)Boyzone / Rep. of Ireland

6.       Sorry Sorry (2009) Super Junior / South Korea

5.       I Swear (1994) All 4 One / USA

4.       How Deep is Your Love (1996) - Take That / UK

3.       I’ll Be There (1970) The Jackson 5 / USA

2.       Everybody (Backstreet’s Back) (1997) Backstreet Boys / USA

1.       Liu Xing Yu (2001) F4 / Taiwan

* ’til early 2011

Rabu, 28 Desember 2011

3 Kunci Sukses Wirausaha Ala John Yusuf


Ini sama sekali bukan sebuah kesombongan. Lagipula, sombong dari mana, ini semua kan tentang bapak saya, sementara saya sendiri masih amat sangat jauh dari mampu mempraktekkan apa yang saya tulis ini (dan masih jauh dari kesuksesan beliau). Bapak saya ini sendiri pun, masih banyak lah pengusaha-pengusaha lain di Indonesia yang jauh lebih mapan dan berhasil daripada beliau.


Namun, karena kebetulan saya memiliki banyak teman, rekan, dan kenalan yang sedang merintis menjadi wirausahawan / entrepreneur, maka saya mencoba untuk men-share kan hal ini, siapa tahu bisa menjadi masukan yang cukup berarti. Bapak saya, John Yusuf, dulunya hanyalah seorang pemuda kurang mampu yang merantau dari Padang ke Jakarta. Menempuh pendidikan di ibukota, beliau hanya berbekal satu buah buku tulis yang diselipkan di saku seragamnya, tiap kali berangkat ke sekolah. Selepas SMA, beliau tidak melanjutkan kuliah. Beliau nyaris tidak punya keahlian apapun, termasuk sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mengerti soal teknologi. Hingga akhirnya, menjadi presiden direktur sekaligus owner dari perusahaan-perusahaan distributor alat kedokteran bertaraf Internasional (dulu Synthes Indoraya dan Tilas Nusa Jaya, kini PT Sarana Orthotama). Kok bisa?
Berikut ini, beberapa pelajaran yang saya petik dari beliau :

1.    Belajar, Belajar, dan tetap Belajar

Seperti yang saya ceritakan tadi, bapak saya memulai usahanya tanpa modal apapun alias mulai dari nol besar. Dulunya, selepas sekolah beliau kemudian menjadi semacam salesman keliling di sebuah perusahaan distributor alat kedokteran (PT Elektromedika). Nah, dari situlah beliau diam-diam banyak mempelajari bagaimana mekanisme kerja di dalam perusahaan itu, bagaimana para manajernya mengelolanya, bagaimana hubungan dengan konsumen, persoalan teknisnya seperti apa serta bagaimana cara mengatasinya, dan lain sebagainya. Hingga dari hasil proses kegigihan dalam belajar tersebut, karirnya terus meningkat hingga menjadi general manager. Hingga kemudian, bapak keluar dari situ kemudian mencoba-coba mendirikan perusahaan sendiri dengan modal seadanya serta pinjaman dari pihak lain. Dari situ kemudian dia mulai mencari link, berpromosi, dan lain-lain yang intinya mulai mempraktekkan yang dia pelajari sebelumnya. Hingga kedua perusahaan yang dia dirikan itu (Synthes Indoraya dan Tilas Nusa Jaya) mampu terus berkembang. Dalam proses itu, dia juga masih tetap belajar.

Seperti yang sempat saya sebutkan sebelumnya, bapak tidak memiliki bakat atau keahlian apapun. Pun dengan pendidikan formal di bidang kedokteran. Namun, setelah beberapa lama bekerja di perusahaan bidang kedokteran itu, beliau merasakan passion-nya ada di situ. Beliau pernah menekankan kepada saya, bahwa dalam bisnis jangan sampai orientasi kita semata hanya mencari uang sebanyak-banyaknya. Asalkan kita passion, senang dengan yang kita kerjakan, maka rejeki akan mengalir dengan sendirinya. Lanjut soal belajar, bapak pun kemudian banyak belajar otodidak mengenai kedokteran, khususnya bidang orthopaedi yang menjadi lingkup bisnisnya. Beliau sering ikut masuk ke ruang operasi, melihat bagaimana proses bedah. Beliau sering berdiskusi dengan para dokter-dokter ahli, membaca buku, dan lain sebagainya. Jadilah beliau mengerti apa yang dibutuhkan oleh customer (yang sebagian besar dokter-dokter), sehingga tahu apa yang harus dilakukan.

Belajar di sini juga tentu saja termasuk belajar dari kegagalan. Beberapa tahun belakangan, perusahaannya sempat beberapa kali kolaps, bahkan nyaris tutup. Namun, bapak mempelajari kesalahan-kesalahan apa yang telah diperbuat, kemudian menggantinya dengan perbaikan sana sini, serta belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hingga akhirnya, perusahaannya mampu tetap bertahan dan bangkit lagi. Hingga kini, bapak masih tetap belajar. Di kala perkembangan IT makin pesat, beliau mempelajarinya, agar mampu menyesuaikan diri.

2.    Link

Salah satu faktor yang mendasari bapak saya untuk keluar dari Elektromedika dulu adalah karena beliau telah ditawari oleh perusahaan pemodal asing dari Swiss, Synthes. Synthes hendak memasarkan produk-produknya di Indonesia, dan menginginkan bapak sebagai mitranya. Bagaimana ceritanya beliau bisa sampai ke investor asing itu? Membangun jaringan. Hanya itulah yang dia lakukan. Ketika Synthes mendekatinya, bapak masih menjabat sebagai manager di Elektromedika. Namun, karena memendam keinginan untuk membuka perusahaan sendiri, bapak mulai mencari-cari link. Melalui proses jejaring inilah, beliau sampai kepada Synthes yang ternyata tertarik pada cara kerjanya dan bagaimana kemampuan beliau mendekati customer. Yang berhasil beliau dekati waktu itu adalah salah seorang supervisor Synthes di Asia, mr.Liem dari Singapura. Harus bisa bahasa Inggris? Bagi beliau, itu nggak penting! Yang terpenting ya bagaimana mencari jaringan dan menjalin relasi sebanyak-banyaknya itu tadi.

Terkait soal link ini, beliau menekankan satu hal, yaitu jangan mudah menyerah untuk hal yang satu ini. Menurut beliau, kemandegan kebanyakan pengusaha atau orang-orang yang ingin berwirausaha, bukan soal tidak berbakat di bidang bisnisnya ataupun tidak mampu mengelola keuangan, melainkan semata karena yang bersangkutan ‘malas’ untuk terus membuka jaringan baru. Beliau pernah menceritakan bagaimana banyak karyawannya tidak berkembang karena hanya mau berhubungan dengan customer yang itu-itu saja. Ketika diminta mendekati yang baru, dan ternyata si target itu orang yang ‘sulit’, mereka menyerah. Tidak demikian dengan bapak. Beliau akan terus mencari relasi baru. Tak peduli yang bersangkutan menolak 2, 3 bahkan sampai 5 kali, bapak akan terus mendekatinya hingga bersedia menjadi pelanggan. Contoh lainnya, ketika bapak harus menutup Synthes Indoraya pada 1997, justru datang investor asing baru, yaitu Zimmer dari A.S yang bersedia menyuplai perusahaan beliau yang lain, Tilas Nusa Jaya. Ini juga terjadi dari bagaimana beliau membangun jaringan sebelumnya.

3.    Trust sebagai kunci utama

Pada 2010 lalu, bapak mulai merasa capek mengelola perusahaan sendiri (faktor umur), hingga Tilas Nusa Jaya diakuisisi oleh pihak lain. Beliau pun mundur dan mendirikan Sarana Orthotama, tapi hanya memposisikan diri sebagai manager. Yang menarik, hampir semua karyawan beliau di Tilas ikutan mundur dan mengikuti beliau pindah ke perusahaan barunya (alias eksodus besar-besaran). Sungguh, semua itu terjadi bukan karena provokasi ataupun iming-iming gaji besar. Semuanya hanyalah karena ikatan emosional belaka. Ya, ikatan emosional yang telah dibentuk oleh bapak selama bertahun-tahun melalui hubungan interpersonal yang positif dengan para bawahannya.

Beliau biasa membawakan oleh-oleh dan menanyakan kabar keluarga dari para karyawannya. Pernah beliau menyempatkan jauh-jauh dari Jakarta, hanya untuk bersilaturahmi ke rumah seorang karyawannya di Kebumen, lantaran bapak merasa karyawannya yang cuma pegawai biasa itu telah banyak membantu perusahaan. Beliau bahkan bisa tahu, ketika salah seorang OB di kantornya sedang punya masalah dengan pacarnya, padahal si OB itu tidak mengungkapkannya. Bukan hanya para karyawan pusat, begitu pula dengan yang di cabang-cabang daerah. Saya pernah lihat sendiri, seorang managernya di Surabaya biasa membawa istri dan anak-anaknya ke kantor, dan tidak pernah ada masalah dengan itu. Atmosfer kekeluargaan macam itulah yang menciptakan kepercayaan (trust) di antara mereka, dan itu memberikan dampak positif bagi perusahaan.

Trust di sini bukan hanya dalam hubungan internal perusahaan, tapi tentu saja juga dalam hubungan dengan para customer. Bapak juga bisa begitu membina hubungan akrab dengan para pelanggannya. Beliau biasa bercanda, bersilaturahmi, bahkan sampai bisa mengenal keluarga dari pelanggannya yang tingkat profesor sekalipun. Hingga banyak customer yang enggan beralih ke perusahaan lain. Jangankan ke distributor lain, kadang mereka juga lebih suka berurusan langsung dengan bapak daripada dengan salesman ataupun manager beliau, saking dekatnya beliau dengan para customer. Pun dalam hubungan dengan pihak produsen utama dan penanam modal. Pada masa awal-awal berwirausaha  sendiri, pihak investor asing (Synthes) itu menaruh kepercayaan penuh pada bapak, dengan menyediakan semua fasilitas termasuk menyediakan perusahaan itu sendiri untuk dikuasai dan dikelola oleh beliau. Semua hanyalah bermodalkan dua hal : trust dan trustworthy. Dan salah satu cara paling efektif adalah dengan mengembangkan hubungan interpersonal yang hangat.

Sebenarnya masih ada satu lagi, sebuah ‘ritual’ khusus yang biasa bapak lakukan dalam pekerjaannya. Tiap kali hendak menelepon customer ataupun relasinya untuk sebuah transaksi / keperluan bisnis, beliau selalu terlebih dahulu membaca surat Al Fathihah, dan setelah itu baru menekan nomor kontak ataupun tombol call di HP (kalau dulu ya telepon)-nya. Menurut pengalaman beliau selama bertahun-tahun, cara ini 99 % manjur, dan selalu menganjurkan saya untuk menirunya dalam urusan-urusan penting. Jadi, selamat mencoba.. J

Kamis, 22 Desember 2011

"Urip Iki yo Mung Sela"


Ungkapan di atas mulanya adalah kelakar yang dikeluarkan oleh rekan saya, Okta Setyawan (seharusnya dia patenkan, bagus tuh). Dia juga mempopulerkan kata-kata ‘sela’ (baca : selo) di antara kami dan teman-teman lain, yang kemudian menjadi semacam anekdot dan kata favorit bagi kami. Sudah seharusnya mungkin untuk dijadikan Trending Topic dengan hashtag #Selo. Hehehe.

‘Sela’ sendiri biasa diartikan sebagai ‘renggang’ atau ‘longgar’. Dalam kamus bahasa Jawa, Bausastra Jawa, ‘Sela’ didefinisikan sebagai ‘lowong, ora ana isine’ alias ‘lowong, tidak ada isinya’. Definisi ini yang kemudian digunakan oleh banyak anak muda saat ini, di Jogja khususnya, untuk menggunakan kata ‘sela’ ini sebagai pengganti kata ‘koplak’ atau ‘pekok’ alias bodoh. Maksudnya di sini, yang ‘sela’ atau nggak ada isinya itu adalah otaknya. Contoh penggunaannya antara lain seperti yang digunakan sebagai nama sebuah event rutin berupa stand up comedy setiap hari selasa di sebuah cafe di Jogjakarta, yang bernama ‘SelosoSelo’. Contoh lainnya ya seperti yang saya dan teman-teman lakukan tadi.


Mungkin awal mula teman saya si Okta itu mencetuskan ungkapan tersebut (“urip iki yo mung sela”) hanya karena asyik saja menggunakan kata-kata ‘sela’ itu. Tapi, sebenarnya ada benarnya juga jika dibilang bahwa “urip iki yo mung sela”. Urip atau hidup ini memang sebenarnya penuh dengan kelonggaran alias sela. Pada dasarnya, hidup ini memang tidak ada isinya, tidak ada esensi ataupun maknanya. Manusia lah yang kemudian mengisi kelonggaran atau kekosongan tersebut.

Caranya? Kata ‘sela’ apabila diberi ater-ater (awalan) ‘ny-‘ maka akan menjadi kata kerja ‘nyela’. ‘Nyela’ dapat didefinisikan sebagai ‘dhuwe wektu kanggo nindakake’ atau ‘punya waktu untuk melakukan’. Segala kelonggaran yang ada di dunia, baik itu waktu, tempat, maupun kelonggaran implisit seperti apa-apa yang diberikan Tuhan kepada manusia, sejatinya menjadikan manusia memiliki modal untuk melakukan sesuatu. Manusia sebenarnya selalu memiliki kesempatan untuk dapat mengerjakan sebuah proses, apapun itu. Tidak pernah ada waktu yang dibilang tidak cukup. Tidak pernah ada tempat yang sempit. Semuanya ‘sela’.
Hanya saja, seringkali manusia tidak menyadari hal tersebut, sehingga menyia-nyiakan kelonggaran yang ada dan memilih untuk tidak memanfaatkan kesempatan luar biasa yang telah dianugerahkan Tuhan ini. Manusia semacam ini, berarti dia lebih memaknai ‘sela’ berdasar definisinya yang lain, yaitu ‘mbeneri ora ana pagawean, utawa mbeneri ora nyambut gawe’. Dengan kata lain, orang-orang ini tidak pernah merasa dirinya punya ‘tugas’ atau pekerjaan di dunia ini, dan membiarkan semuanya mengalir berdasar kebeneran (kebetulan) saja. Istilah lain, malas.

Kemudian apabila kata ‘nyela’ itu sendiri diberi panambang (akhiran) ‘-ni’ (menjadi ‘nyelani’) atau ‘-ake’ (‘nyelakake’), maka maknanya menjadi semakin luas. ‘Nyelani’ bisa berarti ‘nyesel ing tengahe sing isih sela’. Artinya, memasukkan atau melakukan sesuatu di antara kelonggaran yang ada. Jadi, betapapun ketika kita memiliki waktu luang di antara kesibukan kita, atau mendapatkan kemudahan di antara kesempitan kita, maka itu tetaplah sebuah amanah dari Tuhan, untuk dapat dimanfaatkan dengan optimal. Dengan kata lain, tetap tidak akan ada sesuatu yang sia-sia di dunia ini, apabila kita bisa ‘nyelani’. Di sisi lain, ‘nyelani’ juga diartikan sebagai ‘medhot’ alias ‘memutus atau memotong’. Apabila manusia sudah mencapai batasnya, maka kita bisa memotong di tengah jalan, karena sesungguhnya Tuhan juga tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Namun patut diingat, ketika kita memutus rantai yang ada, maka setelah itu akan ada ‘sela’ baru, yang mau tidak mau harus kita isi lagi, dan dengan demikian proses hidup pun berlanjut.

Sementara itu, ‘Nyelakake’ terkadang dapat diartikan sebagai ‘ngelengake’ atau ‘mengingatkan’. Sebenarnya, tugas manusia di dunia ini, terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap manusia lainnya, hanyalah soal mengingat dan saling mengingatkan. Di kala kita lupa akan ‘sela’ yang ada dan maka akan ada orang lain yang ‘nyelakake’ ataupun kita yang ‘nyelakake’ diri sendiri. Dengan demikian, maka isi dari kehidupan kita di dunia hanyalah sela dan selo, serta bagaimana kita bisa mengoptimalkan itu. Sela tetap akan ada, dan kita akan terus menemui sela, entah kita menyadarinya atau tidak, entah kita mengingatnya atau tidak.
Selama anda masih hidup, anda akan tetap bertemu dengan selo. Maka, ber-selo ria lah, sebelum anda tidak lagi selo!

Referensi :
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa. Yogyakarta:Kanisius
Jatirahayu, Warih. 2004. Manca Warna, Kawruh Pepak Basa Jawa. Yogyakarta:Grafika Indah

Senin, 19 Desember 2011

6 Tokoh Terkenal yang Mengidap Autisme


Kalimat pembuka saya hanya satu : Semoga saya bisa menyusul mereka, Amiin.

1.    Temple Grandin

Namanya sempat masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time pada tahun 2010, untuk kategori ‘Heroes’. Grandin adalah seorang Doktor di bidang ilmu hewan dan juga profesor di Colorado State University, merangkap sebagai seorang konsultan perilaku hewan di sebuah perusahaan livestock. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai penulis yang cukup sukses. Salah satu bukunya yang terkenal adalah ‘Thinking in Pictures’, yang menjelaskan bagaimana memahami cara pandang orang autis serta teknik untuk menolong anak autis. Grandin juga menemukan ‘squeeze machine’, yaitu mesin yang dapat menenangkan orang yang hipersensitif.
Grandin didiagnosa autis pada tahun 1950, atau beberapa tahun sebelum pelayanan dan intervensi dini dapat diterapkan pada keluarga. Semula, dia sulit untuk berbicara, meski setelah empat tahun akhirnya mengalami perkembangan berarti. Grandin mengaku masa SMP-SMA sebagai masa terburuk baginya, karena sebagai anak yang dianggap aneh, dia sering diganggu oleh teman-temannya. Orang-orang suka memanggilnya dengan ‘tape recorder’, karena suka mengulang-ulang secara terus-menerus kata yang didengarnya. Meski demikian, Grandin sukses besar dalam dunia akademisnya, sebagaimana dijelaskan di atas. Semua kesuksesan itu didedikasikannya untuk ibunya, yang telah memberinya pengasuhan dalam bentuk aktivitas yang terstruktur semenjak dia kecil, di mana itu sangat membantunya melewati masa-masa autisnya.

2.    Axel Brauns

Brauns adalah seorang penulis dan produser film kelahiran Hamburg, Jerman. Brauns berhenti dari sekolah hukumnya pada tahun 1984, untuk berkonsentrasi pada karir menulisnya. Brauns telah menulis sejumlah novel, antara lain dengan menciptakan karakter literal yang populer di Jerman, Adina Adelung, yang kemudian mengantarnya masuk nominasi German Book Prize. Pada 1992, dia merilis buku autobiografinya, ‘Shadows and Coloured Bat – Living in Another World’, yang menggambarkan kehidupannya sebagai seorang autis, yang disebutnya dirasakannya sejak berumur 1 tahun.
Sebagaimana kebanyakan spektrum autis, yaitu larut dalam mempelajari sebuah hal yang sangat spesifik, Braun memiliki ketertarikan terhadap sebuah buku statistik dan genetika kuda berjudul ‘German Harness Racing Studs’. Keasyikannya terhadap buku inilah yang salah satunya menginspirasi buku-buku yang Brauns tulis sendiri. Brauns memiliki kesulitan bicara pada masa kecilnya. Brauns secara susah payah belajar sendiri bagaimana ekspresi wajah dan pola bicara, antara lain dengan banyak membaca komik dan menonton film. Brauns mengaku masih sering merasa tidak nyaman dengan orang-orang di sekitarnya yang tidak dia kenal, dan juga kurang nyaman menghabiskan waktu di depan umum.

3.    James Hobley

Seluruh penonton audisi Britain’s Got Talent 2011 memberikan standing applause begitu anak itu usai membawakan dance-nya. Begitu pula salah satu juri, David Husselhoff. Sekilas, dance yang dibawakan oleh anak berambut pirang itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ditampilkan para peserta lain. Tapi, ada satu hal yang membuat sang anak berbeda : dia anak dengan autisme. Hobley kemudian terus melaju hingga putaran final, sebelum terhenti di babak 8 besar. Namun, satu hal, dia telah menginspirasi banyak anak berkebutuhan khusus di Inggris untuk elbih berprestasi. Kisah suksesnya ini juga sempat dibuatkan film dokumenternya oleh BBC, dengan judul ‘Autism, Disco, and Me’.
Hobley merupakan satu dari dua saudara kembar di keluarganya, yang sama-sama didiagnosa autis. Awalnya dia tak dapat membaca dan menulis. Namun, segalanya berubah setelah dia berkenalan dengan dunia menari (dancing) pada usia 8 tahun, yang memberinya passion yang luar biasa. Melalui musik dalam dance itu, dia bisa mengekspresikan dirinya, dan mulai memiliki banyak teman. Cita-citanya kini adalah menjadi penari balet di sebuah perusahaan entertainment yang besar.

4.    Jason McElwain

But our country was captivated by your amazing story on the basketball court. I think it’s a story of coach Johnson’s willingness to give a person a chance. It’s a story of Dave and Debbie’s deep love for their son, and it’s a story of young man who found his touch on the basketball court, which in turn, touched the hearts of all citizen all across the country.”
Itu adalah sebuah komentar yang diberikan oleh mantan presiden A.S, George W.Bush mengenai rekor 20 point dalam waktu 4 menit dalam sebuah pertandingan basket tingkat SMA di Amerika. McElwain, yang bersekolah di Greece Athena High School, dibawa oleh pelatih tim basket SMA-nya sebagai pemain cadangan melawan Spencerport High School, sebagai pemain cadangan. Ketika waktu bersisa 4 menit dan Greece unggul, sang pelatih memasukkan McElwain. Dia kemudian secara luar biasa mencetak 6 kali three-point dan sekali two-point sebelum pertandingan berakhir. Semenjak pertandingan itu, nama McElwain langsung melambung bak selebritis dadakan di Amerika Serikat. Sebuah lagu dan sebuah buku ditulis untuknya. Bahkan rencananya, kisahnya juga akan difilmkan oleh Walt Disney dan Warner Bros company, meski belum terealisasi hingga sekarang. McElwain didiagnosa autis kala masih kecil. Dia mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan anak-anak seusianya. Namun, seiring berkembangnya usia, dia mulai belajar untuk bersosialisasi. Meski di SMA-nya dimasukkan dalam kelas khusus, namun McElwain sangat menyenangi olahraga basket. Salah satu kesibukannya saat ini adalah berkeliling Amerika untuk menggalang dana bagi anak-anak autisme.

5.    Matt Savage

Usianya baru 19 tahun, tapi dia sudah menjadi salah satu musisi jazz kenamaan Amerika. Hingga kini, dia telah merilis sekurangnya 4 album musik instrumental. Savage juga telah menerima banyak penghargaan. Dia juga merupakan satu-satunya anak-anak yang pernah diterima oleh tim Bosendofer Pianos dalam sejarah 175 tahun company tersebut. Pada usia 14 tahun, dia telah melakukan konser berkolaborasi dengan Chaka Khan dan berbagai penyanyi terkenal lain. Matt didiagnosa memiliki gangguan perkembangan pervasif, salah satu pola autisme, pada usai 3 tahun. Pada mulanya dia tidak suka dengan musik yang berisik, sebelum akhirnya dia mulai tertarik pada piano, dan akhirnya mulai mendalami musik jazz dan klasik. Karena kecerdasannya yang luar biasa, meski tidak pernah mengenyam bangku sekolah formal dan juga pendidikan musik secara khusus, namun Matt mampu belajar sendiri mengenai musik hingga menjadi komposer yang handal. Di samping bermusik di panggung, Matt juga sering tampil di berbagai program televisi dan radio sebagai bintang tamu.

6.    Satoshi Tajiri

Mungkin anda pernah mendengar nama ‘Pokemon’? Ya, kartun animasi anak-anak yang sangat populer di era akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa sang kreator, pria Jepang bernama Satoshi Tajiri, adalah pengidap autisme, lebih tepatnya sindrom Asperger (meski dalam DSM-IV sebenarnya asperger tidak diklasifikasikan dalam autisme, namun seringkali keduanya disamakan, karena banyaknya kemiripan simtom). Sejak kecil hingga remaja, Tajiri sangat tergila-gila dengan arcade games. Begitu candunya terhadap video game, pria kelahiran 1965 ini mulai memproduksi majalah mengenai game bernama ‘Game Freak’ pada 1978. Pokemon sendiri mulai dibuatnya pada 1996. Idenya berasal dari keinginan Tajiri membuat game di mana anak-anak bisa menangkap dan mengkoleksi sesuatu, sebagaimana keasyikannya pada serangga di masa kecil. Selain video games dan film kartun, Pokemon juga diproduksi dalam bentuk manga (komik), film, bahkan dalam wujud grafiti di berbagai alat transportasi. Di Indonesia, juga biasa dijumpai dalam festival-festival Cosplay. 

Jumat, 09 Desember 2011

Sedotan Ajaib


Kali ini saya mau mendongeng beneran nih. Kisahnya saya ambil dari buku komik Doraemon jilid 13, yg baru saja dibeli oleh adik saya :


Suatu saat, Nobita yang sarung tangan baseball-nya robek, meminta yang baru kepada Doraemon. “Berpikirlah bahwa apa saja yang kamu mau, nggak bisa didapat semudah itu. Manja, tahu!” tolak Doraemon. “Ah, nggak usah terlalu mudah, susah sedikit juga nggak apa-apa kok,” balas Nobita. Akhirnya Doraemon menyerah dan mengeluarkan sesuatu dari kantung ajaibnya. Beberapa buah sedotan, “ ini namanya sedotan jutawan,” ujar Doraemon. “Dengan membawa ini ke mana-mana, permintaan kita bisa terpenuhi,” lanjutnya. 

Doraemon lalu coba mencontohkan cara memakainya pada Nobita. “Aku ingin makan cake kacang!” pinta Doraemon pada sedotan itu. “Lho, cake kacangnya kan ada di lemari, kalau ambil sendiri nanti dimarahi ibu lho!” ingat Nobita pada Doraemon. Kucing robot itu hanya tersenyum, lalu mereka berdua berjalan keluar dari kamar Nobita dan menuruni tangga. Tiba-tiba ayah Nobita berlari menuju ke arah mereka, “berikan sedotan itu, cepat!” pintanya. Ternyata ayah Nobi menggunakan sedotan itu untuk mengutak-utik hidungnya agar bersin. “Haachi!!! Ah, leganya..” kata ayah. Doraemon kemudian meminta ayah agar sedotan itu ditukar sesuatu. “Oh ya, ini ada kelereng kaca yang kupungut tadi, ayah nggak tahu ini apa,” . “Wah, sasarannya meleset nih,” ujar Nobita pada Doraemon. Doraemon bergeming. Tiba-tiba giliran ibu Nobita yang datang sambil berlari, “Nah, itu dia!!” teriaknya. “Itu setelan kancing ibu yang hilang. Terima kasih Doraemon! Oh ya, kalau mau makan cake kacang yang di lemari boleh lho,” ibu Nobi berlalu sambil bersenandung gembira. ‘Betul kan?” ujar Doraemon. “Wah, hebat!” timpal Nobita. 

Nobita lalu meminta sedotan lain pada Doraemon. “Sarung tangan baseball!” ujar Nobita pada sedotan itu. Nobita lalu berjalan-jalan ke luar rumah sendiri. “Nah, itu dia!” dilihatnya Suneo sedang bermain-main bola baseball dengan sarung tangannya. Nobita menghampiri si anak kaya itu sembari menggoyang-goyangkan sedotan itu di depan muka Suneo. Tidak terjadi apa-apa. Suneo hanya bengong kebingungan, “itu tipuan apa sih?” Nobita ikut bingung. Dia lalu berlalu dari Suneo sambil menggaruk-garuk kepala. Beberapa saat kemudian dilihatnya Shizuka. Nobita melakukan hal yang sama, mendekatkan sedotan itu pada Shizuka. Bukannya memberi apa-apa, Shizuka malah menagih hutang, “ Oh iya! Uangku yang waktu itu untuk makan es krim soda mana?!” Nobita langsung lari kabur.

Akhirnya si anak berkacamata itu hanya bisa melamun di ayunan di taman kota. “Huh, sebenarnya bisa nggak sih?” keluhnya sambil menatap sedotan di tangannya. Dilihatnya seorang ibu dan anaknya yang sedang menangis. “Waaaa, mau main tiup sabun! Huwaaa...” rengek anak itu. “Tapi lihat tuh, sedotannya kamu jatuhin ke lumpur, gimana dong?” ujar sang ibu pada anaknya itu. “Eng..gimana kalau pakai sedotan ini, belum saya pakai kok,” Nobita menghampiri mereka dan menawarkan sedotannya. “Wah, terima kasih, nak!” ibu itu lalu memberikan Nobita sebiji uang logam. “Ini kayaknya belum waktunya jadi sarung tangan,” katanya dalam hati, sambil meninggalkan taman tadi.

Nobita melambung-lambungkan koin itu di tangannya sambil berjalan. Seketika koin itu terlepas dan jatuh menuruni jalan turunan. “Hei!” Nobita berusaha mengejarnya. Koin itu terpental dan masuk ke mulut seorang pengemis yang sedang tidur. “Waaaa! Sarung tanganku!” tangis Nobita. Si pengemis terbangun dan heran, “Kenapa, dik? Apa, uang koinnya tertelan saya? Wah, saya nggak bisa ngasih apa-apa nih sebagai gantinya. E...gimana kalau ini aja?” Pengemis itu memberikan selembar koran bekas yang dipakainya sebagai alas tidur tadi kepada Nobita. Mau tidak mau, Nobita pun menerimanya.

“Duh..sarung tangannya makin jauh nih,” keluh Nobita sepanjang jalan. Hatinya mulai putus asa. Dia merasa permintaannya semakin jauh dari terkabul. Tiba-tiba, ketika melewati sebuah WC umum, dari jendela WC itu nampak sebuah tangan melambai-lambai padanya. “Dik, dik! Kalau ada kertas boleh minta dong!” kata orang di dalam WC itu. Nampaknya orang itu butuh kertas untuk membersihkan dirinya setelah BAB. Nobita pun lalu memberikan koran yang dibawanya tadi. Sesaat kemudian, orang itu keluar dari WC dan menghampiri Nobita. “Wah, terima kasih sekali, Dik! Saya sedang dalam perjalanan menuju transaksi penting, kalau terlambat bisa rugi besar. Berkat kamu, saya tertolong!” Orang itu ternyata adalah seorang direktur toko olahraga. Begitu senangnya, dia menawarkan Nobita, “kamu boleh minta sesuatu!” Nobita pun meminta sarung tangan baseball, dan orang itu memberikannya. Nobita bahagia bukan kepalang, akhirnya permintaannya ternyata terkabul. 

Inti dari dongeng kali ini bukan tentang Nobita-Doraemonnya. Lagian mana ada sedotan kayak begitu, gw juga mau! (tapi syirik juga ya, minta sama sedotan, hehe). Akan tetapi, ada satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah sini. 
Kita (termasuk saya sendiri) tentu sering memohon sesuatu kepada Allah, dan berharap agar segera dikabulkan. Kita lalu mengeluh apabila setelah ditunggu sekian lama, doa kita tak kunjung menjadi kenyataan. Tak hanya mengeluh, bahkan seringkali kita merasa kecewa pada Allah, apabila ternyata sesuatu yang kita terima tidak sesuai dengan doa dan harapan kita. Padahal, sungguh Allah SWT Maha Mengetahui, sementara kita tidaklah mengetahui apa-apa kecuali sedikit. 
“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” demikian bunyi Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 216. Allah adalah yang Menciptakan kita dan Mengatur seluruh alam ini, jadi Dia tentu lebih tahu mana dan bagaimana yang terbaik bagi kita, dibandingkan diri kita sendiri. 

Sebagaimana yang dialami Nobita di atas, seringkali kita berada dalam kondisi di mana bukannya harapan kita terkabul, tapi justru nampak makin menjauh. Seringkali kita memohon sesuatu, tapi yang terjadi justru sebaliknya, bahkan lebih buruk. Dalam kondisi seperti ini, biasanya manusia otomatis akan megeluh bahkan mengutuk Tuhan, hingga kadang enggan berdoa lagi. Itu berarti, kita tengah lupa, bahwa Allah SWT pasti senantiasa mengabulkan doa kita. “Aku Mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku..” (QS.Al Baqarah : 186). 
Hanya saja ada 3 cara yang Dilakukan Allah dalam Mengabulkannya : Dikabulkan, Ditunda, atau Diganti yang lebih baik. Terkadang, Allah sebenarnya hanya menunda saja dalam memberikan apa yang kita minta. Kalau Dia terlebih dahulu Memberikan ujian dan cobaan, sebelum Mengabulkan doa kita, bisa jadi Dia punya maksud tertentu. Bisa jadi Dia hanya ingin Melihat bagaimana reaksi kita (apakah sabar atau tidak, bersyukur atau tidak), ataukah ingin Menjadikan kita lebih tangguh, atau sekedar Memberi pelajaran agar kita tidak sombong saat kita menjadi apa yang kita inginkan nantinya. Wallahu a’lam bi showab.

Winter Olympic Jayawijaya 2022



Jujur, saya meneteskan air mata ketika melihat foto-foto pegunungan Jayawijaya di Google (apalagi kalau ke sana ya?). Sungguh, kurang apa lagi anugerah yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Kita sudah memiliki 60 % dari total spesies tumbuhan di dunia, wilayah laut terluas di dunia, cadangan minyak 9,7 juta barel, 30 % mamalia dunia, 30.000 jenis tanaman obat, terumbu karang terkaya, cadangan gas alam terbesar ke-6 di dunia, bahkan hingga salju pun ada di Indonesia yang padahal adalah negara tropis. Akan tetapi, sungguh ironis karena kita tidak mampu memanfaatkannya untuk kemakmuran kita sendiri. Semuanya habis diambil perusahaan asing dan rakyat kita sendiri malah kelaparan. Itulah yang membuat saya sangat sedih.

Mungkin saking sedihnya, hingga otak saya konslet dan terbesitlah ide gila (kalau tidak bisa dibilang ekstrim) : menyelenggarakan Winter Olympic alias Olimpiade Musim Dingin di pegunungan Jayawijaya, khususnya Puncak Jaya. Mimpi? Nggak juga. Bukannya Indonesia lagi ‘hobi’ jadi tuan rumah event-event Internasional? Daripada nungguin niat nggak jelas ala PSSI untuk jadi tuan rumah Piala Dunia, mending KONI yang ‘sedikit’ lebih jelas organisasinya bisa mencoba merealisasikan ide ini.
Mustahil? Siapa bilang? Singapura dan UEA (Uni Emirat Arab) yang lahannya terbatas bisa jadi tuan rumah berbagai macam ajang internasional, dengan membangun pulau buatan dan sebagainya. Monako, salah satu negara terkecil di dunia, menyulap jalan rayanya jadi arena balap F1. Terkait olimpiade musim dingin ini sendiri, negara-negara tropis macam Jamaika, Madagaskar, sampai negara tetangga kita seperti Thailand dan Filipina nyatanya bisa turut berpartisipasi sebagai kontingen. Sementara ini, yang kemungkinan mengajukan diri (bidding) untuk jadi tuan rumah Winter Olympic 2022 baru negara-negara dingin klasik seperti Eropa dan A.S. Siapa tahu, ketika kita ikut bidding, panitia pemilihan malah jadi tertarik dan kagum, “Winter olympic in tropical country? Wow, that’s impressive! We’re gonna see the most unique olympic ever!”

Memang, akan ada sejumlah hambatan besar tentunya, seperti yang akan saya sebutkan berikut ini. Tapi, di sisi lain sebenarnya semuanya bisa diakali.
Pertama, soal venue. Okelah, untuk cabang-cabang outdoor kita bisa gunakan gunung Carstensz Pyramid dan sekitarnya itu. Tapi bagaimana dengan cabang-cabang indoor, seperti hoki es dan figure skating? Mungkin untuk yang satu ini kita bisa mengebut pembangunan gedungnya, sebagaimana kita mengebut pembangunan sejumlah venue SEA Games di Palembang kemarin. Tapi jangan lupakan juga, untuk yang outdoor pun banyak yang mesti ditata ulang dari lokasi yang ada. Selama ini Pegunungan Jayawijaya jarang, bahkan tidak pernah digunakan untuk wisata dan olahraga es, seperti untuk ski, luge, skeleton, skating, dsb., kecuali untuk pendakian semata. Memang di sana ada Taman Nasional Lorentz, tapi lebih banyak terfokus pada ekosistem tropis yang ada di sekitar Jayawijaya dan Yahukimo.
Semua ini nantinya akan berkaitan juga dengan masalah akomodasi dan transportasi. Selama ini, setidaknya ada 2 jalur yang bisa dan biasa digunakan oleh pendaki wisata untuk menuju Carstensz. Satu adalah melalui jalur desa Ilaga, dan yang lain adalah via helikopter menuju bukit danau. Sebenarnya juga bisa lewat area Tembagapura tambang emasnya Freeport, tapi butuh perizinan ribet dan medannya juga lebih terjal dan berbahaya. Bahkan, di sana tidak dibangun kereta gantung, selain untuk keperluan pertambangan Freeport.

Kelihatan bukan, bahwa sebelum bicara soal biaya dan teknis tata ulang daerah, ada satu biang kerok yang menghambat pengatasan kedua masalah tersebut : Freeport. Panitia winter olympic Sochi (Russia) 2014 merasa paling kerepotan karena harus merelokasi warga-warga yang ada di sekitar pegunungan tersebut. Di Papua, masalahnya akan lebih rumit dari itu. Sudah sejak zaman bahula konflik rakyat Papua vs freeport terjadi, dan telah menyangkut persoalan ekonomi, keamanan, hingga politik. Maka, mau tak mau pemerintah harus menyelesaikan masalah ini jika betul-betul ingin maju ke arena host bidding. Kepada masyarakat setempat, mesti dilakukan pendekatan budaya dan ekonomi. Buang jauh pendekatan militer. Kepada pihak freeport, saya rasa dari dulu cuma satu solusinya : ambil alih! Nggak ada yang lain. Selama kita masih ‘manut’ dan membiarkan saja perusahaan asing itu mengeruk kekayaan alam tanpa memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat setempat, ini masalah nggak akan selesai. Rakyat Papua sebenarnya hanya butuh keadilan, dan demi mereka, kita tidak boleh takut pada A.S dan kawan-kawannya.

sumber gambar : wisatamelayu.com
Sepertinya pembicaraan saya mulai merembet. Tapi memang itulah masalah pokoknya. Kalau soal konflik sosial sudah selesai, maka dampak positifnya akan terasa bagi Indonesia dan rakyat Papua. Salah satunya ya soal persiapan winter olympic ini. Pendekatan budaya dan ekonomi seperti yang saya bilang, mutlak perlu diterapkan pada masyarakat setempat. Jadikan adanya event winter olympic ini sebagai lahan mencari keuntungan bagi mereka. Winter olympic adalah event kelas dunia dan akan ada ratusan tamu asing yang datang, mulai dari atlet dan ofisialnya, pejabat publik, artis, hingga turis. Inilah yang perlu ditekankan pada masyarakat, dan tentu mereka akan senang dengan peluang emas ini.
Setelah pemerintah dan warga bisa bekerjasama, tata ulang dan renovasi akan enak dilaksanakan. Soal keamanan juga menjadi lebih terjamin. Kita bisa mulai membuat akses baru menuju Carstensz Pyramid yang lebih aman dan mudah, tapi tetap menantang dan eksotik. Dalam hal ini sarana dan prasarana trasnportasi perlu ditambah. Di situ juga bisa turut dibangun penginapan-penginapan, apalagi kalau lokasinya di dekat desa tradisional, biasanya bule-bule suka yang seperti itu. Tema ‘Indigenous Tropical Winter’ sepertinya menarik untuk diangkat nih. Apalagi dengan turut memanfaatkan Taman Lorentz berikut pemandangan indahnya.
Kemudian paling pokok tentu saja pembangunan arena-arenanya. Apabila asumsinya kita terpilih pada bidding 2015 dan olimpiadenya baru akan dilaksanakan pada 2022, maka waktu 7 tahun sekiranya cukup untuk persiapan. Asumsi biaya sekitar 5,7 miliar U.S dollar juga bisa diatur jauh-jauh hari. Yang terpenting, semua lokasi ini bisa digunakan untuk jangka panjang pasca olimpiade, yaitu seterusnya menjadi tempat wisata Internasional yang menguntungkan. Menarik bukan?

Lorentz National Park
Kemudian, soal panitia lokal. Menurut saya, ini seharusnya sama sekali bukan masalah jika orang-orang kita ini kompeten, bertanggung jawab, dan cukup punya nurani. Tapi lihat yang terjadi selama SEA Games 2011 kemarin. Mana yang korupsi wisma atlet lah, isu pengaturan skor lah, panitia dibilang nggak profesional lah, penonton nggak tertib lah, aduh pusing.. Saya kira anda sendiri tahu apa sih masalahnya dan gimana cara penyelesaiannya. Sudah banyak yang membahas soal ini dan capek rasanya. Tapi, sungguh saya yakin sebenarnya dalam dada bangsa kita masih tersimpan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Sense itu itulah yang perlu ditembak, agar masyarakat serta panitia terpantik dan sadar, “ini adalah event dunia, nama Indonesia dipertaruhkan di sini. Jadi, saya harus bisa membuat event ini berjalan selancar dan sebersih mungkin,” Yakin! Toh, keuntungannya juga untuk kita sendiri. (kecuali kalau ada yang mau mencari keuntungan ekstra lewat ‘jalur’ lain, itu beda cerita - penyakit bangsa, ckckck)

Di samping itu, masih ada satu masalah krusial lagi. Yaitu soal salju di Jayawijaya dan Puncak Jaya itu sendiri. Diperkirakan kuantitas salju di beberapa pegunungan di dunia, seperti Himalaya, Andes, Patagonia, hingga Jayawijaya akan terus berkurang tiap tahunnya, menyusul terjadinya Global Warming. Bahkan, diprediksi akan menghilang dalam waktu beberapa tahun ke depan, sebagaimana yang sudah terjadi di Kilimanjaro. Oke, ini adalah faktor alam. Tapi, kita semua tentu sudah hafal, apa penyebab global warming itu dan siapa pelakunya. Tak lain adalah manusia sendiri. Nah, dengan demikian, si manusia itu tentu mampu untuk mengatasinya. Dalam kasus Jayawijaya ini, setidaknya bisa menekan angka penurunan lapisan es yang ada. Saya bukan ahli geologi, tapi saya yakin di Indonesia ini banyak scientist yang mampu mencari solusi atas hal ini. Bahkan di Papua sendiri sudah banyak bibit-bibit ilmuwannya, hasil didikan pak Yohanes Surya contohnya.

Jadi, kesimpulannya, selama Indonesia mampu secara mandiri dan otonom memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki, serta membentuk sumber daya manusia yang kompeten dan bermoral, sangat mudah bagi kita untuk melakukan sesuatu yang positif yang mampu membuka mata dunia Internasional. Lebih khusus, termasuk memperhatikan daerah-daerah yang sebenarnya potensial tapi selama ini kurang terakomodir atau malah terlupakan. Faktor alam yang aslinya sulit dikendalikan pun dapat kita kontrol dan optimalkan. Dan, ‘the most unique winter olympic ever’ yang dibilang si panitia bidding tadi bukan lagi sebuah impian.