Halaman

Rabu, 28 Desember 2011

3 Kunci Sukses Wirausaha Ala John Yusuf


Ini sama sekali bukan sebuah kesombongan. Lagipula, sombong dari mana, ini semua kan tentang bapak saya, sementara saya sendiri masih amat sangat jauh dari mampu mempraktekkan apa yang saya tulis ini (dan masih jauh dari kesuksesan beliau). Bapak saya ini sendiri pun, masih banyak lah pengusaha-pengusaha lain di Indonesia yang jauh lebih mapan dan berhasil daripada beliau.


Namun, karena kebetulan saya memiliki banyak teman, rekan, dan kenalan yang sedang merintis menjadi wirausahawan / entrepreneur, maka saya mencoba untuk men-share kan hal ini, siapa tahu bisa menjadi masukan yang cukup berarti. Bapak saya, John Yusuf, dulunya hanyalah seorang pemuda kurang mampu yang merantau dari Padang ke Jakarta. Menempuh pendidikan di ibukota, beliau hanya berbekal satu buah buku tulis yang diselipkan di saku seragamnya, tiap kali berangkat ke sekolah. Selepas SMA, beliau tidak melanjutkan kuliah. Beliau nyaris tidak punya keahlian apapun, termasuk sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mengerti soal teknologi. Hingga akhirnya, menjadi presiden direktur sekaligus owner dari perusahaan-perusahaan distributor alat kedokteran bertaraf Internasional (dulu Synthes Indoraya dan Tilas Nusa Jaya, kini PT Sarana Orthotama). Kok bisa?
Berikut ini, beberapa pelajaran yang saya petik dari beliau :

1.    Belajar, Belajar, dan tetap Belajar

Seperti yang saya ceritakan tadi, bapak saya memulai usahanya tanpa modal apapun alias mulai dari nol besar. Dulunya, selepas sekolah beliau kemudian menjadi semacam salesman keliling di sebuah perusahaan distributor alat kedokteran (PT Elektromedika). Nah, dari situlah beliau diam-diam banyak mempelajari bagaimana mekanisme kerja di dalam perusahaan itu, bagaimana para manajernya mengelolanya, bagaimana hubungan dengan konsumen, persoalan teknisnya seperti apa serta bagaimana cara mengatasinya, dan lain sebagainya. Hingga dari hasil proses kegigihan dalam belajar tersebut, karirnya terus meningkat hingga menjadi general manager. Hingga kemudian, bapak keluar dari situ kemudian mencoba-coba mendirikan perusahaan sendiri dengan modal seadanya serta pinjaman dari pihak lain. Dari situ kemudian dia mulai mencari link, berpromosi, dan lain-lain yang intinya mulai mempraktekkan yang dia pelajari sebelumnya. Hingga kedua perusahaan yang dia dirikan itu (Synthes Indoraya dan Tilas Nusa Jaya) mampu terus berkembang. Dalam proses itu, dia juga masih tetap belajar.

Seperti yang sempat saya sebutkan sebelumnya, bapak tidak memiliki bakat atau keahlian apapun. Pun dengan pendidikan formal di bidang kedokteran. Namun, setelah beberapa lama bekerja di perusahaan bidang kedokteran itu, beliau merasakan passion-nya ada di situ. Beliau pernah menekankan kepada saya, bahwa dalam bisnis jangan sampai orientasi kita semata hanya mencari uang sebanyak-banyaknya. Asalkan kita passion, senang dengan yang kita kerjakan, maka rejeki akan mengalir dengan sendirinya. Lanjut soal belajar, bapak pun kemudian banyak belajar otodidak mengenai kedokteran, khususnya bidang orthopaedi yang menjadi lingkup bisnisnya. Beliau sering ikut masuk ke ruang operasi, melihat bagaimana proses bedah. Beliau sering berdiskusi dengan para dokter-dokter ahli, membaca buku, dan lain sebagainya. Jadilah beliau mengerti apa yang dibutuhkan oleh customer (yang sebagian besar dokter-dokter), sehingga tahu apa yang harus dilakukan.

Belajar di sini juga tentu saja termasuk belajar dari kegagalan. Beberapa tahun belakangan, perusahaannya sempat beberapa kali kolaps, bahkan nyaris tutup. Namun, bapak mempelajari kesalahan-kesalahan apa yang telah diperbuat, kemudian menggantinya dengan perbaikan sana sini, serta belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hingga akhirnya, perusahaannya mampu tetap bertahan dan bangkit lagi. Hingga kini, bapak masih tetap belajar. Di kala perkembangan IT makin pesat, beliau mempelajarinya, agar mampu menyesuaikan diri.

2.    Link

Salah satu faktor yang mendasari bapak saya untuk keluar dari Elektromedika dulu adalah karena beliau telah ditawari oleh perusahaan pemodal asing dari Swiss, Synthes. Synthes hendak memasarkan produk-produknya di Indonesia, dan menginginkan bapak sebagai mitranya. Bagaimana ceritanya beliau bisa sampai ke investor asing itu? Membangun jaringan. Hanya itulah yang dia lakukan. Ketika Synthes mendekatinya, bapak masih menjabat sebagai manager di Elektromedika. Namun, karena memendam keinginan untuk membuka perusahaan sendiri, bapak mulai mencari-cari link. Melalui proses jejaring inilah, beliau sampai kepada Synthes yang ternyata tertarik pada cara kerjanya dan bagaimana kemampuan beliau mendekati customer. Yang berhasil beliau dekati waktu itu adalah salah seorang supervisor Synthes di Asia, mr.Liem dari Singapura. Harus bisa bahasa Inggris? Bagi beliau, itu nggak penting! Yang terpenting ya bagaimana mencari jaringan dan menjalin relasi sebanyak-banyaknya itu tadi.

Terkait soal link ini, beliau menekankan satu hal, yaitu jangan mudah menyerah untuk hal yang satu ini. Menurut beliau, kemandegan kebanyakan pengusaha atau orang-orang yang ingin berwirausaha, bukan soal tidak berbakat di bidang bisnisnya ataupun tidak mampu mengelola keuangan, melainkan semata karena yang bersangkutan ‘malas’ untuk terus membuka jaringan baru. Beliau pernah menceritakan bagaimana banyak karyawannya tidak berkembang karena hanya mau berhubungan dengan customer yang itu-itu saja. Ketika diminta mendekati yang baru, dan ternyata si target itu orang yang ‘sulit’, mereka menyerah. Tidak demikian dengan bapak. Beliau akan terus mencari relasi baru. Tak peduli yang bersangkutan menolak 2, 3 bahkan sampai 5 kali, bapak akan terus mendekatinya hingga bersedia menjadi pelanggan. Contoh lainnya, ketika bapak harus menutup Synthes Indoraya pada 1997, justru datang investor asing baru, yaitu Zimmer dari A.S yang bersedia menyuplai perusahaan beliau yang lain, Tilas Nusa Jaya. Ini juga terjadi dari bagaimana beliau membangun jaringan sebelumnya.

3.    Trust sebagai kunci utama

Pada 2010 lalu, bapak mulai merasa capek mengelola perusahaan sendiri (faktor umur), hingga Tilas Nusa Jaya diakuisisi oleh pihak lain. Beliau pun mundur dan mendirikan Sarana Orthotama, tapi hanya memposisikan diri sebagai manager. Yang menarik, hampir semua karyawan beliau di Tilas ikutan mundur dan mengikuti beliau pindah ke perusahaan barunya (alias eksodus besar-besaran). Sungguh, semua itu terjadi bukan karena provokasi ataupun iming-iming gaji besar. Semuanya hanyalah karena ikatan emosional belaka. Ya, ikatan emosional yang telah dibentuk oleh bapak selama bertahun-tahun melalui hubungan interpersonal yang positif dengan para bawahannya.

Beliau biasa membawakan oleh-oleh dan menanyakan kabar keluarga dari para karyawannya. Pernah beliau menyempatkan jauh-jauh dari Jakarta, hanya untuk bersilaturahmi ke rumah seorang karyawannya di Kebumen, lantaran bapak merasa karyawannya yang cuma pegawai biasa itu telah banyak membantu perusahaan. Beliau bahkan bisa tahu, ketika salah seorang OB di kantornya sedang punya masalah dengan pacarnya, padahal si OB itu tidak mengungkapkannya. Bukan hanya para karyawan pusat, begitu pula dengan yang di cabang-cabang daerah. Saya pernah lihat sendiri, seorang managernya di Surabaya biasa membawa istri dan anak-anaknya ke kantor, dan tidak pernah ada masalah dengan itu. Atmosfer kekeluargaan macam itulah yang menciptakan kepercayaan (trust) di antara mereka, dan itu memberikan dampak positif bagi perusahaan.

Trust di sini bukan hanya dalam hubungan internal perusahaan, tapi tentu saja juga dalam hubungan dengan para customer. Bapak juga bisa begitu membina hubungan akrab dengan para pelanggannya. Beliau biasa bercanda, bersilaturahmi, bahkan sampai bisa mengenal keluarga dari pelanggannya yang tingkat profesor sekalipun. Hingga banyak customer yang enggan beralih ke perusahaan lain. Jangankan ke distributor lain, kadang mereka juga lebih suka berurusan langsung dengan bapak daripada dengan salesman ataupun manager beliau, saking dekatnya beliau dengan para customer. Pun dalam hubungan dengan pihak produsen utama dan penanam modal. Pada masa awal-awal berwirausaha  sendiri, pihak investor asing (Synthes) itu menaruh kepercayaan penuh pada bapak, dengan menyediakan semua fasilitas termasuk menyediakan perusahaan itu sendiri untuk dikuasai dan dikelola oleh beliau. Semua hanyalah bermodalkan dua hal : trust dan trustworthy. Dan salah satu cara paling efektif adalah dengan mengembangkan hubungan interpersonal yang hangat.

Sebenarnya masih ada satu lagi, sebuah ‘ritual’ khusus yang biasa bapak lakukan dalam pekerjaannya. Tiap kali hendak menelepon customer ataupun relasinya untuk sebuah transaksi / keperluan bisnis, beliau selalu terlebih dahulu membaca surat Al Fathihah, dan setelah itu baru menekan nomor kontak ataupun tombol call di HP (kalau dulu ya telepon)-nya. Menurut pengalaman beliau selama bertahun-tahun, cara ini 99 % manjur, dan selalu menganjurkan saya untuk menirunya dalam urusan-urusan penting. Jadi, selamat mencoba.. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar