Ini
sama sekali bukan sebuah kesombongan. Lagipula, sombong dari mana, ini semua
kan tentang bapak saya, sementara saya sendiri masih amat sangat jauh dari
mampu mempraktekkan apa yang saya tulis ini (dan masih jauh dari kesuksesan
beliau). Bapak saya ini sendiri pun, masih banyak lah pengusaha-pengusaha lain
di Indonesia yang jauh lebih mapan dan berhasil daripada beliau.
Namun,
karena kebetulan saya memiliki banyak teman, rekan, dan kenalan yang sedang
merintis menjadi wirausahawan / entrepreneur, maka saya mencoba untuk men-share
kan hal ini, siapa tahu bisa menjadi masukan yang cukup berarti. Bapak saya,
John Yusuf, dulunya hanyalah seorang pemuda kurang mampu yang merantau dari
Padang ke Jakarta. Menempuh pendidikan di ibukota, beliau hanya berbekal satu
buah buku tulis yang diselipkan di saku seragamnya, tiap kali berangkat ke
sekolah. Selepas SMA, beliau tidak melanjutkan kuliah. Beliau nyaris tidak
punya keahlian apapun, termasuk sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris dan
tidak mengerti soal teknologi. Hingga akhirnya, menjadi presiden direktur sekaligus
owner dari perusahaan-perusahaan
distributor alat kedokteran bertaraf Internasional (dulu Synthes Indoraya dan
Tilas Nusa Jaya, kini PT Sarana Orthotama). Kok bisa?
Berikut
ini, beberapa pelajaran yang saya petik dari beliau :
1.
Belajar,
Belajar, dan tetap Belajar
Seperti yang saya ceritakan tadi, bapak saya memulai
usahanya tanpa modal apapun alias mulai dari nol besar. Dulunya, selepas
sekolah beliau kemudian menjadi semacam salesman keliling di sebuah perusahaan
distributor alat kedokteran (PT Elektromedika). Nah, dari situlah beliau
diam-diam banyak mempelajari bagaimana mekanisme kerja di dalam perusahaan itu,
bagaimana para manajernya mengelolanya, bagaimana hubungan dengan konsumen,
persoalan teknisnya seperti apa serta bagaimana cara mengatasinya, dan lain
sebagainya. Hingga dari hasil proses kegigihan dalam belajar tersebut, karirnya
terus meningkat hingga menjadi general manager. Hingga kemudian, bapak keluar
dari situ kemudian mencoba-coba mendirikan perusahaan sendiri dengan modal
seadanya serta pinjaman dari pihak lain. Dari situ kemudian dia mulai mencari link, berpromosi, dan lain-lain yang
intinya mulai mempraktekkan yang dia pelajari sebelumnya. Hingga kedua
perusahaan yang dia dirikan itu (Synthes Indoraya dan Tilas Nusa Jaya) mampu
terus berkembang. Dalam proses itu, dia juga masih tetap belajar.
Seperti yang sempat saya sebutkan sebelumnya, bapak
tidak memiliki bakat atau keahlian apapun. Pun dengan pendidikan formal di
bidang kedokteran. Namun, setelah beberapa lama bekerja di perusahaan bidang
kedokteran itu, beliau merasakan passion-nya
ada di situ. Beliau pernah menekankan kepada saya, bahwa dalam bisnis jangan sampai orientasi kita semata hanya
mencari uang sebanyak-banyaknya. Asalkan
kita passion, senang dengan yang kita
kerjakan, maka rejeki akan mengalir dengan sendirinya. Lanjut soal
belajar, bapak pun kemudian banyak belajar otodidak mengenai kedokteran,
khususnya bidang orthopaedi yang menjadi lingkup bisnisnya. Beliau sering ikut
masuk ke ruang operasi, melihat bagaimana proses bedah. Beliau sering
berdiskusi dengan para dokter-dokter ahli, membaca buku, dan lain sebagainya.
Jadilah beliau mengerti apa yang dibutuhkan oleh customer (yang sebagian besar dokter-dokter), sehingga tahu apa
yang harus dilakukan.
Belajar di sini juga tentu saja termasuk belajar
dari kegagalan. Beberapa tahun belakangan, perusahaannya sempat beberapa kali
kolaps, bahkan nyaris tutup. Namun, bapak mempelajari kesalahan-kesalahan apa
yang telah diperbuat, kemudian menggantinya dengan perbaikan sana sini, serta
belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hingga akhirnya,
perusahaannya mampu tetap bertahan dan bangkit lagi. Hingga kini, bapak masih
tetap belajar. Di kala perkembangan IT makin pesat, beliau mempelajarinya, agar
mampu menyesuaikan diri.
2.
Link
Salah satu faktor yang mendasari bapak saya untuk
keluar dari Elektromedika dulu adalah karena beliau telah ditawari oleh
perusahaan pemodal asing dari Swiss, Synthes. Synthes hendak memasarkan
produk-produknya di Indonesia, dan menginginkan bapak sebagai mitranya.
Bagaimana ceritanya beliau bisa sampai ke investor asing itu? Membangun
jaringan. Hanya itulah yang dia lakukan. Ketika Synthes mendekatinya, bapak
masih menjabat sebagai manager di Elektromedika. Namun, karena memendam
keinginan untuk membuka perusahaan sendiri, bapak mulai mencari-cari link.
Melalui proses jejaring inilah, beliau sampai kepada Synthes yang ternyata
tertarik pada cara kerjanya dan bagaimana kemampuan beliau mendekati customer. Yang berhasil beliau dekati
waktu itu adalah salah seorang supervisor Synthes di Asia, mr.Liem dari
Singapura. Harus bisa bahasa Inggris? Bagi beliau, itu nggak penting! Yang
terpenting ya bagaimana mencari jaringan dan menjalin relasi sebanyak-banyaknya
itu tadi.
Terkait soal link ini, beliau menekankan satu hal,
yaitu jangan mudah menyerah untuk hal yang satu ini. Menurut beliau, kemandegan kebanyakan pengusaha atau orang-orang yang
ingin berwirausaha, bukan soal tidak berbakat di bidang bisnisnya ataupun tidak
mampu mengelola keuangan, melainkan semata karena yang bersangkutan ‘malas’
untuk terus membuka jaringan baru. Beliau pernah menceritakan bagaimana
banyak karyawannya tidak berkembang karena hanya mau berhubungan dengan customer yang itu-itu saja. Ketika
diminta mendekati yang baru, dan ternyata si target itu orang yang ‘sulit’,
mereka menyerah. Tidak demikian dengan bapak. Beliau akan terus mencari relasi
baru. Tak peduli yang bersangkutan menolak 2, 3 bahkan sampai 5 kali, bapak
akan terus mendekatinya hingga bersedia menjadi pelanggan. Contoh lainnya,
ketika bapak harus menutup Synthes Indoraya pada 1997, justru datang investor
asing baru, yaitu Zimmer dari A.S yang bersedia menyuplai perusahaan beliau
yang lain, Tilas Nusa Jaya. Ini juga terjadi dari bagaimana beliau membangun
jaringan sebelumnya.
3.
Trust sebagai kunci utama
Pada 2010 lalu, bapak mulai merasa capek mengelola
perusahaan sendiri (faktor umur), hingga Tilas Nusa Jaya diakuisisi oleh pihak
lain. Beliau pun mundur dan mendirikan Sarana Orthotama, tapi hanya
memposisikan diri sebagai manager. Yang menarik, hampir semua karyawan beliau
di Tilas ikutan mundur dan mengikuti beliau pindah ke perusahaan barunya (alias
eksodus besar-besaran). Sungguh, semua itu terjadi bukan karena provokasi
ataupun iming-iming gaji besar. Semuanya hanyalah karena ikatan emosional
belaka. Ya, ikatan emosional yang telah dibentuk oleh bapak selama
bertahun-tahun melalui hubungan interpersonal yang positif dengan para bawahannya.
Beliau biasa membawakan oleh-oleh dan menanyakan
kabar keluarga dari para karyawannya. Pernah beliau menyempatkan jauh-jauh dari
Jakarta, hanya untuk bersilaturahmi ke rumah seorang karyawannya di Kebumen,
lantaran bapak merasa karyawannya yang cuma pegawai biasa itu telah banyak
membantu perusahaan. Beliau bahkan bisa tahu, ketika salah seorang OB di
kantornya sedang punya masalah dengan pacarnya, padahal si OB itu tidak
mengungkapkannya. Bukan hanya para karyawan pusat, begitu pula dengan yang di
cabang-cabang daerah. Saya pernah lihat sendiri, seorang managernya di Surabaya
biasa membawa istri dan anak-anaknya ke kantor, dan tidak pernah ada masalah
dengan itu. Atmosfer kekeluargaan macam itulah yang menciptakan kepercayaan (trust) di antara mereka, dan itu
memberikan dampak positif bagi perusahaan.
Trust di sini bukan hanya dalam hubungan internal
perusahaan, tapi tentu saja juga dalam hubungan dengan para customer. Bapak juga bisa begitu membina
hubungan akrab dengan para pelanggannya. Beliau biasa bercanda, bersilaturahmi,
bahkan sampai bisa mengenal keluarga dari pelanggannya yang tingkat profesor
sekalipun. Hingga banyak customer
yang enggan beralih ke perusahaan lain. Jangankan ke distributor lain, kadang
mereka juga lebih suka berurusan langsung dengan bapak daripada dengan salesman
ataupun manager beliau, saking dekatnya beliau dengan para customer. Pun dalam hubungan dengan pihak produsen utama dan penanam
modal. Pada masa awal-awal berwirausaha
sendiri, pihak investor asing (Synthes) itu menaruh kepercayaan penuh pada
bapak, dengan menyediakan semua fasilitas termasuk menyediakan perusahaan itu
sendiri untuk dikuasai dan dikelola oleh beliau. Semua
hanyalah bermodalkan dua hal : trust dan
trustworthy. Dan salah satu
cara paling efektif adalah dengan mengembangkan hubungan interpersonal yang
hangat.
Sebenarnya masih ada
satu lagi, sebuah ‘ritual’ khusus yang biasa bapak lakukan dalam pekerjaannya.
Tiap kali hendak menelepon customer
ataupun relasinya untuk sebuah transaksi / keperluan bisnis, beliau selalu
terlebih dahulu membaca surat Al Fathihah, dan setelah itu baru menekan nomor
kontak ataupun tombol call di HP (kalau dulu ya telepon)-nya. Menurut
pengalaman beliau selama bertahun-tahun, cara ini 99 % manjur, dan selalu
menganjurkan saya untuk menirunya dalam urusan-urusan penting. Jadi, selamat
mencoba.. J .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar