Ungkapan
di atas mulanya adalah kelakar yang dikeluarkan oleh rekan saya, Okta Setyawan
(seharusnya dia patenkan, bagus tuh). Dia juga mempopulerkan kata-kata ‘sela’
(baca : selo) di antara kami dan teman-teman lain, yang kemudian menjadi
semacam anekdot dan kata favorit bagi kami. Sudah seharusnya mungkin untuk
dijadikan Trending Topic dengan hashtag #Selo. Hehehe.
‘Sela’
sendiri biasa diartikan sebagai ‘renggang’ atau ‘longgar’. Dalam kamus bahasa
Jawa, Bausastra Jawa, ‘Sela’ didefinisikan sebagai ‘lowong, ora ana isine’ alias ‘lowong, tidak ada isinya’. Definisi
ini yang kemudian digunakan oleh banyak anak muda saat ini, di Jogja khususnya,
untuk menggunakan kata ‘sela’ ini sebagai pengganti kata ‘koplak’ atau ‘pekok’
alias bodoh. Maksudnya di sini, yang ‘sela’ atau nggak ada isinya itu adalah
otaknya. Contoh penggunaannya antara lain seperti yang digunakan sebagai nama
sebuah event rutin berupa stand up comedy
setiap hari selasa di sebuah cafe di Jogjakarta, yang bernama ‘SelosoSelo’.
Contoh lainnya ya seperti yang saya dan teman-teman lakukan tadi.
Mungkin
awal mula teman saya si Okta itu mencetuskan ungkapan tersebut (“urip iki yo
mung sela”) hanya karena asyik saja menggunakan kata-kata ‘sela’ itu. Tapi,
sebenarnya ada benarnya juga jika dibilang bahwa “urip iki yo mung sela”. Urip atau hidup ini memang sebenarnya
penuh dengan kelonggaran alias sela.
Pada dasarnya, hidup ini memang tidak ada isinya, tidak ada esensi ataupun
maknanya. Manusia lah yang kemudian mengisi kelonggaran atau kekosongan tersebut.
Caranya?
Kata ‘sela’ apabila diberi ater-ater
(awalan) ‘ny-‘ maka akan menjadi kata kerja ‘nyela’. ‘Nyela’ dapat
didefinisikan sebagai ‘dhuwe wektu kanggo
nindakake’ atau ‘punya waktu untuk melakukan’. Segala kelonggaran yang ada
di dunia, baik itu waktu, tempat, maupun kelonggaran implisit seperti apa-apa
yang diberikan Tuhan kepada manusia, sejatinya menjadikan manusia memiliki
modal untuk melakukan sesuatu. Manusia sebenarnya selalu memiliki kesempatan
untuk dapat mengerjakan sebuah proses, apapun itu. Tidak pernah ada waktu yang
dibilang tidak cukup. Tidak pernah ada tempat yang sempit. Semuanya ‘sela’.
Hanya
saja, seringkali manusia tidak menyadari hal tersebut, sehingga menyia-nyiakan
kelonggaran yang ada dan memilih untuk tidak memanfaatkan kesempatan luar biasa
yang telah dianugerahkan Tuhan ini. Manusia semacam ini, berarti dia lebih
memaknai ‘sela’ berdasar definisinya yang lain, yaitu ‘mbeneri ora ana pagawean, utawa mbeneri ora nyambut gawe’. Dengan
kata lain, orang-orang ini tidak pernah merasa dirinya punya ‘tugas’ atau
pekerjaan di dunia ini, dan membiarkan semuanya mengalir berdasar kebeneran (kebetulan) saja. Istilah
lain, malas.
Kemudian
apabila kata ‘nyela’ itu sendiri diberi
panambang (akhiran) ‘-ni’ (menjadi ‘nyelani’)
atau ‘-ake’ (‘nyelakake’), maka maknanya
menjadi semakin luas. ‘Nyelani’ bisa
berarti ‘nyesel ing tengahe sing isih sela’. Artinya, memasukkan atau melakukan
sesuatu di antara kelonggaran yang ada. Jadi, betapapun ketika kita memiliki
waktu luang di antara kesibukan kita, atau mendapatkan kemudahan di antara
kesempitan kita, maka itu tetaplah sebuah amanah dari Tuhan, untuk dapat
dimanfaatkan dengan optimal. Dengan kata lain, tetap tidak akan ada sesuatu
yang sia-sia di dunia ini, apabila kita bisa ‘nyelani’. Di sisi lain, ‘nyelani’
juga diartikan sebagai ‘medhot’ alias
‘memutus atau memotong’. Apabila manusia sudah mencapai batasnya, maka kita
bisa memotong di tengah jalan, karena sesungguhnya Tuhan juga tidak pernah
memaksakan kehendak-Nya. Namun patut diingat, ketika kita memutus rantai yang
ada, maka setelah itu akan ada ‘sela’ baru, yang mau tidak mau harus kita isi
lagi, dan dengan demikian proses hidup pun berlanjut.
Sementara
itu, ‘Nyelakake’ terkadang dapat
diartikan sebagai ‘ngelengake’ atau
‘mengingatkan’. Sebenarnya, tugas manusia di dunia ini, terhadap dirinya
sendiri dan juga terhadap manusia lainnya, hanyalah soal mengingat dan saling
mengingatkan. Di kala kita lupa akan ‘sela’ yang ada dan maka akan ada orang
lain yang ‘nyelakake’ ataupun kita
yang ‘nyelakake’ diri sendiri. Dengan
demikian, maka isi dari kehidupan kita di dunia hanyalah sela dan selo, serta
bagaimana kita bisa mengoptimalkan itu. Sela
tetap akan ada, dan kita akan terus menemui sela,
entah kita menyadarinya atau tidak, entah kita mengingatnya atau tidak.
Selama anda masih hidup, anda akan tetap bertemu dengan selo. Maka, ber-selo ria lah, sebelum anda tidak lagi selo!
Selama anda masih hidup, anda akan tetap bertemu dengan selo. Maka, ber-selo ria lah, sebelum anda tidak lagi selo!
Referensi :
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa. Yogyakarta:Kanisius
Jatirahayu, Warih. 2004. Manca Warna, Kawruh Pepak Basa Jawa. Yogyakarta:Grafika Indah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar