Halaman

Kamis, 22 Desember 2011

"Urip Iki yo Mung Sela"


Ungkapan di atas mulanya adalah kelakar yang dikeluarkan oleh rekan saya, Okta Setyawan (seharusnya dia patenkan, bagus tuh). Dia juga mempopulerkan kata-kata ‘sela’ (baca : selo) di antara kami dan teman-teman lain, yang kemudian menjadi semacam anekdot dan kata favorit bagi kami. Sudah seharusnya mungkin untuk dijadikan Trending Topic dengan hashtag #Selo. Hehehe.

‘Sela’ sendiri biasa diartikan sebagai ‘renggang’ atau ‘longgar’. Dalam kamus bahasa Jawa, Bausastra Jawa, ‘Sela’ didefinisikan sebagai ‘lowong, ora ana isine’ alias ‘lowong, tidak ada isinya’. Definisi ini yang kemudian digunakan oleh banyak anak muda saat ini, di Jogja khususnya, untuk menggunakan kata ‘sela’ ini sebagai pengganti kata ‘koplak’ atau ‘pekok’ alias bodoh. Maksudnya di sini, yang ‘sela’ atau nggak ada isinya itu adalah otaknya. Contoh penggunaannya antara lain seperti yang digunakan sebagai nama sebuah event rutin berupa stand up comedy setiap hari selasa di sebuah cafe di Jogjakarta, yang bernama ‘SelosoSelo’. Contoh lainnya ya seperti yang saya dan teman-teman lakukan tadi.


Mungkin awal mula teman saya si Okta itu mencetuskan ungkapan tersebut (“urip iki yo mung sela”) hanya karena asyik saja menggunakan kata-kata ‘sela’ itu. Tapi, sebenarnya ada benarnya juga jika dibilang bahwa “urip iki yo mung sela”. Urip atau hidup ini memang sebenarnya penuh dengan kelonggaran alias sela. Pada dasarnya, hidup ini memang tidak ada isinya, tidak ada esensi ataupun maknanya. Manusia lah yang kemudian mengisi kelonggaran atau kekosongan tersebut.

Caranya? Kata ‘sela’ apabila diberi ater-ater (awalan) ‘ny-‘ maka akan menjadi kata kerja ‘nyela’. ‘Nyela’ dapat didefinisikan sebagai ‘dhuwe wektu kanggo nindakake’ atau ‘punya waktu untuk melakukan’. Segala kelonggaran yang ada di dunia, baik itu waktu, tempat, maupun kelonggaran implisit seperti apa-apa yang diberikan Tuhan kepada manusia, sejatinya menjadikan manusia memiliki modal untuk melakukan sesuatu. Manusia sebenarnya selalu memiliki kesempatan untuk dapat mengerjakan sebuah proses, apapun itu. Tidak pernah ada waktu yang dibilang tidak cukup. Tidak pernah ada tempat yang sempit. Semuanya ‘sela’.
Hanya saja, seringkali manusia tidak menyadari hal tersebut, sehingga menyia-nyiakan kelonggaran yang ada dan memilih untuk tidak memanfaatkan kesempatan luar biasa yang telah dianugerahkan Tuhan ini. Manusia semacam ini, berarti dia lebih memaknai ‘sela’ berdasar definisinya yang lain, yaitu ‘mbeneri ora ana pagawean, utawa mbeneri ora nyambut gawe’. Dengan kata lain, orang-orang ini tidak pernah merasa dirinya punya ‘tugas’ atau pekerjaan di dunia ini, dan membiarkan semuanya mengalir berdasar kebeneran (kebetulan) saja. Istilah lain, malas.

Kemudian apabila kata ‘nyela’ itu sendiri diberi panambang (akhiran) ‘-ni’ (menjadi ‘nyelani’) atau ‘-ake’ (‘nyelakake’), maka maknanya menjadi semakin luas. ‘Nyelani’ bisa berarti ‘nyesel ing tengahe sing isih sela’. Artinya, memasukkan atau melakukan sesuatu di antara kelonggaran yang ada. Jadi, betapapun ketika kita memiliki waktu luang di antara kesibukan kita, atau mendapatkan kemudahan di antara kesempitan kita, maka itu tetaplah sebuah amanah dari Tuhan, untuk dapat dimanfaatkan dengan optimal. Dengan kata lain, tetap tidak akan ada sesuatu yang sia-sia di dunia ini, apabila kita bisa ‘nyelani’. Di sisi lain, ‘nyelani’ juga diartikan sebagai ‘medhot’ alias ‘memutus atau memotong’. Apabila manusia sudah mencapai batasnya, maka kita bisa memotong di tengah jalan, karena sesungguhnya Tuhan juga tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Namun patut diingat, ketika kita memutus rantai yang ada, maka setelah itu akan ada ‘sela’ baru, yang mau tidak mau harus kita isi lagi, dan dengan demikian proses hidup pun berlanjut.

Sementara itu, ‘Nyelakake’ terkadang dapat diartikan sebagai ‘ngelengake’ atau ‘mengingatkan’. Sebenarnya, tugas manusia di dunia ini, terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap manusia lainnya, hanyalah soal mengingat dan saling mengingatkan. Di kala kita lupa akan ‘sela’ yang ada dan maka akan ada orang lain yang ‘nyelakake’ ataupun kita yang ‘nyelakake’ diri sendiri. Dengan demikian, maka isi dari kehidupan kita di dunia hanyalah sela dan selo, serta bagaimana kita bisa mengoptimalkan itu. Sela tetap akan ada, dan kita akan terus menemui sela, entah kita menyadarinya atau tidak, entah kita mengingatnya atau tidak.
Selama anda masih hidup, anda akan tetap bertemu dengan selo. Maka, ber-selo ria lah, sebelum anda tidak lagi selo!

Referensi :
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa. Yogyakarta:Kanisius
Jatirahayu, Warih. 2004. Manca Warna, Kawruh Pepak Basa Jawa. Yogyakarta:Grafika Indah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar