Halaman

Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Maret 2014

Jangan Remehkan Doa Orang Lain

*semua yang saya tulis ini tidak bermaksud riya’, ujub, sum’ah, atau yang lainnya. Ini hanya sharing dan sekaligus pembelajaran bersama semata...


Kala itu, sekitar tahun 2007, namun saya lupa bulannya apa. Waktu itu, sore hari, hujan deras baru saja turun. Saya dan beberapa orang tetangga saya sedang berada di masjid kampung kami, karena baru usai mengajar TPQ.
Saya berdiri di pintu samping masjid yang menghadap ke tempat wudhu dan kamar mandi. Di antara pintu samping itu dengan kamar mandi adalah jalanan umum, sehingga tidak ada atap atau semacamnya. Menatap hujan. Seketika itu, dari dalam kamar mandi keluar sesosok kakek-kakek renta. Pakaiannya lusuh, sarungnya ditariknya ke atas, kakinya nampak agak lumpuh dan sulit berjalan. Beliau bukan warga kampung kami, sepertinya seorang tunawisma musafir.
Tiba-tiba, kakek itu memanggil-manggil saya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Nak, tolong kemari, bantu saya.” Tentu  saya merasa iba. Hujan-hujan begitu, dengan kondisi kaki dan fisik seperti itu, tentu si kakek sangat kesusahan untuk mencapai masjid. Bergegas saya ambil payung, kemudian saya hampiri kakek itu. Setelah itu saya gandeng beliau, saya payungi sambil saya tuntun berjalan perlahan. Jalannya sangat pelan dan tergopoh-gopoh. Padahal kata dia pakaiannya ada di sisi masjid yang lain, di mana kami harus mengitari masjid untuk mencapainya, hujan-hujan.
Saya tuntun terus beliau perlahan sambil memayungi, biarpun saya jadi yang kehujanan, biarlah. Sambil berjalan itu, si kakek tiba-tiba nyeletuk “makasih ya nak, makasih ya. saya doakan kamu jadi dosen nak, jadi dosen besok kamu..” Kontan saya agak kaget. Jadi dosen? Dari mana beliau tahu kalau itu salah satu cita-cita saya. Sementara kami bahkan tidak saling mengenal.
Waktu itu saya masih kuliah, skripsi pun belum. Cita-cita saya yang utama saat itu adalah bekerja di media massa atau di bidang entertainment tapi di balik layar. Sedangkan dosen adalah opsi lain. Saya perhatikan wajah sang kakek yang menghadap ke depan, nampak berkaca-kaca. Saya meyakini, beliau tulus dalam mendoakan saya. Amiin, demikian balas saya dalam hati…


Sekarang, tahun 2014, saya telah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jabodetabek. Saya pun teringat kembali dengan doa sang kakek, meskipun saya tidak begitu ingat lagi wajahnya seperti apa. Namun, satu hal yang saya ambil hikmahnya dari sini adalah, jangan pernah remehkan doa orang lain. Meskipun orang tersebut adalah orang asing (tidak pernah kita kenal sebelumnya), ataupun nampak lemah dan remeh apabila kita lihat dari sudut pandang duniawi, namun sesungguhnya Allah SWT tidak pernah memandang status tersebut. 

Jumat, 28 Februari 2014

Dicari : Ponirah


Saat ini saya tengah dipusingkan oleh mencari pengasuh untuk putra saya yang masih bayi. Mencari pengasuh yang ideal (atau setidaknya sedikit di bawah ideal) : jujur dan telaten, ternyata sangat sulit. Saya sudah minta dicarikan melalui ibu saya, dengan menghubungi teman-temannya, tapi tidak ada. Blusukan juga sudah dijalankan ke dusun-dusun di pelosok Gunung Kidul Jogja, tapi tetap tidak ditemukan calon PRT yang sesuai dengan kriteria kami. Demikian sulitnya mencari di kampung, apalagi mau mencari di sekitar tetangga saya di Bekasi sekarang. Sementara di sisi lain, saya juga mendapat cerita dari dua teman sekantor saya yang memperoleh PRT yang ‘aneh-aneh’. Yang satu, kebanyakan request tapi kerjanya nggak jelas. Yang satu lagi, ternyata diam-diam memprovokatori teman saya dengan mertuanya. Akhirnya, kedua PRT itu hanya bertahan tak sampai tiga hari di rumah teman-teman saya tersebut. Kasus ini membuat saya makin bingung mencari calon PRT.

Sulitnya mencari PRT seperti dewasa ini, sejatinya tidak terjadi pada era 1980 hingga 1990-an lalu. Pada saat itu, masih sangat banyak warga di pelosok desa, khususnya wanita, yang mau dan bersedia menjadi asisten rumah tangga ataupun pengasuh anak, walaupun dengan gaji yang seadanya. Bahkan kualitas mereka pada saat itu boleh dibilang bagus. Contohnya pada keluarga saya pribadi.
Dulu ketika masih TK, saya diberikan seorang pengasuh bernama mbak Ponirah. Mbak Ponirah sekaligus juga menjadi asisten yang membantu berbagai pekerjaan rumah ibu saya. Mbak Ponirah hingga sekarang, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, masih bekerja di rumah ibu saya meski telah mengontrak rumah sendiri. Sementara ketika dulu adik saya balita, ibu saya juga mendatangkan lagi PRT lain, yaitu mbak Yanti. Mbak Yanti ini bekerja hingga sekitar 8 tahun lamanya, sebelum akhirnya menikah dan pulang kampung. Hingga detik ini, keluarga kami selalu merindukan sosok PRT seperti mbak Ponirah dan mbak Yanti.

Mbak Ponirah dan mbak Yanti disukai oleh ibu saya dan bisa bertahan lama adalah dikarenakan mereka memiliki komitmen, telaten, jujur, dan pekerja keras. Tipikal PRT seperti inilah yang mulai jarang ditemui. Kualitas dalam hal pekerjaan mungkin meningkat. Namun dalam hal kepribadian, nampak adanya penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Kebanyakan remaja dan pemuda yang berasal dari daerah dewasa ini lebih cenderung berminat bekerja di sektor industri ketimbang bekerja di sektor rumah tangga.
Pada umumnya bekerja di perusahaan atau institusi memiliki jam kerja serta tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bekerja di rumah orang, namun memiliki nilai upah yang lebih tinggi. Tidak heran jika akhirnya lebih banyak yang memilih mengais rejeki di ranah tersebut. Kalaupun ada yang mau menjadi asisten rumah tangga, biasanya yang bersangkutan akan menetapkan standar upah minimal yang tinggi. Fenomena semakin tingginya jumlah pelamar menjadi TKI ke luar negeri mengindikasikan hal tersebut. Salah satu dampak negatifnya, banyak pihak tidak bertanggungjawab yang kemudian memanfaatkan intensi para pemuda desa ini, yang bisa dilihat dari banyaknya kasus penipuan seperti human trafficking, penyekapan, hingga penelantaran calon TKW oleh agen ilegal.


Saya pribadi belum menemukan solusi yang tepat terkait fenomena langkanya PRT ini, mengingat saya sendiri pun belum berhasil menemukan asisten untuk keluarga saya. Namun, apabila kita bercermin dari dunia barat yang maju itupun tidak mendapati kesulitan dalam mencari asisten rumah tangga ini. Sementara negara-negara Asia, baik Timur Tengah, Asia Timur, hingga para tetangga ASEAN, kini lebih banyak mengimpor dari negara kita. Apabila fenomena ini berlanjut, bukan tak mungkin ke depannya para pekerja rumah tangga kita semuanya berorientasi ke luar negeri, sementara rumah-rumah tangga di dalam negeri, keluarga kaya sekalipun, akan tidak memiliki asisten rumah tangga. Dan hal ini jelas akan sangat merepotkan. Mungkin ada yang tahu bagaimana negara-negara Eropa dan Amerika Latin bisa mempertahankan ketersediaan asisten rumah tangganya?

Rabu, 29 Agustus 2012

Memasuki Era PascaGalau



Saya pernah melihat sebuah blog pribadi milik seseorang yang menjelaskan bahwa masa hidup itu terdiri dari masa galau dan masa pra-galau. Hey, bukannya kalau ada ‘pra’ seharusnya juga ada ‘pasca’? Selalu begitulah siklus hidup manusia. Selalu demikian siklus yang mengaluri sebuah peradaban.

Alhamdulillah, masa galau yang sangat lama sebagaimana yang saya tulis dalam artikel saya terdahulu, ‘Kegalauan Seperempat Abad’, sebentar lagi akan berakhir. InsyaAllah dengan rahmat Allah SWT, saya akan memasuki masa Pasca-Galau. Sebagaimana saya tulis di artikel pada yang diunggah Oktober 2011 itu, saya sudah tidak memiliki kesanggupan lagi untuk menahan kegalauan yang telah berlangsung sangat lama itu, dan saya memiliki banyak harapan terkait kehadiran seorang pendaming hidup.

Namun satu hal, yang nyaris terlupakan oleh sebagian besar manusia adalah, bagaimana selanjutnya setelah memasuki masa Pasca-Galau tersebut? Ibarat sebuah negara yang baru merdeka, bagaimana selanjutnya setelah merdeka itu? Ibarat seorang mahasiswa yang diwisuda, bagaimana selanjutnya ke depannya? Manusia seringkali begitu mendambakan sesuatu selama bertahun lamanya, memperjuangkannya mati-matian. Namun begitu setelah mendapatkannya, yang bersangkutan bingung sendiri harus bagaimana selanjutnya. Tak salah jika dalam dunia kompetisi olahraga, dikenal istilah ‘mempertahankan lebih sulit daripada merebut’.

Sebenarnya, inti dari ‘what should I do after this?’ itu simpel saja, cukup diperlambangkan dengan satu kata : ‘Bersyukur’. Akan tetapi, apakah sesimpel itu? Gak juga. Cakupan kata ‘bersyukur’ itu terlalu luas. Bersyukur itu bukan hanya mengucap “Alhamdulillah”. Begitu banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bersyukur, dan tak akan cukup bila ditulis di sini. Bahkan mungkin tak cukup dituangkan dalam sebuah buku yang sangat tebal. Hanya Anda yang tahu, bagaimana cara mensyukuri nikmat yang telah anda miliki.

Yang jelas, begitu memasuki masa Pasca-Galau ini, maka segala pengalaman getir-pahit yang kita rasakan selama masa Galau dulu hendaknya tidak perlu kita ungkit-ungkit lagi, kecuali kita jadikan sebagai sebuah pelajaran yang berharga untuk ke depannya. Memasuki sebuah era yang baru, tentu akan muncul tantangan-tantangan baru yang tentunya membutuhkan perencanaan serta sikap yang baru pula.

Satu hal yang paling utama : Membuktikan diri bahwa saya pantas menerima nikmat ini. Ya, bersyukur dalam masa Pasca-Galau sebenarnya tak melulu mencakup pembuatan sistem baru. Terkadang, cukup dengan mewujudkan apa yang telah kita niatkan ketika masa galau dulu, apa yang telah kita rencanakan apabila kita telah memperoleh apa yang kita inginkan. Tentu juga menyesuaikan dengan kondisi dan perubahan yang ada.

Dengan demikian, sejatinya kita telah cukup siap untuk menghadapi sebuah era baru, masa Pasca-Galau. Tinggal bagaimana menjalankannya saja. Bismillahirrohmanirrohim...

Senin, 28 November 2011

Pria Uberseksual, karena Aku bukan Mereka


“Nama saya Johan Satria Putra. Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk melamar anak bapak. Saya alhamdulillah berasal dari keluarga baik-baik, orang tua saya juga bukan orang yang kekurangan. Saya sendiri saat ini telah bekerja di sebuah perusahaan swasta. InsyaAllah saya adalah tipe orang yang setia dan bisa menjaga serta melindungi anak bapak,”
Apakah itu cukup untuk melamar seorang gadis? Kalau ke calon mertua, mungkin iya. Tapi, bagaimana mau ke camer kalau si ceweknya sendiri aja udah gak mau?!
Kalimat di atas hanya fiktif belaka, karena saya sendiri belum pernah melamar siapapun. Namun, seperti yang saya bilang, karakter yang kita punya seperti yang disebutkan dalam kalimat tersebut, pada era ini sudah tidak begitu menarik lagi. Anda tidak berada di tahun 1990-an. Anda berada di era baru, eranya pria uberseksual. Dan anda harus menjadi mereka bila ingin ‘laku’. 
Bukan, ini bukan bualan. Lantas, apa itu uberseksual?

Istilah ‘uber’ berasal dari bahasa Jerman yang berarti ‘unggul’ atau ‘superior’. Macmillan English Dictionary mendefinisikan ‘uberseksual’ sebagai “a heterosexual man who is both confodent and compassionate and has a strong interest in good causes and principles.” Sementara Marian Salzman membatasi pria uberseksual pada mereka yang menggunakan aspek positif maskulinitas seperti kepedulian, kepemimpinan, serta terutama kepercayaan diri. Dengan kata lain, mereka peduli pada lingkungan, banyak memperkaya ilmu dan wawasan, memiliki prinsip, serta banyak mengikuti perkembangan sosial. 
Beberapa sumber menyebutkan ciri-ciri menonjol dari pria ini adalah memiliki rasa percaya diri yang kuat, cerdas, tanpa kompromi, dinamis, maskulin, atraktif, stylish, serta berkomitmen kuat untuk memiliki hal yang berkualitas dalam segala bidang kehidupan. Sementara sumber lain menyebutkan ciri-ciri uberseksual adalah sebagai berikut :
1. Mengikuti perkembangan dunia sosial politik terbaru.
2. Merawat wajah seperlunya, yang penting terlihat bersih.
3. Respek terhadap wanita, namun tetap memilih lelaki sebagai sahabat mereka.
4. Berolah raga untuk menjaga kesehatan. tubuh yang bagus dianggap sebagai bonus dari usahanya ini.
5. Peduli pada mereka yang membutuhkan.
6. Terlihat lebih sensual ketimbang seksi, tanpa perlu berusaha terlalu keras.
7. Mendapat pengetahuan seputar desain dan seni dari pengalaman traveling.
8. Memilih acara charity sebagai social event yang suka dihadirinya.
Sempurna? Tidak harus juga. Intinya, yang penting dia menarik dan berkualitas.
(Sumber : www.anakui.com, www.mediaindonesia.com, kampungtki.com)

Saya memiliki banyak teman, bahkan teman dekat yang seperti itu. Dari berbagai bidang pula. Ada yang dia adalah seorang peneliti yang walau agak kaku tapi jenius. Ada beberapa yang entrepreneur muda, yang smart dan inovatif. Ada juga beberapa yang sebenarnya biasa saja, tapi mereka adalah lelaki yang struggle, berjuang untuk keluarganya, dan tentu saja mandiri. Kemudian ada juga yang bermodalkan cara berkomunikasi yang sangat lihai dan memikat. Sementara yang lain adalah para ‘bad boy’, namun perhatian, jantan, dan berjiwa sosial tinggi. 
Seperit kata Raju dan Farhat dalam film ‘3 idiots’ tentang teman mereka, si jenius Rancho, bahwa memiliki sahabat yang jauh lebih hebat dari kita akan memberikan kita rasa bahagia dan sedih sekaligus. Bahagia, karena teman kita berhasil dalam apa yang diusahakannya. Sedih, karena kita jadi nampak sangat bodoh. Mungkin itulah yang saya rasakan selama ini. Dalam teori perbandingan sosial, apabila kita membandingkan diri kita dengan orang yang lebih superior, maka dapat menurunkan self esteem kita. Dengan kata lain, kita jadi memandang rendah diri kita sendiri, alias minder.

komunitas TDA (tangan di atas), calon-calon entrepreneur muda yg sukses
Apalagi, bila kasus ini kemudian dikaitkan juga dengan bagaimana menarik lawan jenis. Teman-teman yang saya sebutkan tadi, hampir semua di antara mereka telah memiliki pasangan, entah pacar ataupun istri. Banyak juga yang ‘nge-fans’ terhadap mereka. Sedangkan saya? Sebagaimana pernah saya curhat dalam artikel terdahulu, ‘Kegalauan Seperempat Abad’, saya belum pernah merasakan yang namanya disukai oleh seorang wanita. Inilah yang membuat saya galau sebagai seseorang yang bukan uberseksual.
Kepribadian saya sama sekali tidak semenarik mereka. Sangat jauh. Saya tidak memiliki bakat wirausaha. Bukan seorang akademisi yang jenius. Paling fatal, bukan pemuda yang mandiri. So, apa yang membuat saya bisa disebut sebagai uberseksual? Dan kalau sudah begitu, apa yang bisa membuat saya dapat menarik lawan jenis? Bukannya saya pesimis ataupun tidak bersyukur. Saya tahu, banyak pria yang juga bukan uberseksual, tapi nyatanya dapat menikah. Hingga sampailah saya kini pada satu pertanyaan : Apakah saya ingin menjadi uberseksual agar dapat menarik lawan jenis? Memang itukah fungsi dan tujuan bagi teman-teman saya tadi untuk menjadi uberseksual? Sepertinya, saya telah menyimpangkan makna dari uberseksual ini sendiri, hanya gara-gara rasa minder terhadap wanita. Lagi-lagi, saya telah salah kaprah. Menjadi apapun itu, mengerjakan apapun itu, jalani saja dan niatkan semata untuk Yang di atas. Setiap manusia telah ada jodohnya masing-masing, dan Tuhan tidak Mengkotak-kotakkan berdasar uberseksual atau tidak, dalam menentukannya. 

Minggu, 23 Oktober 2011

Tweet About Love Story and Love Plan


Kicauan tentang Kisah Cinta dan Rencana Cinta
(by : @iyak_joe)

Cinta dan citaku tak pernah bisa berjalan beriringan
Maka aku harus mengorbankan salah satunya

Ketika aku tidak jatuh cinta, aku dapat memperoleh segalanya
Ketika aku sedang jatuh cinta, aku bisa kehilangan segalanya

Aku ingin bahagia di dunia, maka kulepaskan cinta
Aku ingin selamat di akhirat, maka kuenyahkan cinta

Jatuh cinta tidak serupa dengan bertemu jodoh
Bila tiba waktunya, dia akan datang dengan sendirinya

Aku tidak membenci cinta
Aku tidak melenyapkan cinta

Hanya Cinta-Nya dan cinta ibuku
Penuntun kepada kemurnian komitmen dua insan yang menyatu

Dan jatuh cinta,
Akan tumbuh dalam persemaian sebuah komitmen

#lovestory&plan

Senin, 10 Oktober 2011

Kegalauan Seperempat Abad



Hari ini, usiaku genap seperempat abad. Ulang tahun perak. Di usia setua ini, aku sungguh hanya merindukan satu hal dan hanya meminta satu hal pada Allah SWT : jodoh. 

Terserah bagi anda, siapapun yang membacanya. Mungkin terlihat norak, pesimis, cengeng, atau apapun itu. Tapi sungguh, masalah ini sudah 25 tahun lamanya hidupku selalu menghantuiku. Aku belum pernah merasakan cinta, belum pernah merasakan dicintai, bahkan sekedar disukai (terakhir, aku baru menyadari kalau ternyata tulisanku yang berjudul Rab Ne Bana Di Jodi itu hanya kesalahan persepsi belaka). Akumulasi pengalaman selama ¼ abad ini membuatku menjadi ketakutan dan khawatir kalau aku memang tidak akan pernah mendapatkan jodoh seumur hidupku. Tidak akan mendapatkan pendamping hidup hingga aku menghembuskan nafas terakhir kelak. Aku mengatakan ini dengan sejujurnya.

Barangkali ini bukanlah masalah bagi sebagian besar manusia, tapi tidak bagiku. Seorang pasangan hidup dapat memberikan power bagiku, yang selama ini seperti orang yang kurang semangat dan sering minder. Lebih dari itu, seorang istri dapat menjadikanku merasa jauh lebih berarti dan yang jelas tidak akan kesepian. 

Oleh karena itu, di usia ¼ abad ini, aku hanya memohon padaMu Ya Rabb, satu saja : mudahkanlah dan segerakanlah jodoh bagiku. Aku sudah lelah. Aku sudah capek. Aku hanyalah hambaMu yang lemah dan dzolim. Kini semua aku serahkan padaMu. Kau lah yang Maha Mengetahui setiap kegelisahan hati hambaMu dan hanya Kau Yang paling tahu cara Mengatasinya...

Jakarta, 10 Oktober 2011

Sabtu, 24 September 2011

Ambisi sang Briptu, Ambisiku Juga


Dunia entertainment dengan segala kemegahan dan kesenangan dunia yang ditawarkannya memang selalu menggiurkan bagi siapapun, tak terkecuali bagi seorang polisi bernama Norman Kamaru. Polisi muda berpangkat briptu ini namanya mendadak begitu terkenal setelah menyanyikan lagu India yang populer di era 1990-an, ‘Chaiyya Chaiyya’ secara lypsinc di situs Youtube. Lagu tersebut berikut sang Briptu pun mendadak menjadi sangat terkenal dan populer (padahal gw dah suka tuh lagu dari jaman lama bgt, orang Indonesia emang suka latah). Padahal, awalnya Norman hanya bermaksud menghibur temannya yang sedang sedih melalui video itu.

Seiring kepopulerannya, Briptu Norman mulai mendapat tawaran manggung di mana-mana. Dirinya melesat bak meteor, diundang ke Jakarta oleh Mabes Polri dan seorang menteri, tampil di hampir semua stasiun tv, diekspos hampir tiap hari oleh berbagai acara infotainment, diajak rekaman, dan sebagainya dan sebagainya. Konon, per album-nya Briptu Norman ini bakal dibayar sampai 5 M!  Di berbagai daerah, tiap kali dirinya muncul, orang berbondong-bondong menonton, bahkan mengejar-ngejar sekedar untuk minta foto bareng. Penontonnya membludak dan mengelu-elukannya. Tidak berlebihan kalau saya menyebut Norman tak ubahnya the Beatles pada masa jayanya, bahkan sambutan terhadapnya lebih gila!


Segala popularitas dan gelimang uang itu ternyata pelan-pelan mulai melenakan sang Briptu dari tugas utamanya, sebagai seorang polisi. Briptu Norman kerap mangkir, melakukan kegiatan keartisannya tanpa meminta izin pada atasan. Sudah beberapa kali Briptu Norman menerima surat terguran, dan berdasar kabar terakhir dia pun bakal disidang disiplin serta dikenai sanksi. Tapi Briptu Norman seperti cuek-cuek saja. Bahkan dia  sempat tidak menghadiri sebuah sidang sebelumnya hanya karena alasan ketiduran. 
Akhirnya, Norman memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepolisian, dengan alasan pangkat yang tidak kunjung naik dan ingin lebih fokus ke dunia artis tanpa harus sering-sering izin. 
Ya, akhirnya. Akhirnya Norman terjebak dalam keputusan fatal yang bagi siapapun itu tentunya adalah salah kaprah. Mengapa salah kaprah?

Ingat, bagaimana awalnya dia bisa populer seperti itu. Tak lain adalah karena orang-orang melihat lucu, “bagaimana seorang polisi berseragam yang selama ini identik dengan kesan sangar, bisa menari-nari lihai seperti itu?” Keunikan inilah sumber pendongkrak popularitasnya, dan itu adalah karena seragam polisi yang dia kenakan di video itu. Kalau waktu itu dia ‘syuting’ hanya pakai pakaian biasa, kaos misalnya dan di kamar tidurnya, belum tentu bisa sepopuler sekarang. Banyak yang upload ke youtube dengan penampilan biasa dan kebanyakan ya tidak populer – tidak, selama yang bersangkutan tidak memiliki suara bagus semisal Boyce Avenue, Alyssa Bernal, atau Megan Nicole. 
Di sini lah letak salah kaprahnya Norman. Saya ragu, apakah dia sempat merenung : “Bagaimana awalnya saya bisa seterkenal ini?”, “Bagaimana mereka bisa menyukai saya?”, “Apakah musik memang bakat saya?”, “Bagaimana dengan jangka panjangnya?” Norman mungkin juga tidak tahu – atau sengaja tidak ingin tahu – bagaimana sulitnya artis-artis yang telah lama di dunia itu dalam berjuang mempertahankan eksistensinya. Norman mungkin juga lupa – atau sengaja lupa – betapa banyaknya artis-artis yang dulu begitu terkenal dan kaya, kini di masa tuanya......... Ah, mana sempat hati dan pikiran ini bertafakur, apabila kita sudah tenggelam dalam kenikmatan, dalam zona nyaman yang luar biasa yang telah diberikan oleh dunia. 

Huh..Melihat kisah sang Briptu ini menjadi refleksi tersendiri bagi diri saya. Saat ini saya sedang sangat galau. Saya tengah menghadapi tesis guna menyelesaikan studi S2 saya. Akan tetapi, patut diketahui, bagaimana saya meneruskan kuliah ini sejatinya bukanlah keinginan diri saya pribadi, melainkan atas desakan orang tua yang begitu menginginkan saya meraih pendidikan setinggi-tingginya. Jadilah yang ada saya setengah hati menjalaninya. 
Cita-cita saya yang sebenarnya hampir mirip dengan Norman, yaitu di dunia entertainment. Hanya saja, saya lebih ingin menjadi orang di belakang layar, tepatnya penulis atau sutradara. Kasus yang menimpa Briptu Norman ini kemudian mendorong saya untuk merenung, “Benarkah ‘tempat’ saya adalah di dunia entertainment itu? Ataukah sama seperti Norman, hanya tergiur oleh keglamorannya?” 
Kalau menyangkut perhitungan, sesungguhnya saya sudah lebih menghitung daripada Norman. Menulis memang telah menjadi salah satu hobi dan kelebihan saya. Sejak saya masih kecil dan autis, saya sudah suka mengarang-ngarang cerita. Saya juga punya kemampuan menulis dan mencipta lagu, walaupun tidak pandai memainkan alat musik. Akan tetapi, saya tidak akan memilih menjadi pemain film atau penyanyi, karena itu sama sekali bukan bakat saya.

Hanya saja, saya masih khawatir : apakah saya ini seperti Norman, yang hanya tertarik akan kepopuleran yang ada, ataukah memang tempat saya yang ‘seharusnya’ adalah di dunia itu? 
Dengan kata lain, ada satu pertanyaan yang masih menghantui : “Apakah saya ini seorang entertaint yang memaksakan diri menjadi akademisi, atau saya ini adalah seorang akademisi yang bermimpi menjadi entertaint?” 

Senin, 16 Mei 2011

Cinta tak Mengenal Kompetensi

Aku mengakuinya, kalau aku mungkin memiliki penyakit minder yang kronis (viewer : “maaf mas, ini sama kayak artikel satunya”). Oh, sorry, oke aku ganti... Aku sering banget ngerasa punya penyakit minder yang laten. Tiap kali suka sama cewek, aku selalu mundur. Aku gak berani mendekati. Karena, aku takut dia nggak mau. Ya iyalah. Mana mau cewek sama cowok yang gak punya sesuatu yang bisa dibanggakan, macam aku ini. Udah lemah, gak dewasa, masa depan gak prospek, perfect deh pokoknya. Apalagi kalau tuh cewek dah punya cowok yang jauh lebih baik dari aku dalam banyak hal. Atau, cewek itu sendiri yang lebih hebat dari aku. Dan pada akhirnya, jadilah aku kehilangan seorang wanita yang paling aku cintai (yang bagiku dan banyak orang, dia seorang wanita yang hebat). 

Tapi, terus aku jadi berpikir. Emang bener ya kalau aku berpikiran seperti itu? Bukannya itu nampak bodoh banget. Masa’ sih, gak bakal ada yang mau sama aku. Sekarang gini : gimana kalau ada yang mau sama aku, tapi orangnya gak sesuai kriteriaku? Yang jelas, aku nggak menerimanya.. Lho? Kalau emang aku ini ngerasa minder, kenapa aku nolak cewek itu? Kan aneh. Berarti, aku gak minder dong? Apa sih sebenarnya yang ada di pikiranku? 

Ada sebuah perumpamaan. Kalau ada cewek yang aku sukai, tapi aku ngerasa minder, aku akan bilang, “Bukanku menolakmu untuk mencintaiku, tetapi lihat dulu siapakah diriku. Kau orang hebat, aku orang yang payah..(alah, malah nyanyi),” Kalau ada cewek yang suka sama aku, tapi bukan tipeku, akan bilang, “Sorry, sorry, sorry, sorry, naega, naega, meonjeo, sorry, sorry, naega, michyeo, baby..(eh, salah lagu),” pokoknya intinya aku akan bilang kalau aku bukan yang terbaik baginya.. Lho? Koq pernyataannya berbeda? Nah! Di sinilah letak kesalahan cara berfikirku. 

Jadi, harusnya aku menjawab dengan jawaban yang sama : “Karena aku bukan yang terbaik bagimu dan kamu bukan yang terbaik bagiku,” Ya. Gak seharusnya kompetensi diri aku jadiin sebagai patokan buat nyari jodoh. Karena apa? Karena cinta sesungguhnya tidak mengenal kompetensi. Dah banyak buanget fakta orang biasa-biasa saja nikah dengan seorang bintang. Banyak orang, maaf, yang fisiknya gak sempurna, nikah dengan orang yang fisiknya begitu cantik atau ganteng. Banyak orang yang pendidikannya tinggi nikah dengan yang di bawahnya. Kalau cinta mengenal kompetensi, mengapa semua itu bisa terjadi. 

Cinta emang gak kenal sama yang namanya kecerdasan, kekayaan, IQ, ketangguhan, kedewasaan, atau apapun itu yang suka sekali dibanding-bandingkan sama manusia antar sesamanya. Cinta cuma kenal sama yang namanya ketulusan hati, kesetiaan, dan apa yang telah digariskan sama Yang Di Atas. So, ngapain aku masih ngerasa minder? Sebaliknya, ngapain juga aku harus ngerasa sombong? Cari aja yang sebaik mungkin bagimu, usaha sampai poll, minta sama Tuhan, dan selanjutnya serahkan aja sama Dia. Bakal dikasih yang terbaik koq. Dan baik atau enggak, gak tergantung sama kompetensi ;) 

Sabtu, 30 April 2011

Orang Baik dan Orang Hebat


“Basuki itu orang baik, bukan orang hebat. Saya nggak mau dia jadi orang hebat. Dia orang baik,” sampai detik ini, saya masih terngiang betul komentar Nunung Srimulat, ketika dia melawat rekannya sesama pelawak, Basuki, beberapa tahun lalu itu. Nunung mengucapkannya sambil menangis. Ketika seseorang wafat, hal yang paling diingat dari dirinya adalah kebaikannya atau bagaimana dia berhubungan dengan orang lain, seperti contohnya dalam kasus Basuki ini. Di sisi lain, banyak juga tokoh-tokoh lain yang ketika wafat, yang dikenang dari dirinya adalah prestasi-prestasinya atau apa yang telah berhasil dia raih ketika masih hidup. 

Seringkali terbesit dalam pikiran, bagaimana orang lain mengenang kita ketika kita telah tiada kelak ? Yang mana ? Orang baik kah atau orang hebat kah ? Saya sering berpikir, jadi orang baik itu tidak begitu dikenang ataupun dianggap oleh orang, dibandingkan kalau kita jadi orang hebat. Orang baik seringkali kalah populer dibandingkan orang hebat. Orang hebat, apa yang dia lakukan, akan banyak dibicarakan orang. Kalau dia orang biasa, orang akan terkagum-kagum, kemudian banyak yang ingin mengorbitkannya. Kalau dia sudah seorang yang terkenal, orang akan memuja-mujanya. Sementara orang baik, who’s care ? Kalau dia seorang rakyat biasa, kebaikannya akan berlalu begitu saja tanpa ada yang membicarakan. Ya..mungkin ada yang membicarakan, tapi sebentar saja. Kalau dia seorang terkenal, orang akan berpikir, apakah dia sungguh-sungguh berbuat baik atau cuma ingin menaikkan popularitas saja ? 

Dari dulu sampai sekarang memang susah jadi orang baik. Tapi benarkah sesulit itu ? Mungkin, itu kalau kita melihatnya dari sisi bagaimana orang lain melihat kita. Kalau tidak, maka pertanyaan ‘who’s care’ tadi, kitalah yang akan mengatakannya. Ya, kita tidak akan peduli ataupun berpikir dulu sebelum melakukan kebaikan, “apakah orang lain melihat ini ?” Begitu juga kalau kita hendak berusaha meraih suatu prestasi atau apa yang kita targetkan, kita tidak akan berpikir, “apakah yang saya capai ini akan disebarluaskan hingga saya jadi terkenal ?” 

Memang, kita (termasuk saya) sendirilah yang sering membeda-bedakan antara orang baik dan orang hebat. Kita yang menganggap kebaikan itu tidak lebih penting dari pencapaian keberhasilan, ataupun sebaliknya. Semua karena orientasinya kepada penilaian manusia. Esensinya, sebenarnya orang baik itu ya orang yang hebat dan orang yang hebat itu ya (seharusnya) orang yang baik. Walaupun seringkali orang baik itu tidaklah hebat dan orang hebat itu bukan orang yang baik, semuanya bergantung pada niat dan orientasi diri sendiri. Jadi, anda orang baik atau orang hebat ?