“Nama saya Johan Satria Putra. Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk melamar anak bapak. Saya alhamdulillah berasal dari keluarga baik-baik, orang tua saya juga bukan orang yang kekurangan. Saya sendiri saat ini telah bekerja di sebuah perusahaan swasta. InsyaAllah saya adalah tipe orang yang setia dan bisa menjaga serta melindungi anak bapak,”
Apakah itu cukup untuk melamar seorang gadis? Kalau ke calon mertua, mungkin iya. Tapi, bagaimana mau ke camer kalau si ceweknya sendiri aja udah gak mau?!
Kalimat di atas hanya fiktif belaka, karena saya sendiri belum pernah melamar siapapun. Namun, seperti yang saya bilang, karakter yang kita punya seperti yang disebutkan dalam kalimat tersebut, pada era ini sudah tidak begitu menarik lagi. Anda tidak berada di tahun 1990-an. Anda berada di era baru, eranya pria uberseksual. Dan anda harus menjadi mereka bila ingin ‘laku’.
Bukan, ini bukan bualan. Lantas, apa itu uberseksual?
Istilah ‘uber’ berasal dari bahasa Jerman yang berarti ‘unggul’ atau ‘superior’. Macmillan English Dictionary mendefinisikan ‘uberseksual’ sebagai “a heterosexual man who is both confodent and compassionate and has a strong interest in good causes and principles.” Sementara Marian Salzman membatasi pria uberseksual pada mereka yang menggunakan aspek positif maskulinitas seperti kepedulian, kepemimpinan, serta terutama kepercayaan diri. Dengan kata lain, mereka peduli pada lingkungan, banyak memperkaya ilmu dan wawasan, memiliki prinsip, serta banyak mengikuti perkembangan sosial.
Beberapa sumber menyebutkan ciri-ciri menonjol dari pria ini adalah memiliki rasa percaya diri yang kuat, cerdas, tanpa kompromi, dinamis, maskulin, atraktif, stylish, serta berkomitmen kuat untuk memiliki hal yang berkualitas dalam segala bidang kehidupan. Sementara sumber lain menyebutkan ciri-ciri uberseksual adalah sebagai berikut :
1. Mengikuti perkembangan dunia sosial politik terbaru.2. Merawat wajah seperlunya, yang penting terlihat bersih.
3. Respek terhadap wanita, namun tetap memilih lelaki sebagai sahabat mereka.
4. Berolah raga untuk menjaga kesehatan. tubuh yang bagus dianggap sebagai bonus dari usahanya ini.
5. Peduli pada mereka yang membutuhkan.
6. Terlihat lebih sensual ketimbang seksi, tanpa perlu berusaha terlalu keras.
7. Mendapat pengetahuan seputar desain dan seni dari pengalaman traveling.
8. Memilih acara charity sebagai social event yang suka dihadirinya.
Sempurna? Tidak harus juga. Intinya, yang penting dia menarik dan berkualitas.
(Sumber : www.anakui.com, www.mediaindonesia.com, kampungtki.com)
Saya memiliki banyak teman, bahkan teman dekat yang seperti itu. Dari berbagai bidang pula. Ada yang dia adalah seorang peneliti yang walau agak kaku tapi jenius. Ada beberapa yang entrepreneur muda, yang smart dan inovatif. Ada juga beberapa yang sebenarnya biasa saja, tapi mereka adalah lelaki yang struggle, berjuang untuk keluarganya, dan tentu saja mandiri. Kemudian ada juga yang bermodalkan cara berkomunikasi yang sangat lihai dan memikat. Sementara yang lain adalah para ‘bad boy’, namun perhatian, jantan, dan berjiwa sosial tinggi.
Seperit kata Raju dan Farhat dalam film ‘3 idiots’ tentang teman mereka, si jenius Rancho, bahwa memiliki sahabat yang jauh lebih hebat dari kita akan memberikan kita rasa bahagia dan sedih sekaligus. Bahagia, karena teman kita berhasil dalam apa yang diusahakannya. Sedih, karena kita jadi nampak sangat bodoh. Mungkin itulah yang saya rasakan selama ini. Dalam teori perbandingan sosial, apabila kita membandingkan diri kita dengan orang yang lebih superior, maka dapat menurunkan self esteem kita. Dengan kata lain, kita jadi memandang rendah diri kita sendiri, alias minder.
komunitas TDA (tangan di atas), calon-calon entrepreneur muda yg sukses |
Apalagi, bila kasus ini kemudian dikaitkan juga dengan bagaimana menarik lawan jenis. Teman-teman yang saya sebutkan tadi, hampir semua di antara mereka telah memiliki pasangan, entah pacar ataupun istri. Banyak juga yang ‘nge-fans’ terhadap mereka. Sedangkan saya? Sebagaimana pernah saya curhat dalam artikel terdahulu, ‘Kegalauan Seperempat Abad’, saya belum pernah merasakan yang namanya disukai oleh seorang wanita. Inilah yang membuat saya galau sebagai seseorang yang bukan uberseksual.
Kepribadian saya sama sekali tidak semenarik mereka. Sangat jauh. Saya tidak memiliki bakat wirausaha. Bukan seorang akademisi yang jenius. Paling fatal, bukan pemuda yang mandiri. So, apa yang membuat saya bisa disebut sebagai uberseksual? Dan kalau sudah begitu, apa yang bisa membuat saya dapat menarik lawan jenis? Bukannya saya pesimis ataupun tidak bersyukur. Saya tahu, banyak pria yang juga bukan uberseksual, tapi nyatanya dapat menikah. Hingga sampailah saya kini pada satu pertanyaan : Apakah saya ingin menjadi uberseksual agar dapat menarik lawan jenis? Memang itukah fungsi dan tujuan bagi teman-teman saya tadi untuk menjadi uberseksual? Sepertinya, saya telah menyimpangkan makna dari uberseksual ini sendiri, hanya gara-gara rasa minder terhadap wanita. Lagi-lagi, saya telah salah kaprah. Menjadi apapun itu, mengerjakan apapun itu, jalani saja dan niatkan semata untuk Yang di atas. Setiap manusia telah ada jodohnya masing-masing, dan Tuhan tidak Mengkotak-kotakkan berdasar uberseksual atau tidak, dalam menentukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar