Halaman

Selasa, 29 Mei 2012

Pelajaran dari Korea


Akhir April lalu, saya mendapat kesempatan untuk berpergian ke luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidup saya, tepatnya ke Korea Selatan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ar Razaq yang telah memberi saya keberuntungan tersebut. Terima kasih juga kepada pihak Zimmer Institute yang telah mengundang dan membiayai segala akomodasi saya untuk ke dan selama di sana. Uniknya, Korea Selatan sebenarnya tidak termasuk dalam daftar 10 Negara yang ingin saya kunjungi , yang pernah saya tulis di blog ini pada sekitar bulan April tahun 2011 lalu, tepat setahun lah. Tapi, itulah misteri Ilahi.
Dahulunya, terutama pada masa-masa awal pasca Perang Korea dengan Korea Utara di sekitar era 1950 hingga 1970-an, Korsel bukanlah sebuah negara yang maju, bahkan tergolong miskin. Di saat di negara kita Bung Karno mampu menantang negara-negara Barat dan membuat keder bangsa-bangsa Asia lainnya, Korsel masih bergulat untuk bangkit dari kepayahan ekonomi. Bahkan di saat terjadi krisis moneter Internasional tahun 1998, mereka jauh lebih terpuruk daripada Indonesia. Tapi, kenapa dalam waktu yang relatif singkat mereka mampu berubah wujud menjadi negara maju, bahkan mulai dapat melebihi negara-negara tetangganya seperti Jepang dan China?
Berikut ini beberapa hal yang saya cermati dan rasakan selama di sana, dan ternyata banyak sekali yang berbeda dibandingkan dengan yang saya jumpai di Indonesia, terutama dari segi perilaku manusianya :

1.      Bersih
kalau di taman monas, kira-kira mau gak ya bule-bule itu tiduran kayak begini?

Jujur, saya shock ketika berjalan-jalan di ‘alun-alun’ kota Seoul di hari terakhir saya di Korea. Alun-alun tersebut berada di pusat sebuah kota megapolitan. Anda tentu akan membayangkan lalu-lintas padat, dan membuat taman kota itu menjadi bising, kotor, dan kurang nyaman. Anda salah besar! Ya, lalu lintas di sekitarnya memang sangat padat dan kadang macet. Tapi alun-alun itu sendiri sangat amat bersih. Bahkan, udara di sekitar rumah saya di sebuah dusun (catet : dusun) di Sleman Utara tidak pernah sebersih itu! Ini sungguh sesuatu yang ironis bagi saya.

Tempat sampah di kota Seoul sangat jarang, barangkali tiap 50-100 meter barulah kita ketemu dengan tong sampah. Tapi, jalanannya bersih luar biasa, nyaris tidak ada sampah plastik atau kertas yang berserakan. Saya tidak berlebihan. Saya ke sana bersama dengan dua orang dokter yang sebelumnya sudah pernah ke Jerman dan Amerika, dan mereka sepakat mengatakan bahwa kedua negara tersebut tidak sebersih Seoul.

Sekarang, coba bandingkan itu semua dengan Jakarta. Ah, rasanya gak usah dibandingkan deh, sangat kentara sekali perbedaannya. Kebersihan adalah salah satu perlambang kerapian dan ketertiban berpikir seorang individu. Jika itu mewujud dalam sebuah sistem tatanan sosial yang lebih besar seperti kota, maka itulah lambang ketertiban warga setempat. Lingkungan yang bersih juga mampu membuat kita merasa nyaman dan sehat dalam beraktivitas, yang dampaknya akan mampu meningkatkan kinerja. Jadi, sebelum bicara masalah apapun terkait poleksosbud, lebih baik diawali dulu dengan membuat Indonesia bersih. Kalau Indonesia bersih, itu adalah langkah pertama membuat kinerja bangsa menjadi lebih baik.

2. Menghargai dan mencintai milik bangsa sendiri

foto pertama begitu menjejakkan kaki di Korea,
langsung nampak bagaimana mereka begitu membanggakan 'milik sendiri'

Saat ini demam K-Pop dan Hallyu (budaya Korea) sedang gencar-gencarnya menginvasi dan menguasai pasar Indonesia. Sebelum berangkat ke Korea, saya sempat bertanya-tanya, seperti apa kalau di negara asalnya sendiri? Ternyata, memang lebih ‘parah’. Di manapun toko, pasar, restoran, kantor, supermarket, bahkan di jalanan, semuanya senantiasa memutar lagu-lagu K-Pop. Di baliho-baliho, banner-banner, semua tempat pemasangan iklan, yang ditonjolkan adalah artis-artis Drama Korea. Saya nyaris tidak menemukan adanya lagu-lagu barat yang diputar di area umum, begitu pula dengan artis-artis Hollywood yang  sangat jarang ada di berbagai baliho.

Rupanya begitulah cara bangsa Korea begitu menghargai dan mencintai kepunyaannya sendiri. Penghargaan seperti itulah yang membuat mereka bangga dan termotivasi untuk mempromosikan budayanya ke negara-negara lain, hingga bisa mewabah seperti sekarang ini. Sementara di tempat kita? Lagu dangdut dan campursari dianggap kampungan, norak, gak pantas diputar di tempat-tempat elite, dan berbagai bentuk ‘under-estimating’ lain. Hei, bagaimana budaya kita mau terkenal dan diakui dunia, kalau bangsanya sendiri aja menganggap remeh seperti itu! Kita malah asyik dan bangga dengan punya orang lain.

Nggak cuma soal seni. Hampir semua mobil di sana menggunakan Hyundai dan KIA, produk domestik mereka sendiri. Hampir semua barang elektronik menggunakan Samsung dan LG. Okelah, mungkin kualitas produk teknologi kita nggak secanggih mereka. Tapi, kita harus ingat bahwa kita sebenarnya masih punya banyak ilmuwan dan ahli I.T yang cerdas-cerdas..eh...jenius. Namun sayang, seringkali penemuan mereka nggak dipedulikan (apalagi oleh pemerintah), hingga akhirnya mereka memilih berkarir di luar negeri saja. Jadilah kita nggak kebagian pinternya mereka.
Padahal kalau kita mau berdikari dan tidak banyak mengimpor seperti sekarang, saya haqqul yakin kita bisa lebih maju dari bangsa Asia manapun. Bukannya kita semua tahu kalau negara kita kaya SDA dan budaya? Tapi, lari ke man...ah, basa-basi seperti ini sudah sering saya dengar dan baca, tapi tetap nggak perah ada tindak lanjut yang nyata. Kalau emang pemerintahnya nggak bisa diharapin, ya udah deh, mulai aja dari lingkup kecil dulu.

3. Kerja keras lebih dari yang lain


Jam berapa para karyawan di Jogjakarta pulang kantor? Jam berapa para pengusaha di Jakarta pulang kerja? Saya mungkin ada 2-3 hari di Seoul di mana saya masih berada di jalanan hingga pukul 23.30 malam waktu setempat. Jam segitu, jalanan di Seoul masih sangat padat dan ramai dengan kendaraan. Di Indonesia, saya termasuk orang yang berjalan lebih cepat daripada orang lain. Tapi begitu di sana, ternyata semua orang berjalan lebih cepat daripada saya!

Saya bukan termasuk tipe orang yang bekerja dan berpikir secara cepat, mungkin karena terlalu hati-hati. Kecepatan berjalan saya sama sekali tidak berbanding lurus dengan kecekatan kerja saya. Tapi nampaknya tidak demikian dengan orang Korea. Kecepatan berjalan mereka ternyata memang sesuai dengan bagaimana mereka bekerja. Saya sangat jarang melihat ada orang yang berleha-leha, nongkrong di jalan sambil bersendau gurau, kecuali mungkin di rumah makan atau kafe yang memang tempatnya istirahat. Konon, orang Korea punya pepatah seperti ini : “Saat orang lain tidur, kita harus bangun. Saat orang lain bangun, kita harus berdiri. Saat orang lain berdiri, kita harus berjalan. Saat orang lain berjalan, kita harus berlari. Saat orang berlari, kita harus terbang.”

Pada medio 1990-an hingga awal 2000-an, Korea Selatan menyadari bahwa mereka telah tertinggal jauh dari para negara tetangganya seperti Jepang dan China. Maka, tak ada cara lain kecuali mereka harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras dan lebih produktif daripada kedua negara itu. Inilah cikal bakal akhirnya Korsel kini bisa mewujudkan impiannya.

Kita? Bisanya cuma marah-marah melihat tingkah Malaysia. Atau hanya bengong saja melihat kemajuan Singapura. Tidak ada, sama sekali tidak ada hal positif yang kita lakukan. Para pekerja - khususnya kerah putih – di negara kita tetap saja lebih malas dari negara lain. Lihat saja yang terjadi di kantor-kantor pemda atau dinas pemerintah sepanjang hari. Lebih banyak mana baca koran dan main catur daripada kerjanya? Karyawan swasta juga begitu-gitu saja kerjanya : yang penting sesuai prosedur dan perintah bos, itu sudah cukup. Akhirnya yang kaya ya bos-bosnya saja. Sementara, mereka yang betul-betul bekerja keras seperti tukang becak, pemulung, pedagang keliling, ya hanya gitu-gitu saja hidupnya. Untuk yang satu ini, salah siapa? Ah, saya gak mau nyari-nyari kesalahan. Mungkin salah saya juga, tidak bertindak dan beraksi. Saya saja, atau ada yang lain nih?

4.  Disiplin
kapan ya ngantri busway bisa kayak gini? -gak pake umpek-umpekan dan rapi

Saya termasuk orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Saya juga terbiasa dengan budaya molor di berbagai organisasi yang saya ikuti selama ini. Begitu saya mengikuti workshop di luar negeri untuk pertama kalinya (catet : betul-betul pertama kali), langsung saja saya mendapat tamparan keras. Gara-gara, maaf, pub dan mandi teralu lama, saya terlambat naik ke bus yang akan membawa kami dari penginapan menuju Yonsei University. Kontan rekan saya memarahi saya habis-habisan karena teman-teman dari negara lain dan profesor yang akan mengisi seminar sudah menunggu. Jadwal berangkat pukul 08.00, pukul 07.50 para panitia sudah betul-betul siap. Hal ini sama sekali tidak pernah saya temui seumur hidup saya beraktivitas sosial di Indonesia. Yang ada, jadwal acara misalnya harusnya mulai jam 8, jam 10 baru mulai deh tuh. Jadilah saya terkaget-kaget begitu menghadapi kenyataan yang sangat berbeda, di belahan dunia yang lain.

Berdasar pengalaman itu, barulah saya paham kenapa seorang teman saya di Senyum Community yang dulu pernah sekolah di Korea, dia selalu datang tepat waktu tiap kali rapat. Hmm...rasanya untuk yang satu ini saya tidak perlu banyak basa-basi. Anda bayangkan saja bagaimana seandainya semua orang Indonesia bisa disiplin waktu seperti teman saya ini.

Bukan cuma disiplin waktu, tapi juga dalam menaati peraturan. Paling mudah adalah soal lampu merah. Jangankan kendaraan, di Korea orang jalan kaki saja sangat patuh pada traffic light. Pernah suatu kali, jalanan sepi. Di kedua sisi trotoar, pejalan kaki sudah padat dan siap untuk menyeberang, termasuk saya. Tapi karena lampu traffic masih menyala merah untuk pejalan kaki, mereka tidak maju selangkah pun! Saya hanya bisa membatin waktu itu , “coba kalau ini di Indonesia, pasti dah pada nyeberang tuh”. Jangankan jalanan sepi, jalanan ramai saja gak peduli : lampu kuning = ngebut, coy! Inilah masalahnya : di Indonesia, peraturan dibuat untuk dilanggar. Jangankan warga, yang bikin peraturan sendiri saja juga melanggar koq!

Apapun yang saya tulis ini sama sekali bukan berarti saya begitu mengagumi Korsel dan ‘menyesal’ jadi orang Indonesia. Justru sebaliknya, karena saya begitu percaya bahwa kita memiliki potensi yang jauh lebih banyak daripada mereka, hingga seharusnya dan tentunya kita bisa lebih maju daripada mereka. Kalau sekarang kenyataannya tidak, yaaa...semua berpulang pada manusianya. Karena Yang Di Atas telah menitipkan, dan gimana jadinya titipan itu ya pinter-pinternya + bener-kagaknya yang ngelola.