Halaman

Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Januari 2015

Ganteng Cantik Everywhere

Lurah cantik, camat ganteng, satpol pp cantik, penjaga krl ganteng, penjual gethuk cantik, penjaga warteg cantik, sampai tukang tambal ban cantik. Fenomena ‘orang biasa’ yang mendadak tenar lantaran penampilan fisiknya yang rupawan, sering sekali kita saksikan dewasa ini. Awalnya beredar di berbagai sosial media, kemudian banyak dibicarakan dari mulut ke mulut, sampai akhirnya diundang ke acara reality show di tv.
Menurut Anda, bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Kebanyakan pendapat orang tentu adalah karena wajah mereka yang memang menjual, dan layak diangkat ke ranah publik. Tidak ada salahnya juga pendapat ini. Namun di sini saya lebih ingin menjelaskan sedikit analisis saya mengenai bagaimana secara sosio-psikologis orang-orang ini bisa menjadi populer.
Manusia memiliki kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang berbeda dari apa yang ‘umum’ baginya. Contohnya begini : Misalnya Anda disuruh memilih satu bola di antara 5 buah bola. Empat buah bola semuanya berwarna merah, tapi ada satu yang berwarna biru sendirian. Hati Anda akan cenderung ingin memilih yang biru. Kenapa? Karena dia berbeda dari yang lain. Atau contoh lainnya : misalkan selama ini yang ada di dalam pemikiran Anda, yang namanya es dan sambal itu tidak mungkin jadi satu. Namun tiba-tiba ketika lewat di sebuah jalan, Anda menemukan rumah makan menawarkan menu yang ditulis besar-besar “Es Sambal”. Tentu Anda jadi penasaran bukan?


Jadi, sebetulnya ini memang bukan hanya soal cantik, ganteng, manis, atau tampan. Ini soal pola pikir atau mindset -yang boleh saya bilang agak keliru- dari sebagian besar orang Indonesia. Kita berpikir bahwa orang-orang dengan profesi tertentu pada umumnya tidak memiliki wajah yang cantik atau ganteng. Seolah-olah, yang namanya penampilan fisik itu ada hubungannya dengan pekerjaan. Akibatnya, ketika ada yang cantik/ganteng tapi pekerjaannya bukan yang ‘seharusnya’ (artis/model/semacamnya), kita jadi kepo.
Padahal, bukankah siapa saja boleh memilih apa saja pekerjaannya? Seseorang yang berwajah cantik tidak harus menjadi model atau pemain film/sinetron. Sah-sah aja kan kalau mereka memilih profesi lain. Mengapa di banyak negara lain, fenomena seperti ini tidak terjadi? Itu karena mereka menghargai kompetensi lebih dari penampilan fisik.
Sebenarnya ada juga faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya fenomena ini, yaitu “the Power of Upload”, tapi itu akan saya bahas di tulisan selanjutnya ya, hehee.


Jumat, 28 Februari 2014

Dicari : Ponirah


Saat ini saya tengah dipusingkan oleh mencari pengasuh untuk putra saya yang masih bayi. Mencari pengasuh yang ideal (atau setidaknya sedikit di bawah ideal) : jujur dan telaten, ternyata sangat sulit. Saya sudah minta dicarikan melalui ibu saya, dengan menghubungi teman-temannya, tapi tidak ada. Blusukan juga sudah dijalankan ke dusun-dusun di pelosok Gunung Kidul Jogja, tapi tetap tidak ditemukan calon PRT yang sesuai dengan kriteria kami. Demikian sulitnya mencari di kampung, apalagi mau mencari di sekitar tetangga saya di Bekasi sekarang. Sementara di sisi lain, saya juga mendapat cerita dari dua teman sekantor saya yang memperoleh PRT yang ‘aneh-aneh’. Yang satu, kebanyakan request tapi kerjanya nggak jelas. Yang satu lagi, ternyata diam-diam memprovokatori teman saya dengan mertuanya. Akhirnya, kedua PRT itu hanya bertahan tak sampai tiga hari di rumah teman-teman saya tersebut. Kasus ini membuat saya makin bingung mencari calon PRT.

Sulitnya mencari PRT seperti dewasa ini, sejatinya tidak terjadi pada era 1980 hingga 1990-an lalu. Pada saat itu, masih sangat banyak warga di pelosok desa, khususnya wanita, yang mau dan bersedia menjadi asisten rumah tangga ataupun pengasuh anak, walaupun dengan gaji yang seadanya. Bahkan kualitas mereka pada saat itu boleh dibilang bagus. Contohnya pada keluarga saya pribadi.
Dulu ketika masih TK, saya diberikan seorang pengasuh bernama mbak Ponirah. Mbak Ponirah sekaligus juga menjadi asisten yang membantu berbagai pekerjaan rumah ibu saya. Mbak Ponirah hingga sekarang, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, masih bekerja di rumah ibu saya meski telah mengontrak rumah sendiri. Sementara ketika dulu adik saya balita, ibu saya juga mendatangkan lagi PRT lain, yaitu mbak Yanti. Mbak Yanti ini bekerja hingga sekitar 8 tahun lamanya, sebelum akhirnya menikah dan pulang kampung. Hingga detik ini, keluarga kami selalu merindukan sosok PRT seperti mbak Ponirah dan mbak Yanti.

Mbak Ponirah dan mbak Yanti disukai oleh ibu saya dan bisa bertahan lama adalah dikarenakan mereka memiliki komitmen, telaten, jujur, dan pekerja keras. Tipikal PRT seperti inilah yang mulai jarang ditemui. Kualitas dalam hal pekerjaan mungkin meningkat. Namun dalam hal kepribadian, nampak adanya penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Kebanyakan remaja dan pemuda yang berasal dari daerah dewasa ini lebih cenderung berminat bekerja di sektor industri ketimbang bekerja di sektor rumah tangga.
Pada umumnya bekerja di perusahaan atau institusi memiliki jam kerja serta tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bekerja di rumah orang, namun memiliki nilai upah yang lebih tinggi. Tidak heran jika akhirnya lebih banyak yang memilih mengais rejeki di ranah tersebut. Kalaupun ada yang mau menjadi asisten rumah tangga, biasanya yang bersangkutan akan menetapkan standar upah minimal yang tinggi. Fenomena semakin tingginya jumlah pelamar menjadi TKI ke luar negeri mengindikasikan hal tersebut. Salah satu dampak negatifnya, banyak pihak tidak bertanggungjawab yang kemudian memanfaatkan intensi para pemuda desa ini, yang bisa dilihat dari banyaknya kasus penipuan seperti human trafficking, penyekapan, hingga penelantaran calon TKW oleh agen ilegal.


Saya pribadi belum menemukan solusi yang tepat terkait fenomena langkanya PRT ini, mengingat saya sendiri pun belum berhasil menemukan asisten untuk keluarga saya. Namun, apabila kita bercermin dari dunia barat yang maju itupun tidak mendapati kesulitan dalam mencari asisten rumah tangga ini. Sementara negara-negara Asia, baik Timur Tengah, Asia Timur, hingga para tetangga ASEAN, kini lebih banyak mengimpor dari negara kita. Apabila fenomena ini berlanjut, bukan tak mungkin ke depannya para pekerja rumah tangga kita semuanya berorientasi ke luar negeri, sementara rumah-rumah tangga di dalam negeri, keluarga kaya sekalipun, akan tidak memiliki asisten rumah tangga. Dan hal ini jelas akan sangat merepotkan. Mungkin ada yang tahu bagaimana negara-negara Eropa dan Amerika Latin bisa mempertahankan ketersediaan asisten rumah tangganya?

Rabu, 28 Agustus 2013

Empati Antar Kelompok

Ada 274 orang diusir dari desanya, kemudian terpaksa mengungsi dengan makanan dan air seadanya, hingga kemudian nasibnya terkatung-katung dan bahkan kemudian hendak diusir lagi ke tempat yang lebih jauh. SIAPAPUN mereka, merasa kasihan kah anda?

Orang-orang sedang shalat shubuh berjamaah, kemudian tiba-tiba diserang dengan brutal hingga menewaskan tak kurang dari 120 orang dan lebih dari seribu orang lainnya menderita luka-luka. SIAPAPUN mereka, merasa miris kah anda?

Oke, sekarang saya beritahukan pada anda. Cerita yang pertama adalah mengenai kasus Syiah di Sampang, Madura, yang terusir dari kampung halamannya pasca kerusuhan sekterian lantaran mereka dianggap sesat oleh penduduk sekitarnya (sumber : nasional.kompas.com, 23-11-2012). Sedangkan cerita yang kedua adalah mengenai demonstran pendukung presiden Morsi dari Ikhwanul Muslimin yang dikudeta oleh pihak militer (sumber : www.republika.co.id, 20 Agustus 2013).
Kenapa dua cerita yang saya angkat di awal artikel ini? Karena kedua kelompok yang saya ketengahkan tersebut masing-masing memiliki pihak pro dan kontra yang saling berlawanan.

Umumnya kelompok-kelompok dan pergerakan yang membela Ikhwanul Muslimin di Mesir, juga kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum muslim yang terzalimi di Palestina, Irak, Afghanistan, Rohingya di Myanmar, hingga di Suriah. Selain itu mereka juga sering membela orang-orang yang mendapat perlakuan diskriminatif lantaran berusaha mempertahankan keyakinannya, semisal wanita yang dipecat oleh perusahaannya karena enggan melepas jilbab. Empati yang ditunjukkan kelompok-kelompok ini sangat bagus dan saya mendukung sepenuhnya. Namun, di sisi lain, seringkali kelompok-kelompok atau pergerakan ini kurang menunjukkan kepekaan terhadap kaum-kaum termarjinalkan dan minoritas di Indonesia seperti komunitas Syiah, Ahmadiyah, hingga kaum LGBT dan orang berpenampilan preman, bahkan kebanyakan memandang negatif terhadap mereka.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang membela Syiah Sampang, umumnya juga membela orang-orang Ahmadiyah, kaum minoritas non-Muslim, hingga kelompok sosial termarjinalkan yang lain. Namun, di sisi lain, mereka seringkali diam atau bahkan cenderung membenarkan perlakuan zolim, diskriminatif dan tidak adil yang ditimpakan kepada orang-orang dari kelompok-kelompok yang dianggap ‘Islamis’. Kalau yang menerapkan ‘empati standar ganda’ semacam ini adalah orang-orang eksklusif-fundamentalis saya mungkin masih maklum, tapi agak aneh juga kalau yang menerapkannya adalah orang-orang yang mengaku pluralis atau liberalis. Lalu ke mana propaganda ‘toleransi untuk semua’ yang didengung-dengungkan selama ini?

Intergroup Empathy (empati antar kelompok)

Alasan utama saya menulis ini adalah karena keprihatinan. Seharusnya yang namanya berempati itu tidak milih-milih, tidak melihat siapa yang terdzolimi dan siapa yang didzolimi.


Empati dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merespon pikiran dan perasaan orang lain, baik secara emosional maupun dengan menggunakan pikiran (Taufik, 2012). Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat akurasi empati seseorang adalah faktor hubungan antara orang tersebut dengan target empati. Empati akan sulit dilakukan apabila terdapat jarak sosial antara orang yang berempati dengan target empati-nya. Manusia umumnya cenderung kurang peka atau perhatian terhadap emosi negatif (seperti kesedihan atau kemarahan) yang dialami oleh orang yang memiliki jarak ruang dan waktu dengannya, ataupun berbeda dalam hal ras, golongan, ataupun kelompok sosial (Batson & Ahmad, dalam Cikara, dkk., 2011).
Namun, empati memiliki konsep yang dinamakan perspective taking, yaitu menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain serta betul-betul mengerti dan memahami apa yang terjadi pada orang lain tersebut (Taufik, 2012). Perspective taking yang menitikberatkan pada emosi disebut dengan emotional responses. Nah, melalui proses perspective taking inilah empati dapat membantu seseorang untuk lebih memahami perasaan dan emosi orang dari kelompok atau golongan yang berbeda, sekaligus meningkatkan interaksi yang positif, dan memperbaiki hubungan interpersonal maupun antar kelompok yang semula saling tidak menyukai satu sama lain (Yabar & Hess, 2007).
Perspective taking maupun emotional responses membentuk empat kondisi psikologis di dalam hubungan antar kelompok (Batson & Ahmad, dalam Taufik, 2012) yaitu :
  1. Imagine-self perspective : yaitu membayangkan bagaimana kita berpikir dan merasakan apabila kita berada pada kondisi atau posisi seseorang.
  2. Imagine-other perspective : yaitu membayangkan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain pada sebuah situasi.
  3. Emotion matching : yaitu merasakan emosi yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain.
  4. Empathic concern : yaitu kemampuan merasakan apa yang sedang dibutuhkan oleh orang lain.

Memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Pada tataran inilah kita seharusnya mampu menggunakan empati kita dalam melihat orang-orang yang ‘berbeda’ dengan kita. Dengan adanya empati ini, kita tidak akan dengan mudahnya memberikan prasangka, penilaian, ataupun sikap yang buruk terhadap orang lain. Misal terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah. Sekalipun menurut kita Syiah dan Ahmadiyah itu sesat, apakah kemudian itu menghalangi kita untuk merasa kasihan dan bertindak simpati terhadap para korban yang terusir dari kampungnya ataupun yang masjidnya dibakar? Begitupun sebaliknya, terhadap Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan kawan-kawannya. Anda boleh saja mengatakan Ikhwanul Muslimin dan Hamas itu salah. Tapi, jika kemudian membunuhi mereka (bahkan termasuk anak-anak dan wanitanya), merampas hak milik mereka, mengganggu hak mereka untuk beribadah dan menerapkan apa yang menurut mereka diajarkan oleh agama mereka, apakah itu semua dibenarkan? Hmm.....

Oke, coba saya kasih satu contoh orang yang gak bisa berempati antar kelompok. Sebut saja namanya Pak Kencot, sedang jalan kaki. Tiba-tiba di dekatnya ada seorang pemuda naik motor, brakk! jatuh dia/kecelakaan tunggal. Di sekitar mereka gak ada orang lain. Pak Kencot langsung mendekati pemuda tersebut, yang ternyata sudah sekarat dan harus segera diambil tindakan. Sebelum menolongnya, Pak Kencot malah tanya dulu "kamu orang Jawa atau luar Jawa?". Terus pemuda itu menjawab sambil kesakitan "aduuuh....Jawa, aduuh..." Terus Pak Kencot tanya lagi "suku Jawa, Sunda, atau Betawi?" terus pemuda itu jawab lagi sambil terus memegangi kepalanya "Jawa pak! aduuuh...sakit sekali ini pak!! tolong..." Pak Kencot masih bertanya lagi "Jawa Timur, Tengah, atau Jogja?!" orang itu jawab lagi sambil meronta-ronta "Jawa Tengah!! aduuh! tolong pak, aduuuh!" Sudah begitu kondisinya, eh Pak Kencot masih tanya lagi "Jawa tengahnya Solo, Ngapak, residenan Kudus, atau Magelang?" "Ngapaaaak!!!!!" pemuda itupun berteriak. Sudah klimaks, dan Pak Kencot masih juga bertanya "Ngapak Banyumasan atau Tegal?" Akhirnya, pemuda itu pun........(isi sendiri)
Apakah kita mau seperti Pak Kencot?

Satu hal lagi. Bukankah dengan berempati, sebenarnya itu justru memudahkan kita untuk berdakwah? Misalnya terhadap kaum homoseksual. Dengan berempati, kita dapat memahami dan mengerti kenapa mereka seperti ini dan itu. Setelah faham, kita akan mudah untuk meluruskan mereka dan mengarahkan mereka kepada hal yang lebih benar. Melalui empati, kita tidak akan mudah men-cap jelek atau mengucilkan mereka di satu sisi, dan di sisi lain tanpa harus melebur menjadi homoseksual juga. Begitu juga dapat diterapkan dalam dakwah terhadap kelompok-kelompok yang lain.

Mungkin demikian yang bisa saya gambarkan. Saya sendiri masih perlu belajar banyak untuk dapat berempati, karena menurut sebagian orang kadang saya masih suka berpikiran picik, hehe. Sebelum tulisan ini diakhiri, inti dari artikel ini mungkin dapat terwakili oleh Al Qur’an Surat Al Maa’idah ayat 5 berikut ini :

“.....Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”

Wallahu’alam bisshowab.



Daftar Pustaka :
Cikara, M., Bruneau, E.G., & Saxe, R.R. (2011). Us and them : intergroup failures of empathy. Current Directions in Psychological Science, 20 (3), 149-153.
Taufik (2012). Empati, pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Yabar, Y. & Hess, U. (2007). Display of empathy and perception of outgroup members. New Zealand Journal of Psyhology, 36 (1), 42-49.


Kamis, 30 Mei 2013

Matematika Relasi Sosial

Anda tentu tahu rumus matematika ini :

(+) x (+) = (+)
(+) x (-) = (-)
(-) x (+) = (-)
(-) x (-) = (+)

Ternyata, dalam kehidupan sosial sehari-hari, rumus ini juga dapat diterapkan, dalam hal memprediksi bagaimana potensi hubungan kita dengan seseorang, berdasarkan hubungan orang tersebut dengan orang lain yang telah memiliki hubungan terlebih dahulu dengan kita. 
Dalam hal ini, nominal positif (+) kita substitusikan sebagai orang yang memiliki hubungan dengan kita sebagai seorang teman, sahabat, kerabat, atau sejenisnya. Sementara nominal negatif (-) kita substitusikan sebagai orang yang memiliki hubungan kurang baik dengan kita, semisal musuh, saingan, ancaman, atau sejenisnya.
Maka, akan kita dapatkan rumus sebagai berikut :

Teman (+) dari Temanku (+) adalah (=) Temanku (+)
Teman (+) dari Musuhku (-) adalah (=) Musuhku (-)
Musuh (-) dari Temanku (-) adalah (=) Musuhku (-)
Musuh (-) dari Musuhku (-) adalah (=) Temanku (+)

Memang, suatu dinamika sosial tidak akan se-kaku rumus matematika. Akan tetapi, pada kenyataannya, relasi sosial serupa rumus di atas lah yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Kita biasanya akan menganggap teman dari teman kita juga bisa menjadi teman bagi kita. Kita akan nyaman bergaul dengan mereka. Sementara apabila kita memusuhi seseorang, kita akan mengganggap teman dari orang tersebut sebagai musuh kita juga. Begitu juga dengan orang yang memusuhi teman kita, biasanya kita akan balas memusuhi mereka. Uniknya, apabila kita mungkin punya musuh, kemudian ada orang lain yang memusuhi musuh kita itu, kita biasanya akan ‘berkoalisi’ dengan orang lain tersebut. 

Rumus ini memang tidak selalu dapat digeneralisir secara sempurna. Tapi setidaknya, rumus ini bisa kita gunakan untuk memahami berbagai interaksi dan relasi sosial yang ada di sekitar kita, khususnya dalam ranah politik, kompetisi, dan tak jarang juga di dunia kerja. Sehingga, kita dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mungkin dapat mengenai diri kita sendiri. Namun, apapun itu, yang jelas saya pribadi dan juga anda, tentu tidak pernah berharap punya musuh, dan hanya menginginkan rumus yang pertama ( + x + = +) yang terjadi pada diri kita.

Kamis, 10 November 2011

Pahlawan Harian


Saya sangat salut, bahkan amat sangat iri terhadap mereka yang terjun ke berbagai bencana alam yang terjadi entah di mana pun itu, apalagi di Indonesia. Saya begitu menaruh simpati yang tinggi kepada para relawan yang mengorbankan diri mereka, waktu, harta, bahkan nyawa mereka untuk menolong para korban. Sungguh, dalam hati kecil saya yang paling dalam, saya sangat ingin menjadi seperti mereka. Mereka adalah orang-orang yang saya yakini akan mendapat tempat yang layak kelak di surgaNya Allah, selama mereka ikhlas. Dan karena itu saya selalu ingin seperti mereka.

'Berbagi Senyum untuk Merapi' (senyum community)
Tapi apa daya, saya orang yang cenderung lemah fisik dan kadang penakut, jadi kurang dapat terjun terlalu banyak di lapangan. Pada saat gempa Bantul 2006 dan erupsi Merapi 2010 yang lalu, saya baru terjun di saat bencana usai, dan lebih banyak menangani trauma pasca bencana. Saya merasa itu masih kurang, amat sangat kurang. Teman-teman saya banyak yang terlibat sejak awal, apalagi pada bencana merapi kemarin, di mana  banyak yang menginap lama bersama dengan para pengungsi untuk membantu mereka. Hingga kini, saya selalu menyesal tiap kali mengingat bahwa saya tidak berbuat banyak untuk mereka para korban bencana alam.

Akan tetapi, saya kemudian tersadar. Saya tidak perlu terlalu menyesal juga. Oke, merasa bersalah karena tidak bisa menolong itu baik. Namun, menjadi tidak bagus juga apabila kemudian melupakan satu hal : Menolong tidak harus hanya pada saat terjadi bencana. Kita tengok bagaimana kondisi korban tsunami Aceh, gempa Bantul dan Padang, kemudian korban Merapi. Hingga saat ini masih banyak korban tsunami Aceh dan Bantul yang masih tinggal di barak-barak dan belum bisa dikatakan betul-betul pulih kehidupannya. Pada saat masa-masa awal hari H dan pasca bencana Merapi, bantuan terus mengalir bagai sungai abadi, bahkan hingga banyak yang mubadzir saking banyaknya. Tapi bagaimana setelah itu? 

Teman saya kemudian mengingatkan saya, bahwa yang terpenting dalam menolong korban bencana alam tidak hanya pada saat masa tanggap darurat hingga recovery. Kuantitas relawan dan bantuan logistik pada saat itu akan banyak sekali, dan para korban sendiri mungkin akan merasa ‘too much’. Menurut rekan-rekan saya, penanganan setelah itu menjadi penting lantaran sudah banyak relawan yang meninggalkan area pengungsi, karena memang tugasnya sudah selesai atau sebab lainnya. Dengan kata lain, yang lebih penting dalam mengatasi situasi pasca bencana terletak pada efektifitas manajemen penanganan bencana tersebut. 

Tidak perlu susah-susah, kita lihat saja bagaimana di sekitar kita masih banyak orang-orang yang bukan korban bencana alam, tapi sungguh mereka membutuhkan bantuan. Banyak orang miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya dan tidak mampu berobat ketika mereka sakit keras. Banyak anak jalanan, di mana sebenarnya yang mereka butuhkan agar tidak ke jalanan hanyalah sebuah perhatian. Sekali lagi, sebuah perhatian. Banyak orang-orang jompo dan veteran di panti wredha, yang mereka seringkali berpikir bahwa mereka sudah tidak berdaya dan tidak lagi ‘dianggap’ oleh orang-orang sekelilingnya. Sekali lagi, mereka butuh perhatian. Dan tak terhitung jumlahnya anak-anak dhuafa, yatim, atau berkebutuhan khusus yang, lagi-lagi, hanya butuh perhatian dari kita. 

'Berbagi Senyum di Panti Asuhan' (senyum community)
Jadi, tidak perlu bersedih hati ketika kita tidak bisa atau tidak sempat menjadi ‘pahlawan insidental’ yang muncul di saat terjadi bencana alam. Jumlah pahlawan semacam itu otomatis akan melesat begitu terjadi bencana, dan tanpa perlu kita paksa-paksa, mereka akan bergerak dengan sendirinya ibarat ‘flash-mob dance’. Yang dibutuhkan Indonesia justru adalah ‘pahlawan-pahlawan harian’, pahlawan-pahlawan yang tidak hanya muncul di saat terjadi bencana thok, melainkan juga dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bahkan, tidak harus memiliki uang yang melimpah ataupun nyali yang tak terbatas untuk dapat menjadi pahlawan jenis ini. Kita dapat memberikan bantuan dalam bentuk apapun, kapanpun, di manapun. Misalnya dengan memanfaatkan ilmu yang kita miliki, dengan mengadakan kegiatan rutin yang dapat memacu potensi yang dimiliki anak-anak dhuafa, anak jalanan, atau anak yatim, sehingga mereka dapat berkembang. Yes! Semoga saya bisa seperti itu. 
Bila anda juga ingin menjadi salah satu ‘pahlawan harian’ itu, maka saya sarankan anda untuk bergabung bersama kami di Senyum Community (hehehe, sekalian promosi boleh dong...).


Oh ya, satu lagi hal yang sangat penting : "Pahlawan bukanlah gelar, melainkan sikap," (@SenyumKita)