Ada 274 orang diusir dari desanya, kemudian terpaksa
mengungsi dengan makanan dan air seadanya, hingga kemudian nasibnya
terkatung-katung dan bahkan kemudian hendak diusir lagi ke tempat yang lebih
jauh. SIAPAPUN mereka, merasa kasihan kah anda?
Orang-orang sedang shalat shubuh berjamaah, kemudian
tiba-tiba diserang dengan brutal hingga menewaskan tak kurang dari 120 orang
dan lebih dari seribu orang lainnya menderita luka-luka. SIAPAPUN mereka,
merasa miris kah anda?
Oke, sekarang saya beritahukan pada anda. Cerita yang
pertama adalah mengenai kasus Syiah di Sampang, Madura, yang terusir dari
kampung halamannya pasca kerusuhan sekterian lantaran mereka dianggap sesat
oleh penduduk sekitarnya (sumber : nasional.kompas.com, 23-11-2012). Sedangkan
cerita yang kedua adalah mengenai demonstran pendukung presiden Morsi dari
Ikhwanul Muslimin yang dikudeta oleh pihak militer (sumber : www.republika.co.id, 20 Agustus 2013).
Kenapa dua cerita yang saya angkat di awal artikel ini?
Karena kedua kelompok yang saya ketengahkan tersebut masing-masing memiliki
pihak pro dan kontra yang saling berlawanan.
Umumnya kelompok-kelompok dan pergerakan yang membela
Ikhwanul Muslimin di Mesir, juga kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum
muslim yang terzalimi di Palestina, Irak, Afghanistan, Rohingya di Myanmar,
hingga di Suriah. Selain itu mereka juga sering membela orang-orang yang
mendapat perlakuan diskriminatif lantaran berusaha mempertahankan keyakinannya,
semisal wanita yang dipecat oleh perusahaannya karena enggan melepas jilbab.
Empati yang ditunjukkan kelompok-kelompok ini sangat bagus dan saya mendukung
sepenuhnya. Namun, di sisi lain, seringkali kelompok-kelompok atau pergerakan
ini kurang menunjukkan kepekaan terhadap kaum-kaum termarjinalkan dan minoritas
di Indonesia seperti komunitas Syiah, Ahmadiyah, hingga kaum LGBT dan orang
berpenampilan preman, bahkan kebanyakan memandang negatif terhadap mereka.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang membela Syiah
Sampang, umumnya juga membela orang-orang Ahmadiyah, kaum minoritas non-Muslim,
hingga kelompok sosial
termarjinalkan yang lain. Namun, di sisi lain, mereka
seringkali diam atau bahkan cenderung membenarkan perlakuan zolim, diskriminatif
dan tidak adil yang ditimpakan kepada orang-orang dari kelompok-kelompok yang
dianggap ‘Islamis’. Kalau yang menerapkan ‘empati standar ganda’ semacam ini
adalah orang-orang eksklusif-fundamentalis saya mungkin masih maklum, tapi agak
aneh juga kalau yang menerapkannya adalah orang-orang yang mengaku pluralis
atau liberalis. Lalu ke mana propaganda ‘toleransi untuk semua’ yang
didengung-dengungkan selama ini?
Intergroup Empathy (empati antar kelompok)
Alasan utama saya menulis ini adalah karena keprihatinan.
Seharusnya yang namanya berempati itu tidak milih-milih, tidak melihat siapa
yang terdzolimi dan siapa yang didzolimi.
Empati dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
merespon pikiran dan perasaan orang lain, baik secara emosional maupun dengan
menggunakan pikiran (Taufik, 2012). Salah satu faktor yang sangat menentukan
tingkat akurasi empati seseorang adalah faktor hubungan antara orang tersebut
dengan target empati. Empati akan sulit dilakukan apabila terdapat jarak sosial
antara orang yang berempati dengan target empati-nya. Manusia umumnya cenderung
kurang peka atau perhatian terhadap emosi negatif (seperti kesedihan atau
kemarahan) yang dialami oleh orang yang memiliki jarak ruang dan waktu
dengannya, ataupun berbeda dalam hal ras, golongan, ataupun kelompok sosial
(Batson & Ahmad, dalam Cikara, dkk., 2011).
Namun, empati memiliki konsep yang dinamakan perspective
taking, yaitu menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain serta
betul-betul mengerti dan memahami apa yang terjadi pada orang lain tersebut
(Taufik, 2012). Perspective taking yang menitikberatkan pada emosi disebut
dengan emotional responses. Nah, melalui proses perspective taking inilah
empati dapat membantu seseorang untuk lebih memahami perasaan dan emosi orang
dari kelompok atau golongan yang berbeda, sekaligus meningkatkan interaksi yang
positif, dan memperbaiki hubungan interpersonal maupun antar kelompok yang
semula saling tidak menyukai satu sama lain (Yabar & Hess, 2007).
Perspective taking maupun emotional responses membentuk
empat kondisi psikologis di dalam hubungan antar kelompok (Batson & Ahmad,
dalam Taufik, 2012) yaitu :
- Imagine-self perspective : yaitu membayangkan bagaimana kita berpikir dan
merasakan apabila kita berada pada kondisi atau posisi seseorang.
- Imagine-other perspective : yaitu membayangkan apa yang dirasakan atau dipikirkan
oleh orang lain pada sebuah situasi.
- Emotion matching : yaitu merasakan emosi yang sama sebagaimana yang
dirasakan oleh orang lain.
- Empathic concern : yaitu kemampuan merasakan apa yang sedang dibutuhkan
oleh orang lain.
Memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan
oleh orang lain. Pada tataran inilah kita seharusnya mampu menggunakan empati
kita dalam melihat orang-orang yang ‘berbeda’ dengan kita. Dengan adanya empati
ini, kita tidak akan dengan mudahnya memberikan prasangka, penilaian, ataupun
sikap yang buruk terhadap orang lain. Misal terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah.
Sekalipun menurut kita Syiah dan Ahmadiyah itu sesat, apakah kemudian itu
menghalangi kita untuk merasa kasihan dan bertindak simpati terhadap para
korban yang terusir dari kampungnya ataupun yang masjidnya dibakar? Begitupun
sebaliknya, terhadap Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan kawan-kawannya. Anda boleh
saja mengatakan Ikhwanul Muslimin dan Hamas itu salah. Tapi, jika kemudian
membunuhi mereka (bahkan termasuk anak-anak dan wanitanya), merampas hak milik
mereka, mengganggu hak mereka untuk beribadah dan menerapkan apa yang menurut
mereka diajarkan oleh agama mereka, apakah itu semua dibenarkan? Hmm.....
Oke, coba saya kasih satu contoh orang yang gak bisa berempati antar kelompok. Sebut saja namanya Pak Kencot, sedang jalan kaki. Tiba-tiba di dekatnya ada seorang pemuda naik motor, brakk! jatuh dia/kecelakaan tunggal. Di sekitar mereka gak ada orang lain. Pak Kencot langsung mendekati pemuda tersebut, yang ternyata sudah sekarat dan harus segera diambil tindakan. Sebelum menolongnya, Pak Kencot malah tanya dulu "kamu orang Jawa atau luar Jawa?". Terus pemuda itu menjawab sambil kesakitan "aduuuh....Jawa, aduuh..." Terus Pak Kencot tanya lagi "suku Jawa, Sunda, atau Betawi?" terus pemuda itu jawab lagi sambil terus memegangi kepalanya "Jawa pak! aduuuh...sakit sekali ini pak!! tolong..." Pak Kencot masih bertanya lagi "Jawa Timur, Tengah, atau Jogja?!" orang itu jawab lagi sambil meronta-ronta "Jawa Tengah!! aduuh! tolong pak, aduuuh!" Sudah begitu kondisinya, eh Pak Kencot masih tanya lagi "Jawa tengahnya Solo, Ngapak, residenan Kudus, atau Magelang?" "Ngapaaaak!!!!!" pemuda itupun berteriak. Sudah klimaks, dan Pak Kencot masih juga bertanya "Ngapak Banyumasan atau Tegal?" Akhirnya, pemuda itu pun........(isi sendiri)
Apakah kita mau seperti Pak Kencot?
Satu hal lagi. Bukankah dengan berempati, sebenarnya itu justru
memudahkan kita untuk berdakwah? Misalnya terhadap kaum homoseksual. Dengan
berempati, kita dapat memahami dan mengerti kenapa mereka seperti ini dan itu.
Setelah faham, kita akan mudah untuk meluruskan mereka dan mengarahkan mereka
kepada hal yang lebih benar. Melalui empati, kita tidak akan mudah men-cap
jelek atau mengucilkan mereka di satu sisi, dan di sisi lain tanpa harus
melebur menjadi homoseksual juga. Begitu juga dapat diterapkan dalam dakwah terhadap kelompok-kelompok yang lain.
Mungkin demikian yang bisa saya gambarkan. Saya sendiri
masih perlu belajar banyak untuk dapat berempati, karena menurut sebagian orang
kadang saya masih suka berpikiran picik, hehe. Sebelum tulisan ini diakhiri,
inti dari artikel ini mungkin dapat terwakili oleh Al Qur’an Surat Al Maa’idah
ayat 5 berikut ini :
“.....Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”
Wallahu’alam bisshowab.
Daftar Pustaka :
Cikara, M., Bruneau, E.G., & Saxe, R.R. (2011). Us and them :
intergroup failures of empathy. Current
Directions in Psychological Science, 20 (3), 149-153.
Taufik (2012). Empati, pendekatan
psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Yabar, Y. & Hess, U. (2007). Display of empathy and perception
of outgroup members. New Zealand Journal
of Psyhology, 36 (1), 42-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar