Halaman

Kamis, 04 Desember 2014

Agama Itu Tidak Penting

Terdapat semacam mindset umum di dalam masyarakat, mengenai konsep ‘orang baik’. Syarat mutlak agar seseorang dapat dianggap baik adalah TIDAK MUNAFIK. Orang-orang jaman sekarang tidak lagi peduli apakah yang bersangkutan itu seorang yang berpenampilan tidak layak, ataukah orang yang tidak sopan, selama dia jujur, orang akan respek. Tidak peduli apakah dia seorang preman atau seorang asusila, yang penting dia jujur.
Di satu sisi, cara berpikir seperti ini ada positifnya. Kita menjadi tidak mudah menilai orang hanya dari penampilannya saja. Ibaratnya, pepatah “don’t judge a book from its cover” sekarang sudah banyak yang mampu mengamalkannya. Itu bagus. Namun di sisi lain, adanya semacam syarat mutlak ini menyebabkan orang menjadi – sebaliknya - otomatis berpandangan negatif terhadap siapapun yang munafik ataupun yang dianggap munafik.
Akibatnya, banyak kita saksikan bagaimana banyak orang yang dipandang alim ataupun para ulama, ustad, ahli agama, begitu sekalinya mereka dianggap munafik oleh masyarakat, maka seketika itu juga hancurlah citra mereka. Tidak cuma itu. Orang-orang agamis semacam itu juga menjadi seolah-olah ‘dilarang’ untuk berbuat salah barang sedikit saja. Padahal, toh mereka juga manusia biasa yang bisa salah dan lupa.
Oke, saya sangat sepakat bahwa kita tidak boleh begitu saja memandang negatif orang yang berpenampilan dan berkelakuan preman, atau yang tidak pernah beribadah dan nggak paham agama. Karena saya pun berpandangan bahwa mereka tetap manusia, masih punya banyak kelebihan lain, apalagi jika mereka punya banyak amal dan punya habluminannas atau hati dan sikap yang baik terhadap orang lain.
Yang saya tidak suka adalah, bagaimana media-media massa sekarang, ataupun segolongan orang-orang di media sosial, berupaya membentuk opini yang tadi, yaitu bahwa “Tidak masalah dia nggak shalat, nggak pakai jilbab, nggak ngerti agama, yang penting dia jujur dan baik. Sebaliknya jika dia rajin beribadah dan menguasai agama, namun ada perilakunya yang tidak konsisten, maka dia adalah orang yang tidak baik. Titik.” Pembentukan cara berpikir masyarakat seperti ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan mindset bahwa Agama itu Tidak Penting.

Maka dari itu, di sini saya hendak menekankan mengenai sebuah konsep mengenai ‘Religiusitas’. Jadi, menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004), religiusitas itu meliputi 5 dimensi :
1.        Dimensi Keyakinan (Religious Belief). Meliputi tingkat keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, dan juga hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, berikut tingkat kepatuhannya terhadap hal-hal tersebut. Dalam islam, ini berkaitan dengan keimanan dan akidah.
2.        Dimensi Ibadah (Religious Practice). Meliputi frekuensi, intensitas, variasi, serta pemaknaan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya.
3.        Dimensi Pengalaman (Religious Feeling). Meliputi perasaan-perasaan atau emosi keagamaan yang dirasakan oleh seseorang, yang diperoleh dair peristiwa di sekelilingnya. Mencakup juga pengalaman-pengalaman khusus dan perubahan emosi religius yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
4.        Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge). Mencakup tingkat pengetahuan, penghafalan, serta pengetahuan seseorang mengenai ajaran agamanya, berikut usaha yang dilakukan untuk memperolehnya.
5.        Dimensi Konsekuensial (Religious Effect). Mencakup sejauh mana perilaku seseorang sehari-hari dan dalam kehidupan sosial dilandasi oleh agamanya. Dalam islam, dimensi ini dapat disamakan dengan akhlak atau kesalehan sosial.
Seorang individu bisa memiliki tingkat yang tinggi dalam satu dimensi, namun memiliki tingkatan yang rendah dalam dimensi lain. Misalnya, seseorang bisa jadi rajin beribadah (tinggi dalam dimensi ibadah-nya), namun sombong dan tidak suka bersedekah (rendah dalam dimensi konsekuensial). Bisa juga ada orang lain yang sangat menguasai pengetahuan tentang agama (tinggi dalam dimensi pengetahuan), namun hal itu justru membuat dia meragukan Tuhan (rendah dalam dimensi keyakinan). Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dapat disebut sebagai orang yang ‘relijius’ (atau versi saya, orang yang ‘baik’) adalah orang yang memenuhi lima dimensi di atas. Apabila salah satu saja dari kelima dimensi di atas tidak dimiliki oleh orang yang bersangkutan, maka dia tidak dapat dibilang ‘relijius’ atau ‘baik’.
Jadi, sebenarnya, orang yang tidak taat beragama namun baik hati, dengan orang yang taat beragama namun sedikit munafik, itu statusnya sama. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dan kurang bijak juga untuk memandang negatif keduanya, karena bagaimanapun untuk menjadi orang yang betul-betul relijius itu sulit (saya pribadi pun merasa belum bisa seperti itu).
Menjadi manusia yang sempurna itu mustahil, akan tetapi setidaknya kita sebagai manusia berupaya memenuhi kelima dimensi di atas walaupun mungkin masih dalam taraf yang rendah. Tapi setidaknya, melalui pemahaman tentang religiusitas ini (bisa Anda baca-baca lagi dari berbagai sumber), di satu sisi kita tidak mudah untuk men-judge orang lain buruk, dan di sisi lain kita tetap meyakini bahwa yang namanya Agama itu Penting.




referensi :
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2004). Psikologi islami. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.