Halaman

Selasa, 27 Januari 2015

Ganteng Cantik Everywhere

Lurah cantik, camat ganteng, satpol pp cantik, penjaga krl ganteng, penjual gethuk cantik, penjaga warteg cantik, sampai tukang tambal ban cantik. Fenomena ‘orang biasa’ yang mendadak tenar lantaran penampilan fisiknya yang rupawan, sering sekali kita saksikan dewasa ini. Awalnya beredar di berbagai sosial media, kemudian banyak dibicarakan dari mulut ke mulut, sampai akhirnya diundang ke acara reality show di tv.
Menurut Anda, bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Kebanyakan pendapat orang tentu adalah karena wajah mereka yang memang menjual, dan layak diangkat ke ranah publik. Tidak ada salahnya juga pendapat ini. Namun di sini saya lebih ingin menjelaskan sedikit analisis saya mengenai bagaimana secara sosio-psikologis orang-orang ini bisa menjadi populer.
Manusia memiliki kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang berbeda dari apa yang ‘umum’ baginya. Contohnya begini : Misalnya Anda disuruh memilih satu bola di antara 5 buah bola. Empat buah bola semuanya berwarna merah, tapi ada satu yang berwarna biru sendirian. Hati Anda akan cenderung ingin memilih yang biru. Kenapa? Karena dia berbeda dari yang lain. Atau contoh lainnya : misalkan selama ini yang ada di dalam pemikiran Anda, yang namanya es dan sambal itu tidak mungkin jadi satu. Namun tiba-tiba ketika lewat di sebuah jalan, Anda menemukan rumah makan menawarkan menu yang ditulis besar-besar “Es Sambal”. Tentu Anda jadi penasaran bukan?


Jadi, sebetulnya ini memang bukan hanya soal cantik, ganteng, manis, atau tampan. Ini soal pola pikir atau mindset -yang boleh saya bilang agak keliru- dari sebagian besar orang Indonesia. Kita berpikir bahwa orang-orang dengan profesi tertentu pada umumnya tidak memiliki wajah yang cantik atau ganteng. Seolah-olah, yang namanya penampilan fisik itu ada hubungannya dengan pekerjaan. Akibatnya, ketika ada yang cantik/ganteng tapi pekerjaannya bukan yang ‘seharusnya’ (artis/model/semacamnya), kita jadi kepo.
Padahal, bukankah siapa saja boleh memilih apa saja pekerjaannya? Seseorang yang berwajah cantik tidak harus menjadi model atau pemain film/sinetron. Sah-sah aja kan kalau mereka memilih profesi lain. Mengapa di banyak negara lain, fenomena seperti ini tidak terjadi? Itu karena mereka menghargai kompetensi lebih dari penampilan fisik.
Sebenarnya ada juga faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya fenomena ini, yaitu “the Power of Upload”, tapi itu akan saya bahas di tulisan selanjutnya ya, hehee.


Kamis, 04 Desember 2014

Agama Itu Tidak Penting

Terdapat semacam mindset umum di dalam masyarakat, mengenai konsep ‘orang baik’. Syarat mutlak agar seseorang dapat dianggap baik adalah TIDAK MUNAFIK. Orang-orang jaman sekarang tidak lagi peduli apakah yang bersangkutan itu seorang yang berpenampilan tidak layak, ataukah orang yang tidak sopan, selama dia jujur, orang akan respek. Tidak peduli apakah dia seorang preman atau seorang asusila, yang penting dia jujur.
Di satu sisi, cara berpikir seperti ini ada positifnya. Kita menjadi tidak mudah menilai orang hanya dari penampilannya saja. Ibaratnya, pepatah “don’t judge a book from its cover” sekarang sudah banyak yang mampu mengamalkannya. Itu bagus. Namun di sisi lain, adanya semacam syarat mutlak ini menyebabkan orang menjadi – sebaliknya - otomatis berpandangan negatif terhadap siapapun yang munafik ataupun yang dianggap munafik.
Akibatnya, banyak kita saksikan bagaimana banyak orang yang dipandang alim ataupun para ulama, ustad, ahli agama, begitu sekalinya mereka dianggap munafik oleh masyarakat, maka seketika itu juga hancurlah citra mereka. Tidak cuma itu. Orang-orang agamis semacam itu juga menjadi seolah-olah ‘dilarang’ untuk berbuat salah barang sedikit saja. Padahal, toh mereka juga manusia biasa yang bisa salah dan lupa.
Oke, saya sangat sepakat bahwa kita tidak boleh begitu saja memandang negatif orang yang berpenampilan dan berkelakuan preman, atau yang tidak pernah beribadah dan nggak paham agama. Karena saya pun berpandangan bahwa mereka tetap manusia, masih punya banyak kelebihan lain, apalagi jika mereka punya banyak amal dan punya habluminannas atau hati dan sikap yang baik terhadap orang lain.
Yang saya tidak suka adalah, bagaimana media-media massa sekarang, ataupun segolongan orang-orang di media sosial, berupaya membentuk opini yang tadi, yaitu bahwa “Tidak masalah dia nggak shalat, nggak pakai jilbab, nggak ngerti agama, yang penting dia jujur dan baik. Sebaliknya jika dia rajin beribadah dan menguasai agama, namun ada perilakunya yang tidak konsisten, maka dia adalah orang yang tidak baik. Titik.” Pembentukan cara berpikir masyarakat seperti ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan mindset bahwa Agama itu Tidak Penting.

Maka dari itu, di sini saya hendak menekankan mengenai sebuah konsep mengenai ‘Religiusitas’. Jadi, menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004), religiusitas itu meliputi 5 dimensi :
1.        Dimensi Keyakinan (Religious Belief). Meliputi tingkat keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, dan juga hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, berikut tingkat kepatuhannya terhadap hal-hal tersebut. Dalam islam, ini berkaitan dengan keimanan dan akidah.
2.        Dimensi Ibadah (Religious Practice). Meliputi frekuensi, intensitas, variasi, serta pemaknaan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya.
3.        Dimensi Pengalaman (Religious Feeling). Meliputi perasaan-perasaan atau emosi keagamaan yang dirasakan oleh seseorang, yang diperoleh dair peristiwa di sekelilingnya. Mencakup juga pengalaman-pengalaman khusus dan perubahan emosi religius yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
4.        Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge). Mencakup tingkat pengetahuan, penghafalan, serta pengetahuan seseorang mengenai ajaran agamanya, berikut usaha yang dilakukan untuk memperolehnya.
5.        Dimensi Konsekuensial (Religious Effect). Mencakup sejauh mana perilaku seseorang sehari-hari dan dalam kehidupan sosial dilandasi oleh agamanya. Dalam islam, dimensi ini dapat disamakan dengan akhlak atau kesalehan sosial.
Seorang individu bisa memiliki tingkat yang tinggi dalam satu dimensi, namun memiliki tingkatan yang rendah dalam dimensi lain. Misalnya, seseorang bisa jadi rajin beribadah (tinggi dalam dimensi ibadah-nya), namun sombong dan tidak suka bersedekah (rendah dalam dimensi konsekuensial). Bisa juga ada orang lain yang sangat menguasai pengetahuan tentang agama (tinggi dalam dimensi pengetahuan), namun hal itu justru membuat dia meragukan Tuhan (rendah dalam dimensi keyakinan). Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dapat disebut sebagai orang yang ‘relijius’ (atau versi saya, orang yang ‘baik’) adalah orang yang memenuhi lima dimensi di atas. Apabila salah satu saja dari kelima dimensi di atas tidak dimiliki oleh orang yang bersangkutan, maka dia tidak dapat dibilang ‘relijius’ atau ‘baik’.
Jadi, sebenarnya, orang yang tidak taat beragama namun baik hati, dengan orang yang taat beragama namun sedikit munafik, itu statusnya sama. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dan kurang bijak juga untuk memandang negatif keduanya, karena bagaimanapun untuk menjadi orang yang betul-betul relijius itu sulit (saya pribadi pun merasa belum bisa seperti itu).
Menjadi manusia yang sempurna itu mustahil, akan tetapi setidaknya kita sebagai manusia berupaya memenuhi kelima dimensi di atas walaupun mungkin masih dalam taraf yang rendah. Tapi setidaknya, melalui pemahaman tentang religiusitas ini (bisa Anda baca-baca lagi dari berbagai sumber), di satu sisi kita tidak mudah untuk men-judge orang lain buruk, dan di sisi lain kita tetap meyakini bahwa yang namanya Agama itu Penting.




referensi :
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2004). Psikologi islami. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Selasa, 30 September 2014

Matinya Politik Pencitraan


Pemilihan kepala daerah atau pilkada akhirnya resmi dikembalikan ke DPRD alias tidak lagi dipilih secara langsung. Banyak orang yang menyebut, baik melalui media maupun melalui berbagai aksi, bahwa keputusan yang diperoleh melalui hasil sidang paripurna DPR RI kamis (25/9) lalu ini adalah kematian bagi demokrasi. ‘RIP Demokrasi’. Begitu kira-kira judulnya. Benarkah demikian? Itu terserah pada Anda.
Yang jelas, saya juga melihat ada hal lain yang ikut ‘mati’ sebagai akibat dari RUU pilkada ini. Dia adalah ‘politik pencitraan’. Ya, politik pencitraan boleh dikatakan habis. ‘Mati’, dalam arti sebenarnya. Dan ini berlaku untuk kedua kubu, baik yang mendukung pilkada langsung (kubu koalisi PDIP), maupun pengusung pilkada lewat DPRD (Koalisi Merah Putih).
Saya betul-betul heran dan tak habis pikir dengan langkah-langkah yang diambil oleh KMP pasca kalah di pilpres. Bukannya menerima dengan legowo dan besar hati, mereka malah melakukan hal-hal yang justru bisa memperburuk citra mereka sendiri. Pertama-tama, mereka menggugat melalui MK. Sebenarnya ini mungkin sudah melalui mekanisme hukum yang benar, tapi tetap saja kesan yang ditangkap masyarakat, Prabowo dan partai-partai pengusungnya tidak mau menerima kekalahan.
Setelah gugatannya ditolak MK, mereka coba mencari cara lain untuk tetap punya kuasa. Yaitu dengan mencoba menggolkan pilkada via DPRD. Seharusnya mereka sudah tahu dan mampu memprediksi bahwa sikap ini akan membuat mereka dicap telah mencabut hak berpolitik rakyat dan justru akan banyak menimbulkan kongkalikong. Lagi-lagi, ini bisa berakibat fatal bagi suara KMP di 2019, karena amat sangat mungkin rakyat menjadi sudah tidak percaya lagi pada partai-partai di koalisi tersebut (dan gejala itu sudah nampak sedemikian rupa). Namun, toh mereka tetap bergeming. Ini, menunjukkan bahwa Prabowo dan para pendukungnya tidak lagi menganggap politik pencitraan sebagai sesuatu yang penting.
Ketika mengajukan ide pilkada via DPRD, kubu KMP sendiri beralasan bahwa pilkada secara langsung rawan dengan politik uang dan juga kental dengan politik pencitraan. Pernyataan ini sedikit banyak ada benarnya. Ketika hak memilih itu ada di tangan rakyat, maka strategi yang bisa diambil oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada, salah satu yang paing jitu adalah politik pencitraan. Dan ini sudah terbukti sukses. Khususnya dilakoni oleh para partai koalisi pendukung Jokowi. Taktik yang mereka mainkan sangat rapi untuk bisa mengambil hati masyarakat, untuk bisa menampilkan diri bahwa mereka memang berpihak pada rakyat (entah itu betul atau tidak). Dengan dihapuskannya pilkada secara langsung ini, maka praktis membuat partai-partai koalisi kotak-kotak tersebut tidak bisa lagi menggunakan strategi politik pencitraan ini.
Itulah yang saya katakan, ‘politik pencitraan’ telah mati, bagi kedua belah pihak. Lantas, sebenarnya manakah yang lebih tepat, pilkada langsung atau melalui DPRD? Sebenarnya untuk situasi saat ini, memang yang lebih pas adalah pilkada langsung. Saya pribadi pun termasuk pendukung pilkada langsung, walaupun pada pilpres lalu saya mendukung koalisi merah putih (saya terbuka saja ya). Namun, sebenarnya, semua berpulang pada kondisi mental bangsa Indonesia sendiri. Selama rakyat Indonesia masih banyak yang belum cerdas dalam berpolitik dan - inilah masalahnya - belum makmur, maka pilkada langsung memang akan rawan politik pencitraan dan masih dapat menimbulkan sejumlah masalah yang pada akhirnya melahirkan pemimpin berjiwa ‘idol’. Demikian pula, selama masih banyak orang pintar yang haus jabatan dan materi, serta orang kaya yang haus kekuasaan, serta politikus-politikus yang…..ya begitulah, maka pemilihan melalui DPRD tetap akan mengesampingkan kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya tak begitu masalah sistem pemilihan seperti apa yang diterapkan, semuanya berpulang pada mental rakyat Indonesia dan para elit politik sendiri. Selama mental rakyat dan elit baik, maka sistem apapun yang diterapkan bisa berlangsung secara ideal. Namun selama mental rakyat dan elit tetap seperti sekarang ini, maka sistem apapun yang diterapkan niscaya belum bisa menghasilkan the real good governance.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kamis, 07 Agustus 2014

KABAR GEMBIRA

Kabar Gembira!
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ Blog ini berubah tampilan! :p

Senin, 21 Juli 2014

Bukan Salah Islam

Fenomena religiusitas dalam kehidupan manusia dewasa ini mempunyai dua kutub. Di satu sisi, terdapat banyak kalangan yang semakin religius, sementara di sisi lain banyak yang makin meragukan agama ataupun malas menjalankannya.
Orang-orang merasa malas menjalankan perintah agamanya, atau tidak tertarik pada ajaran dan nilai-nilai agamanya, tentu memiliki alasan tersendiri. Karakter pribadi yang memang seorang pemalas, memang banyak menjadi alasan. Faktor seperti karakter dan kepribadian bisa disebut sabagai faktor internal yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang. Namun, terdapat pula faktor eksternal, di antaranya adalah faktor sosial. Faktor sosial inilah yang semakin dominan dalam mempengaruhi tingkat religiusitas seorang individu dalam tipikal masyarakat yang ada di era ini.
Di antara faktor sosial yang ada, antara lain menyangkut bagaimana individu yang bersangkutan melihat model dari orang-orang shaleh dan juga orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
 Beberapa tahun belakangan, banyak sekali kita menyaksikan (baik itu dari media massa, internet, maupun dari lingkungan dekat kita) orang-orang yang kita anggap menguasai ilmu agama, rajin ibadah, bahkan bisa kita sebut sebagai ustad atau kiyai, ternyata melakukan hal-hal yang itu jelas merupakan tindak kriminal dan juga dilarang agama. Banyak ustad yang diisukan melakukan pelecehan seksual. Ada beberapa ustad yang diduga melakukan penipuan. Ada seorang ketua partai yang kita kenal sangat Islami, ditangkap oleh KPK dengan tuduhan menerima suap. Terakhir, bahkan seorang menteri agama, juga terindikasi melakukan korupsi.
Orang-orang yang melihat kasus-kasus tersebut, merasa prihatin. Sayangnya, banyak di antara orang-orang yang prihatin tersebut, kemudian menjadi tidak tertarik juga kepada Islam, bahkan tidak sedikit yang jadi menjauhi ajaran Islam. Alasan yang kerap terlontar adalah “ustad, kiyai aja kelakukannya kayak gitu, sama aja. gw mah yang penting cukup baik sama orang aja, gak usah tinggi-tinggi ngejalanin agama.” Dengan kata lain, orang menjadi berpikir bahwa jikalau orang yang nampak taat beragama saja bisa berbuat negatif, lantas untuk apa kita juga taat beragama? Toh yang penting kan berbuat baik saja, ntar juga masuk surga.

Eitttsss…
Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah salah kaprah yang fatal. “Beribadah adalah urusan masing-masing dengan Allah” oke, itu benar. Jadi, soal bagaimana orang-orang yang kita pandang sebagai ustad atau kiyai itu berperilaku buruk, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Perkara Anda menganggap itu perbuatan yang salah, keliru, munafik, dsb., silahkan. Tetapi kemudian apabila mereka ‘seperti itu’, apakah lantas itu mempengaruhi keberagamaan Anda? Dalam hal ibadah, Anda adalah Anda, mereka adalah mereka, kita adalah kita. Tugas kita antar sesama manusia dalam hal ibadah hanyalah saling mengingatkan dan mungkin mengajarkan. Ini baru satu hal.
Kedua, perkara mereka mungkin sudah rajin beribadah, pengetahuan agamanya luas, namun masih memiliki beberapa perilaku negatif, itu bukan salah Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk korupsi, tidak menghargai wanita, berperilaku munafik, melakukan tindak kekerasan, atau perbuatan-perbuatan lain yang merugikan orang lain. Sama sekali tidak. Shalat sejatinya mendorong perbuatan ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan munkar. Puasa sejatinya melatih orang untuk mengendalikan diri. Ibadah haji sejatinya membentuk orang menjadi lebih bijak dalam berperilaku. Apabila ada orang yang sudah rajin shalat, ngaji, rajin puasa sunnah, atau sudah haji tapi kok tidak ada dampak kepada perilaku sosialnya, maka kekhusyukan dan pemaknaan mereka terhadap ibadah yang mereka jalankan itu patut dipertanyakan.
Ada juga pendapat yang sering muncul “makin paham seseorang tentang aturan agama, makin pandai pula dia mengakalinya.” Pendapat ini mungkin ada benarnya, tapi juga tidak bisa sepenuhnya disetujui. Sekali lagi, itu berpulang pada orangnya masing-masing. Kalau memang yang bersangkutan sudah punya niat yang salah, ya penyimpangan itulah yang akan mereka lakukan. Tapi banyak juga yang ilmu agamanya luas, dan perilakunya pun makin bijak. Kelompok yang niatnya keliru tadi, bisa jadi disebabkan banyak faktor samping : motivasi ekonomi, adanya kesempatan, tipe kepribadian, kepentingan politik, dll. Jadi, sama sekali bukan disebabkan oleh pengetahuan agama itu sendiri. Karena, lagi-lagi, agama sama sekali tidak mengajarkan perilaku menyimpang tersebut.


Jadi, kesimpulannya adalah : apapun yang dilakukan orang-orang yang kita anggap taat itu, biarin aja! Kalau kita mau beribadah ya beribadah aja. Kalau kita mau memperdalam agama, ya belajarlah. Udah, itu aja.