Halaman

Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Desember 2014

Agama Itu Tidak Penting

Terdapat semacam mindset umum di dalam masyarakat, mengenai konsep ‘orang baik’. Syarat mutlak agar seseorang dapat dianggap baik adalah TIDAK MUNAFIK. Orang-orang jaman sekarang tidak lagi peduli apakah yang bersangkutan itu seorang yang berpenampilan tidak layak, ataukah orang yang tidak sopan, selama dia jujur, orang akan respek. Tidak peduli apakah dia seorang preman atau seorang asusila, yang penting dia jujur.
Di satu sisi, cara berpikir seperti ini ada positifnya. Kita menjadi tidak mudah menilai orang hanya dari penampilannya saja. Ibaratnya, pepatah “don’t judge a book from its cover” sekarang sudah banyak yang mampu mengamalkannya. Itu bagus. Namun di sisi lain, adanya semacam syarat mutlak ini menyebabkan orang menjadi – sebaliknya - otomatis berpandangan negatif terhadap siapapun yang munafik ataupun yang dianggap munafik.
Akibatnya, banyak kita saksikan bagaimana banyak orang yang dipandang alim ataupun para ulama, ustad, ahli agama, begitu sekalinya mereka dianggap munafik oleh masyarakat, maka seketika itu juga hancurlah citra mereka. Tidak cuma itu. Orang-orang agamis semacam itu juga menjadi seolah-olah ‘dilarang’ untuk berbuat salah barang sedikit saja. Padahal, toh mereka juga manusia biasa yang bisa salah dan lupa.
Oke, saya sangat sepakat bahwa kita tidak boleh begitu saja memandang negatif orang yang berpenampilan dan berkelakuan preman, atau yang tidak pernah beribadah dan nggak paham agama. Karena saya pun berpandangan bahwa mereka tetap manusia, masih punya banyak kelebihan lain, apalagi jika mereka punya banyak amal dan punya habluminannas atau hati dan sikap yang baik terhadap orang lain.
Yang saya tidak suka adalah, bagaimana media-media massa sekarang, ataupun segolongan orang-orang di media sosial, berupaya membentuk opini yang tadi, yaitu bahwa “Tidak masalah dia nggak shalat, nggak pakai jilbab, nggak ngerti agama, yang penting dia jujur dan baik. Sebaliknya jika dia rajin beribadah dan menguasai agama, namun ada perilakunya yang tidak konsisten, maka dia adalah orang yang tidak baik. Titik.” Pembentukan cara berpikir masyarakat seperti ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan mindset bahwa Agama itu Tidak Penting.

Maka dari itu, di sini saya hendak menekankan mengenai sebuah konsep mengenai ‘Religiusitas’. Jadi, menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004), religiusitas itu meliputi 5 dimensi :
1.        Dimensi Keyakinan (Religious Belief). Meliputi tingkat keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, dan juga hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, berikut tingkat kepatuhannya terhadap hal-hal tersebut. Dalam islam, ini berkaitan dengan keimanan dan akidah.
2.        Dimensi Ibadah (Religious Practice). Meliputi frekuensi, intensitas, variasi, serta pemaknaan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya.
3.        Dimensi Pengalaman (Religious Feeling). Meliputi perasaan-perasaan atau emosi keagamaan yang dirasakan oleh seseorang, yang diperoleh dair peristiwa di sekelilingnya. Mencakup juga pengalaman-pengalaman khusus dan perubahan emosi religius yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
4.        Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge). Mencakup tingkat pengetahuan, penghafalan, serta pengetahuan seseorang mengenai ajaran agamanya, berikut usaha yang dilakukan untuk memperolehnya.
5.        Dimensi Konsekuensial (Religious Effect). Mencakup sejauh mana perilaku seseorang sehari-hari dan dalam kehidupan sosial dilandasi oleh agamanya. Dalam islam, dimensi ini dapat disamakan dengan akhlak atau kesalehan sosial.
Seorang individu bisa memiliki tingkat yang tinggi dalam satu dimensi, namun memiliki tingkatan yang rendah dalam dimensi lain. Misalnya, seseorang bisa jadi rajin beribadah (tinggi dalam dimensi ibadah-nya), namun sombong dan tidak suka bersedekah (rendah dalam dimensi konsekuensial). Bisa juga ada orang lain yang sangat menguasai pengetahuan tentang agama (tinggi dalam dimensi pengetahuan), namun hal itu justru membuat dia meragukan Tuhan (rendah dalam dimensi keyakinan). Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dapat disebut sebagai orang yang ‘relijius’ (atau versi saya, orang yang ‘baik’) adalah orang yang memenuhi lima dimensi di atas. Apabila salah satu saja dari kelima dimensi di atas tidak dimiliki oleh orang yang bersangkutan, maka dia tidak dapat dibilang ‘relijius’ atau ‘baik’.
Jadi, sebenarnya, orang yang tidak taat beragama namun baik hati, dengan orang yang taat beragama namun sedikit munafik, itu statusnya sama. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dan kurang bijak juga untuk memandang negatif keduanya, karena bagaimanapun untuk menjadi orang yang betul-betul relijius itu sulit (saya pribadi pun merasa belum bisa seperti itu).
Menjadi manusia yang sempurna itu mustahil, akan tetapi setidaknya kita sebagai manusia berupaya memenuhi kelima dimensi di atas walaupun mungkin masih dalam taraf yang rendah. Tapi setidaknya, melalui pemahaman tentang religiusitas ini (bisa Anda baca-baca lagi dari berbagai sumber), di satu sisi kita tidak mudah untuk men-judge orang lain buruk, dan di sisi lain kita tetap meyakini bahwa yang namanya Agama itu Penting.




referensi :
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2004). Psikologi islami. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Senin, 21 Juli 2014

Bukan Salah Islam

Fenomena religiusitas dalam kehidupan manusia dewasa ini mempunyai dua kutub. Di satu sisi, terdapat banyak kalangan yang semakin religius, sementara di sisi lain banyak yang makin meragukan agama ataupun malas menjalankannya.
Orang-orang merasa malas menjalankan perintah agamanya, atau tidak tertarik pada ajaran dan nilai-nilai agamanya, tentu memiliki alasan tersendiri. Karakter pribadi yang memang seorang pemalas, memang banyak menjadi alasan. Faktor seperti karakter dan kepribadian bisa disebut sabagai faktor internal yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang. Namun, terdapat pula faktor eksternal, di antaranya adalah faktor sosial. Faktor sosial inilah yang semakin dominan dalam mempengaruhi tingkat religiusitas seorang individu dalam tipikal masyarakat yang ada di era ini.
Di antara faktor sosial yang ada, antara lain menyangkut bagaimana individu yang bersangkutan melihat model dari orang-orang shaleh dan juga orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
 Beberapa tahun belakangan, banyak sekali kita menyaksikan (baik itu dari media massa, internet, maupun dari lingkungan dekat kita) orang-orang yang kita anggap menguasai ilmu agama, rajin ibadah, bahkan bisa kita sebut sebagai ustad atau kiyai, ternyata melakukan hal-hal yang itu jelas merupakan tindak kriminal dan juga dilarang agama. Banyak ustad yang diisukan melakukan pelecehan seksual. Ada beberapa ustad yang diduga melakukan penipuan. Ada seorang ketua partai yang kita kenal sangat Islami, ditangkap oleh KPK dengan tuduhan menerima suap. Terakhir, bahkan seorang menteri agama, juga terindikasi melakukan korupsi.
Orang-orang yang melihat kasus-kasus tersebut, merasa prihatin. Sayangnya, banyak di antara orang-orang yang prihatin tersebut, kemudian menjadi tidak tertarik juga kepada Islam, bahkan tidak sedikit yang jadi menjauhi ajaran Islam. Alasan yang kerap terlontar adalah “ustad, kiyai aja kelakukannya kayak gitu, sama aja. gw mah yang penting cukup baik sama orang aja, gak usah tinggi-tinggi ngejalanin agama.” Dengan kata lain, orang menjadi berpikir bahwa jikalau orang yang nampak taat beragama saja bisa berbuat negatif, lantas untuk apa kita juga taat beragama? Toh yang penting kan berbuat baik saja, ntar juga masuk surga.

Eitttsss…
Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah salah kaprah yang fatal. “Beribadah adalah urusan masing-masing dengan Allah” oke, itu benar. Jadi, soal bagaimana orang-orang yang kita pandang sebagai ustad atau kiyai itu berperilaku buruk, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Perkara Anda menganggap itu perbuatan yang salah, keliru, munafik, dsb., silahkan. Tetapi kemudian apabila mereka ‘seperti itu’, apakah lantas itu mempengaruhi keberagamaan Anda? Dalam hal ibadah, Anda adalah Anda, mereka adalah mereka, kita adalah kita. Tugas kita antar sesama manusia dalam hal ibadah hanyalah saling mengingatkan dan mungkin mengajarkan. Ini baru satu hal.
Kedua, perkara mereka mungkin sudah rajin beribadah, pengetahuan agamanya luas, namun masih memiliki beberapa perilaku negatif, itu bukan salah Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk korupsi, tidak menghargai wanita, berperilaku munafik, melakukan tindak kekerasan, atau perbuatan-perbuatan lain yang merugikan orang lain. Sama sekali tidak. Shalat sejatinya mendorong perbuatan ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan munkar. Puasa sejatinya melatih orang untuk mengendalikan diri. Ibadah haji sejatinya membentuk orang menjadi lebih bijak dalam berperilaku. Apabila ada orang yang sudah rajin shalat, ngaji, rajin puasa sunnah, atau sudah haji tapi kok tidak ada dampak kepada perilaku sosialnya, maka kekhusyukan dan pemaknaan mereka terhadap ibadah yang mereka jalankan itu patut dipertanyakan.
Ada juga pendapat yang sering muncul “makin paham seseorang tentang aturan agama, makin pandai pula dia mengakalinya.” Pendapat ini mungkin ada benarnya, tapi juga tidak bisa sepenuhnya disetujui. Sekali lagi, itu berpulang pada orangnya masing-masing. Kalau memang yang bersangkutan sudah punya niat yang salah, ya penyimpangan itulah yang akan mereka lakukan. Tapi banyak juga yang ilmu agamanya luas, dan perilakunya pun makin bijak. Kelompok yang niatnya keliru tadi, bisa jadi disebabkan banyak faktor samping : motivasi ekonomi, adanya kesempatan, tipe kepribadian, kepentingan politik, dll. Jadi, sama sekali bukan disebabkan oleh pengetahuan agama itu sendiri. Karena, lagi-lagi, agama sama sekali tidak mengajarkan perilaku menyimpang tersebut.


Jadi, kesimpulannya adalah : apapun yang dilakukan orang-orang yang kita anggap taat itu, biarin aja! Kalau kita mau beribadah ya beribadah aja. Kalau kita mau memperdalam agama, ya belajarlah. Udah, itu aja.

Rabu, 28 Agustus 2013

Empati Antar Kelompok

Ada 274 orang diusir dari desanya, kemudian terpaksa mengungsi dengan makanan dan air seadanya, hingga kemudian nasibnya terkatung-katung dan bahkan kemudian hendak diusir lagi ke tempat yang lebih jauh. SIAPAPUN mereka, merasa kasihan kah anda?

Orang-orang sedang shalat shubuh berjamaah, kemudian tiba-tiba diserang dengan brutal hingga menewaskan tak kurang dari 120 orang dan lebih dari seribu orang lainnya menderita luka-luka. SIAPAPUN mereka, merasa miris kah anda?

Oke, sekarang saya beritahukan pada anda. Cerita yang pertama adalah mengenai kasus Syiah di Sampang, Madura, yang terusir dari kampung halamannya pasca kerusuhan sekterian lantaran mereka dianggap sesat oleh penduduk sekitarnya (sumber : nasional.kompas.com, 23-11-2012). Sedangkan cerita yang kedua adalah mengenai demonstran pendukung presiden Morsi dari Ikhwanul Muslimin yang dikudeta oleh pihak militer (sumber : www.republika.co.id, 20 Agustus 2013).
Kenapa dua cerita yang saya angkat di awal artikel ini? Karena kedua kelompok yang saya ketengahkan tersebut masing-masing memiliki pihak pro dan kontra yang saling berlawanan.

Umumnya kelompok-kelompok dan pergerakan yang membela Ikhwanul Muslimin di Mesir, juga kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum muslim yang terzalimi di Palestina, Irak, Afghanistan, Rohingya di Myanmar, hingga di Suriah. Selain itu mereka juga sering membela orang-orang yang mendapat perlakuan diskriminatif lantaran berusaha mempertahankan keyakinannya, semisal wanita yang dipecat oleh perusahaannya karena enggan melepas jilbab. Empati yang ditunjukkan kelompok-kelompok ini sangat bagus dan saya mendukung sepenuhnya. Namun, di sisi lain, seringkali kelompok-kelompok atau pergerakan ini kurang menunjukkan kepekaan terhadap kaum-kaum termarjinalkan dan minoritas di Indonesia seperti komunitas Syiah, Ahmadiyah, hingga kaum LGBT dan orang berpenampilan preman, bahkan kebanyakan memandang negatif terhadap mereka.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang membela Syiah Sampang, umumnya juga membela orang-orang Ahmadiyah, kaum minoritas non-Muslim, hingga kelompok sosial termarjinalkan yang lain. Namun, di sisi lain, mereka seringkali diam atau bahkan cenderung membenarkan perlakuan zolim, diskriminatif dan tidak adil yang ditimpakan kepada orang-orang dari kelompok-kelompok yang dianggap ‘Islamis’. Kalau yang menerapkan ‘empati standar ganda’ semacam ini adalah orang-orang eksklusif-fundamentalis saya mungkin masih maklum, tapi agak aneh juga kalau yang menerapkannya adalah orang-orang yang mengaku pluralis atau liberalis. Lalu ke mana propaganda ‘toleransi untuk semua’ yang didengung-dengungkan selama ini?

Intergroup Empathy (empati antar kelompok)

Alasan utama saya menulis ini adalah karena keprihatinan. Seharusnya yang namanya berempati itu tidak milih-milih, tidak melihat siapa yang terdzolimi dan siapa yang didzolimi.


Empati dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merespon pikiran dan perasaan orang lain, baik secara emosional maupun dengan menggunakan pikiran (Taufik, 2012). Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat akurasi empati seseorang adalah faktor hubungan antara orang tersebut dengan target empati. Empati akan sulit dilakukan apabila terdapat jarak sosial antara orang yang berempati dengan target empati-nya. Manusia umumnya cenderung kurang peka atau perhatian terhadap emosi negatif (seperti kesedihan atau kemarahan) yang dialami oleh orang yang memiliki jarak ruang dan waktu dengannya, ataupun berbeda dalam hal ras, golongan, ataupun kelompok sosial (Batson & Ahmad, dalam Cikara, dkk., 2011).
Namun, empati memiliki konsep yang dinamakan perspective taking, yaitu menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain serta betul-betul mengerti dan memahami apa yang terjadi pada orang lain tersebut (Taufik, 2012). Perspective taking yang menitikberatkan pada emosi disebut dengan emotional responses. Nah, melalui proses perspective taking inilah empati dapat membantu seseorang untuk lebih memahami perasaan dan emosi orang dari kelompok atau golongan yang berbeda, sekaligus meningkatkan interaksi yang positif, dan memperbaiki hubungan interpersonal maupun antar kelompok yang semula saling tidak menyukai satu sama lain (Yabar & Hess, 2007).
Perspective taking maupun emotional responses membentuk empat kondisi psikologis di dalam hubungan antar kelompok (Batson & Ahmad, dalam Taufik, 2012) yaitu :
  1. Imagine-self perspective : yaitu membayangkan bagaimana kita berpikir dan merasakan apabila kita berada pada kondisi atau posisi seseorang.
  2. Imagine-other perspective : yaitu membayangkan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain pada sebuah situasi.
  3. Emotion matching : yaitu merasakan emosi yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain.
  4. Empathic concern : yaitu kemampuan merasakan apa yang sedang dibutuhkan oleh orang lain.

Memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Pada tataran inilah kita seharusnya mampu menggunakan empati kita dalam melihat orang-orang yang ‘berbeda’ dengan kita. Dengan adanya empati ini, kita tidak akan dengan mudahnya memberikan prasangka, penilaian, ataupun sikap yang buruk terhadap orang lain. Misal terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah. Sekalipun menurut kita Syiah dan Ahmadiyah itu sesat, apakah kemudian itu menghalangi kita untuk merasa kasihan dan bertindak simpati terhadap para korban yang terusir dari kampungnya ataupun yang masjidnya dibakar? Begitupun sebaliknya, terhadap Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan kawan-kawannya. Anda boleh saja mengatakan Ikhwanul Muslimin dan Hamas itu salah. Tapi, jika kemudian membunuhi mereka (bahkan termasuk anak-anak dan wanitanya), merampas hak milik mereka, mengganggu hak mereka untuk beribadah dan menerapkan apa yang menurut mereka diajarkan oleh agama mereka, apakah itu semua dibenarkan? Hmm.....

Oke, coba saya kasih satu contoh orang yang gak bisa berempati antar kelompok. Sebut saja namanya Pak Kencot, sedang jalan kaki. Tiba-tiba di dekatnya ada seorang pemuda naik motor, brakk! jatuh dia/kecelakaan tunggal. Di sekitar mereka gak ada orang lain. Pak Kencot langsung mendekati pemuda tersebut, yang ternyata sudah sekarat dan harus segera diambil tindakan. Sebelum menolongnya, Pak Kencot malah tanya dulu "kamu orang Jawa atau luar Jawa?". Terus pemuda itu menjawab sambil kesakitan "aduuuh....Jawa, aduuh..." Terus Pak Kencot tanya lagi "suku Jawa, Sunda, atau Betawi?" terus pemuda itu jawab lagi sambil terus memegangi kepalanya "Jawa pak! aduuuh...sakit sekali ini pak!! tolong..." Pak Kencot masih bertanya lagi "Jawa Timur, Tengah, atau Jogja?!" orang itu jawab lagi sambil meronta-ronta "Jawa Tengah!! aduuh! tolong pak, aduuuh!" Sudah begitu kondisinya, eh Pak Kencot masih tanya lagi "Jawa tengahnya Solo, Ngapak, residenan Kudus, atau Magelang?" "Ngapaaaak!!!!!" pemuda itupun berteriak. Sudah klimaks, dan Pak Kencot masih juga bertanya "Ngapak Banyumasan atau Tegal?" Akhirnya, pemuda itu pun........(isi sendiri)
Apakah kita mau seperti Pak Kencot?

Satu hal lagi. Bukankah dengan berempati, sebenarnya itu justru memudahkan kita untuk berdakwah? Misalnya terhadap kaum homoseksual. Dengan berempati, kita dapat memahami dan mengerti kenapa mereka seperti ini dan itu. Setelah faham, kita akan mudah untuk meluruskan mereka dan mengarahkan mereka kepada hal yang lebih benar. Melalui empati, kita tidak akan mudah men-cap jelek atau mengucilkan mereka di satu sisi, dan di sisi lain tanpa harus melebur menjadi homoseksual juga. Begitu juga dapat diterapkan dalam dakwah terhadap kelompok-kelompok yang lain.

Mungkin demikian yang bisa saya gambarkan. Saya sendiri masih perlu belajar banyak untuk dapat berempati, karena menurut sebagian orang kadang saya masih suka berpikiran picik, hehe. Sebelum tulisan ini diakhiri, inti dari artikel ini mungkin dapat terwakili oleh Al Qur’an Surat Al Maa’idah ayat 5 berikut ini :

“.....Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”

Wallahu’alam bisshowab.



Daftar Pustaka :
Cikara, M., Bruneau, E.G., & Saxe, R.R. (2011). Us and them : intergroup failures of empathy. Current Directions in Psychological Science, 20 (3), 149-153.
Taufik (2012). Empati, pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Yabar, Y. & Hess, U. (2007). Display of empathy and perception of outgroup members. New Zealand Journal of Psyhology, 36 (1), 42-49.


Sabtu, 30 Maret 2013

Terpuruknya Partai Islam di Indonesia


Menjelang tahun politik Pemilu 2014 mendatang, semakin banyak lembaga survey yang melakukan polling ataupun jajak pendapat mengenai siapa saja capres yang potensial terpilih tahun depan dan juga parpol-parpol mana saja yang akan menguasai parlemen. Hampir semua hasil survey menunjukkan penurunan elektabilitas yang sangat signifikan yang dialami oleh parpol-parpol Islam. Seperti hasil survey Lembaga Survey Nasional (LSN) yang tidak menempatkan satu pun parpol Islam dalam 5 besar. Sementara Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan perolehan suara partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, dan PPP jeblok, masing-masing hanya di bawah 5 persen. Kedua lembaga survey tersebut menunjukkan hasil yang hampir mirip, dengan dominasi Golkar dan PDI P yang masih berada di dua besar.



Penurunan suara yang sangat drastis dari partai-partai bernuansa Islam ini tentu menjadi ironi tersendiri. Hal ini mengingat bagaimana dulunya partai Islam pernah berjaya di negeri ini, seperti di Pemilu 1955 yang dikuasai oleh Masyumi dan NU. Demikian pula pada Pemilu pertama pasca-Reformasi tahun 1999, yang menunjukkan jumlah suara yang sangat besar yang diperoleh oleh PAN, PKB, dan juga PBB. Patut diingat pula, saat ini di negara-negara Islam tengah terjadi ‘Arab Spring’ atau revolusi besar-besaran di mana partai-partai Islam yang dulunya kurang diperhitungkan, berhasil memenangkan pemilu di Mesir, Tunisia, Libya, hingga Turki. Ada apa dengan partai-partai Islam di Indonesia?

Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya elektabilitas parpol Islam di Indonesia :
1.   Tidak memiliki media massa yang besar
Sudah banyak hasil penelitian dan teori yang menyatakan bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk opini masyarakat. Dalam 5 besar kebanyakan hasil survey untuk perolehan suara Pemilu 2014, partai Nasdem, Hanura, dan Golkar selalu masuk. Nasdem dan Golkar diketuai oleh pemilik 2 stasiun televisi berita terbesar di Indonesia, sementara Hanura kini didukung oleh bos sebuah grup media raksasa yang membawahi 3 stasiun televisi dan sejumlah koran nasional sekaligus. Tak heran jika mereka bias menggiring para pemirsa dan pembacanya untuk mendukung mereka atau setidaknya memandang positif partai mereka. Sementara partai-partai Islam tidak ada yang memiliki sumber daya informational power semacam ini. Yang ada justru sebaliknya, pada akhirnya partai-partai Islam kebanyakan hanya menjadi sasaran pencitraan negatif, yang akhirnya membuat masyarakat menutup mata terhadap mereka.

2.  Dipandang bertopeng
Ya, masyarakat saat ini menganggap bahwa ‘Islam’ yang diusung oleh parpol-parpol Islam tersebut hanyalah digunakan sebagai topeng belaka. Publik memandang para petinggi dari parpol-parpol tersebut kebanyakan sudah berperilaku yang tidak Islami, atau dengan kata lain dianggap munafik. Ini bukan pendapat saya lho ya, tapi kenyataannya masyarakat sekarang ini memang sudah memiliki mind-set seperti itu. Pada akhirnya, masyarakat menjadi kurang bersimpati terhadap parpol-parpol ini. Apalagi setelah berbagai kasus korupsi yang turut menyeret anggota-anggota bahkan ketua dari sejumlah parpol Islam ini, membuat kepercayaan publik makin menurun. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung lebih menyukai figur-figur yang dianggap ‘apa adanya’, seperti Jokowi atau Dahlan Iskan misalnya, yang celakanya juga tidak dimiliki oleh PKS, PKB, PAN, ataupun PPP. Mungkin ada, atau bahkan banyak, tapi sayangnya mereka kurang menonjol.

3.   Islam dianggap tak bisa memberi solusi
Mungkin inilah penyebab utama menurunnya suara parpol Islam di Indonesia. Kemenangan partai-partai Islam di Timur Tengah dewasa ini umumnya disebabkan oleh sudah jenuhnya masyarakat di sana dengan sistem pemerintahan diktator serta kebijakan ekonomi kapitalis dan liberal yang dianggap kurang mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Sehingga, mereka mulai menyadari kembali bahwa Islam adalah solusi terbaik, sebagaimana yang telah mereka rasakan di masa kejayaan Islam dahulu, yang kemudian mengantarkan masyarakat di negara-negara tersebut untuk memilih partai Islam. Nah, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Masyarakat di sini merasakan bahwa berbagai organisasi Islam yang ada, termasuk parpol-parpolnya, kurang peduli dengan kesejahteraan rakyat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan, menganggap parpol-parpol Islam tersebut kurang melakukan tindakan nyata dalam membantu menaikkan taraf hidup mereka. Akhirnya, dalam setiap pemilihan umum, termasuk pemilukada, rakyat tidak lagi melihat yang mereka pilih itu beragama apa, berideologi apa, yang penting bisa menjamin isi perut saja.

Sebenarnya, asalkan berbagai partai politik Islam yang ada mampu membuktikan kesungguhan mereka, baik dalam ber-Islam maupun dalam menunjukkan kepedulian pada rakyat, ketiga faktor di atas bisa tidak berlaku dan parpol Islam mampu meraih kemenangan. Contohnya adalah yang terjadi di pemilukada gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara 2013 yang lalu. Meskipun sebelumnya berbagai media massa demikian gencarnya mencitrakan PKS secara negatif pasca ditahannya presiden mereka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi, namun pada kenyataannya cagub yang diusung partai berlambang bulan sabit kembar ini mampu tampil sebagai pemenang. Faktor incumbent bisa dikesampingkan mengingat Fauzi Bowo sebagai incumbent bisa kalah dalam pilgub DKI. Ini menunjukkan Ahmad Heryawan dan Gatot Pujo Nugroho mampu membuktikan bahwa mereka telah dipercaya oleh rakyat Jabar dan Sumut. Faktor personal lebih berpengaruh dalam pilkada? Begini, baik Aher maupun Gatot, sekalipun keduanya melepaskan atribut PKS-nya, tetap saja mereka dalam hal ini membawa nafas pemerintahan yang Islami. Kesimpulannya, asalkan ada bukti, maka rakyat pun dapat percaya kepada Islam. Bukti itulah yang patut ditunggu dari partai-partai Islam, menjelang semakin dekatnya Pemilu 2014.

Rabu, 27 Februari 2013

Ketika Televisi Berhijab




Kemunculan wanita-wanita berhijab atau berjilbab makin marak di layar televisi. Entah itu, dalam film, sinetron, reality show, atau bahkan acara musik. Fenomena ini sering membuat para penonton kemudian spontan mengatakan “wah, sekarang makin banyak yang pake jilbab ya, subhanallah,” atau semacam itu.

Padahal, sebenarnya fenomena makin banyaknya kaum hawa, khususnya yang muslimah mengenakan jilbab, bukanlah hal yang luar biasa di luar media massa. Dalam kehidupan sehari-hari, saya, atau mungkin juga kita semua dapat merasakan hal tersebut. Semenjak kuliah S1 hingga sekarang di program Master , kalau saya hitung-hitung jumlah teman sekelas saya yang wanita yang mengenakan jilbab cenderung lebih dominan, bisa dibilang di atas 60 %. Patut dicatat, itu adalah Universitas Negeri umum (non-agama) dan saya kuliah di fakultas psikologi, yang mayoritas mahasiswanya adalah mahasiswi a.k.a berjenis kelamin perempuan. Bukan hanya di fakultas saya, di fakultas-fakultas lain bahkan di perguruan tinggi lain saya juga melihat fenomena yang sama. Begitu pula di sekolah-sekolah SMA seperti di sekolahannya adik dan keponakan-keponakan saya. Begitu pun di tempat saya bekerja di berbagai organisasi dan lembaga sosial.

Jadi, sekali lagi sebenarnya bukanlah hal yang aneh kalau seorang wanita Indonesia sekarang mengenakan jilbab. Oleh karena itu saya merasa heran kalau hal itu menjadi aneh ketika kita melihatnya di televisi. Seperti misalnya ketika Fatin, seorang peserta ajang pencarian bakat di salah satu stasiun televisi swasta yang mengenakan jilbab, dikomentari oleh jurinya “kamu sebaiknya ngaji saja.” Padahal, hijab yang dikenakan Fatin sebenarnya dalam Islam pun masih hijab yang biasa saja. Bagaimana lagi komentar juri kalau yang dikenakan Fatin adalah hijab yang lebar ala akhwat-akhwat aktivis dakwah itu? Padahal, hijab yang lebar itu pun sudah banyak sekali yang mengenakan.

Hal ini pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya : kalau begitu ini yang aneh televisinya atau para wanita yang mengenakan jilbab itu? Silahkan anda jawab sendiri.

Kamis, 31 Januari 2013

Mau Berdakwah? Bukan di Sini Tempatnya!




Kemenangan partai Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina, Partai Islam di Turki, hingga Ahamdinejad di Iran, sejatinya membawa angin segar bagi kebangkitan Islam di dunia. Penegakan nilai-nilai Islam dan dakwah, akan menjadi lebih mudah dengan berada di lingkup kepemimpinan. Negara-negara tersebut di atas telah membuktikannya. Dampak positif mulai dirasakan. Turki kini berkembang semakin maju justru setelah nilai-nilai sekuler makin tergerus dan rakyatnya mulai kembali pada Islam. Demikian pula Palestina, yang akhirnya berhasil memerdekakan dirinya dan mendapat pengakuan PBB, setelah berpuluh tahun lamanya terjajah oleh kezaliman Israel. Padahal dulu mereka punya tokoh perdamaian semodel Yasser Arafat, tapi nyatanya model pendekatan kompromistis yang diterapkannya kurang berhasil.

Namun, segala fenomena di atas nampaknya tidak berlaku di Indonesia. Di Negara ini, ada satu partai yang dikenal sebagai partai dakwah. Saya mempercayainya, dan juga percaya bahwa mereka bersih, karena saya kenal dekat dengan sejumlah kadernya dan mengetahui seperti apa sistem kaderisasi serta konsep politik mereka. Tapi, jujur, dari dulu saya sangat kasihan sama partai yang satu ini. Mereka selalu difitnah. Bukan sering, tapi selalu. Mereka senantiasa dictrakan buruk oleh media massa, hampir semua media malah. Di partai-partai lain, kalau ada satu, dua, bahkan beberapa orang kadernya di legislatif atau di manapun yang tersangkut kasus korupsi, partainya dan juga kader-kader partai itu yang lain tidak akan terkena imbasnya. Namun, khusus untuk partai dakwah ini, jika ada satu saja (catet : satu!) kadernya yang tersangkut sebuah kasus, entah itu benar atau tidak tuduhannya, maka seluruh kader partai ini di seluruh Indonesia akan ikut jelek namanya. Saya gak tahu kenapa bisa begitu. Kasihan memang, ckckckck.

Di Indonesia ini, omongan artis akan lebih didengar daripada perkataan ahli agama. Media jauh lebih dipercaya daripada hukum sekalipun. Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju di Amerika atau Eropa, di mana masyarakatnya relatif lebih kritis terhadap media. Tak heran jika segencar apapun media di sana memfitnah Islam dengan isu terorisme, ekstrimisme, dan sebagainya itu, namun jumlah penduduknya yang beragama Islam dan yang masuk Islam terus meningkat tiap tahunnya.

Berdakwah di negara Republik Indonesia ini sepertinya malah lebih sulit daripada masa Rasulullah dulu. Bangsa Quraisy dulu tak mau mendengarkan, bahkan memerangi Rasulullah karena beliau mendakwahkan sesuatu yang betul-betul baru bagi mereka, sehingga agak wajar jika sulit bagi mereka untuk menerimanya. Namun, rakyat Indonesia mayoritas adalah Muslim, sudah memeluk Islam sejak lahir. Justru karena merasa sudah Islam itulah, kita jadi lebih sulit untuk didakwahi. Kita akan menjawab orang lain yang mengajarkan Islam kepada kita itu dengan “sok tahu!”, “saya sudah tahu itu dari dulu!”, “ah, fanatik kamu!”, “kalau beragama itu yang biasa-biasa aja lah”, “orang Islam kok kayak gitu”, dsb.dsb.

Sampai tulisan ini diangkat, ketua umum Partai dakwah yang saya sebutkan tadi sedang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus suap impor daging sapi. Entah yang bersangkutan betul-betul melakukan tindak pidana tersebut atau tidak, yang jelas saya hanya menyarankan agar partai itu bubar saja! Percuma, mayoritas masyarakat sulit untuk percaya lagi. Susah, karena bapak-ibu sekalian tidak punya media massa seperti sejumlah partai lain, jadi gak bisa mengarahkan opini publik. Sudahlah, ini Indonesia, bukan Mesir, Turki, apalagi Palestina. Saya haqqul yakin akan kekuasaan Allah SWT, dan sama sekali tidak suudzon kepadaNya. Namun, negara kita tercinta ini yang sepertinya memang tidak mau mendapat hidayah. Jadi, jika bapak-ibu sekalian mau berdakwah, maaf, bukan di sini tempatnya!

Kamis, 13 Desember 2012

Kiamat (Bukan) 2012




Tahun 2012 banyak diprediksikan sebagai akhir dari dunia alias kiamat. Mulai dari ramalan kalender suku Maya bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 20 -12 -2012. Kemudian ramalan akan terjadi bencana besar antara tanggal 12-12-2012 atau tanggal 21 Desembernya. Kemudian ada juga yang bilang, kalau bukan kiamat, maka antara tanggal 23-25 Desember akan terjadi peristiwa besar di mana planet-planet dan matahari dalam tata surya akan sejajar, dan ini dapat memicu bencana besar bahkan regenerasi besar-besaran umat manusia menjadi peradaban baru.

Ah, tapi dari semua ‘katanya’-‘katanya’ itu, kalau saya sih mikirnya satu aja : Allah SWT kan patokannya adalah kalender Hijriah, bukan Masehi. Semenjak tanggal 9-9-1999 yang juga dikira kiamat itu, tiap tahunnya kita selalu mengamati tanggal-tanggal unik tertentu, seperti 01-01-2001 dan seterusnya. Kita, umat Muslim, ikut terjebak oleh pola pikir global bahwa segala sesuatu peristiwa besar akan merunut ataupun menurut pada pola penanggalan Masehi.

Padahal, Sang Pencipta Bumi ini sendiri dalam menentukan bagaimana sesuatu akan terjadi, sejatinya tidak berpedoman pada kalender yang berdasarkan revolusi bumi dan itu, dan lebih berdasarkan kalender Hijriah atau Qomariah. Contohnya, bagaimana peristiwa pembebasan Makkah dan turunnya Al Qur’an ditentukan terjadi di bulan Ramadhan. Kemudian pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah ditentukan terjadi di bulan Sya’ban. Dulu, pada bulan Muharram dan Rajab juga ditentukan larangan berperang. Dari dulu, yang namanya Idul Fitri itu tanggalnya 1 Syawal, bukan 14 atau 15 Agustus! Kita tiap tahun nentukan tanggal 1 Syawal itu persisnya tanggal berapa aja susah amat dan banyak perdebatan, ini kok bisa-bisanya nentukan kiamat kapan.

Lagian, percaya sama ramalan suku Maya. Para ahli Astronomi, Antropolog, Arkeolog yang notabene non-Muslim saja sudah ramai-ramai membantah teori itu, kita kok malah percaya. Gak mau pergi ke dukun kampung sebelah, tapi percaya sama ramalan suku nun jauh di sana dan sudah zaman dahulu kala. Sama aja musyriknya, cing!

Satu lagi, kita nampaknya terlalu berfokus pada kapan kiamat itu terjadi, namun lupa pada bagaimana menghadapi kiamat tersebut. Mau kiamat kapan aja, yang terpenting kan kita sudah siap, membawa bekal ke akhirat. Alah, gak usah kiamat juga, kita toh juga gak tahu bakal mati kapan. Saya jadi ingat kata bang Deddy Mizwar di film ‘Kiamat Sudah Dekat’ : “Yang pasti kiamat itu makin dekat, gak mungkin makin jauh.”


"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS.Luqman:34)

Kamis, 12 Juli 2012

Piala Akhirat



Kita belum lama melewati sebuah gelaran pesta sepakbola yang cukup gegap gempita, yaitu Piala Eropa 2012. Sebagaimana sebuah turnamen sepakbola kelas dunia, hampir semua orang di dunia – bahkan yang biasanya kurang menggemari sepakbola sekalipun – begitu antusias menonton dan mengikuti perkembangan turnamen ini. Meski pagi harinya harus bekerja di kantor atau membuka usaha, orang-orang rela bergadang pada dini hari demi menonton turnamen ini, hingga akhirnya bekerja sambil mengantuk-ngantuk.

Begitu gelaran Euro 2012 itu usai, orang-orang kembali beraktivitas normal seperti sedia kala. Namun, tanpa sadar – atau sengaja tidak menyadari – kita sebenarnya akan menghadapi sebuah kompetisi yang jauh lebih besar, yang tidak ada bandingannya dibanding Euro atau bahkan Piala Dunia dan Olimpiade sekalipun. Turnamen itu bernama bulan Ramadhan, atau saya menyebutnya sebagai ‘Piala Akhirat’.

Piala Akhirat? Ya, memang seperti itulah bulan Ramadhan. Apabila Piala Dunia atau Piala Eropa hanya diikuti segelintir orang saja, maka kita semua yang beragama Islam tanpa terkecuali bakal terlibat dan turut berkompetisi dalam Piala Akhirat ini. Apabila dalam Piala Dunia atau Piala Eropa kita mungkin gak ‘kecipratan’ hadiah, honor, serta doorprize yang diterima oleh para peserta dan juga juaranya, maka dalam Piala Akhirat ini, kita bisa turut kebagian hadiahnya! Padahal hadiah yang ditawarkan dalam Piala Akhirat ini amat sangat jauh lebih besar daripada hadiah yang diperoleh oleh juara Piala Dunia. Apa nggak asyik tuh?!

Hadiah yang diterima oleh Spanyol ketika menjuarai Piala Dunia 2010 adalah sebesar total 30 juta U.S dollar (Rp 271 Miliar), sementara tiap pemainnya masing-masing mendapat bonus tambahan hampir sebesar Rp 7 Miliar. Bandingkan dengan hadiah yang bakal kita terima, dengan ‘hanya’ sekedar turut berkompetisi dalam Piala Akhirat ini. Misalnya, ketika kita makan sahur. Dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa di dalam sahur itu terdapat keberkahan, dan Allah serta para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur. Kita diperhatikan sama Allah dan malaikat aja itu berarti kita bakalan dikasih apa aja yang kita minta, apalagi ini kita dishalawatin! Begitu pula ketika kita berbuka. Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda : Allah Azza wa Jalla berfirman, “Hamba-hambaKu yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa” (HR. Tirmidzi).

Sejatinya, bulan Ramadhan memang sebuah kompetisi. Sebagaimana tugas manusia di dunia untuk fastabiqul khairat alias berlomba-lomba dalam kebaikan (QS.2:148), maka demikian pula dengan berpuasa dan beribadah dalam bulan Ramadhan ini. Kualitas antara satu orang dengan orang lainnya dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan akan berbeda, dan itu akan turut menentukan sejauh mana mereka melangkah di bulan suci ini dan sebesar apa ganjaran yang akan mereka dapatkan. Mereka yang ‘menang’ akan berbahagia di hari raya Idul Fitri yang juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Ini mirip seperti Piala Dunia atau Piala Eropa yang kompetisinya bertahap mulai dari babak kualifikasi, fase grup, perempatfinal, semifinal, hingga grand final.

Bulan Rajab dan Sya’ban boleh dibilang sebagai ‘babak kualifikasi’. Mereka yang gembira menyambut datangnya Ramadhan, diharamkan oleh Allah jasadnya menyentuh api neraka (HR.Nasa’i). Mereka pula lah yang lebih berpeluang untuk dapat menempuh Ramadhan secara khusyu’ dan berhasil. Seseorang yang dalam puasanya tidak mampu menahan amarah dan nafsunya, maka tidak ada yang didapatkannya melainkan hanya lapar dan haus (HR.Ahmad). Namun bagi mereka yang berhasil menahan nafsu dan syahwatnya di bulan puasa, maka mereka akan digolongkan sebagai orang-orang bertakwa (QS.2:183). Mereka itulah ibaratnya orang-orang yang akan melaju ke fase knock out (perempatfinal dst).

Motivasi seseorang seringkali menurun pada hari-hari terakhir Ramadhan. Padahal, justru pada 10 hari terakhir itulah Allah SWT Menurunkan sebanyak-banyaknya pahala, rahmat, dan ampunan, bahkan lebih besar dari hari-hari lain sepanjang tahun. Di sinilah pula terdapat malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Maka dari itu kemudian kita dianjurkan untuk beriktikaf di masjid, memperbanyak shalat malam dan membaca Al Qur’an. Nah, orang-orang yang melakukan iktikaf dan berbagai ibadah di akhir-akhir Ramadhan inilah mereka yang lolos ke partai final. Sementara mereka yang 10 hari terakhir lebih rajin belanja dan ke mall, ya boleh dibilang cuma sampai perempatfinal aja deh.

Terus, tropi juaranya? Kalau Piala Dunia dan Eropa tropinya hanya ada satu, maka untuk Piala Akhirat ini tidak tanggung-tanggung, Allah Azza wa Jalla Menyediakan sebanyak-banyaknya tropi sampai tak terhingga jumlahnya! Dengan demikian, berarti sebenarnya kita semua, tanpa terkecuali, berpeluang untuk memboyong Piala Akhirat tersebut dan mendapat ‘hadiah-hadiah tambahan’ lain yang tak ternilai di hari akhir kelak. So, masih tidak tertarik untuk ikut berlaga?

Selasa, 08 November 2011

5 Pelatih Muslim Sepakbola Eropa


Soal siapa-siapa saja pemain sepakbola Eropa yang beragama Islam, sudah banyak sekali yang membahas. Kita jadi sering lupa, barangkali ada juga pelatih atau manager tim sepakbola asal Eropa yang beragama Islam, dan memiliki reputasi yang tidak kalah mentereng dibanding para pemain tadi. Ini dia di antaranya :

1. Kurban Berdyev (Russia / Turkmenistan)

Sempat membuat heboh ketika berhasil membawa timnya, Rubin Kazan (klub Russia yang tidak terkenal), menang 2-1 atas Barcelona (yang disebut-sebut sebagai tim terbaik di dunia saat ini) di Camp Nou pada fase grup Liga Champions Eropa 2009/2010 yang lalu. Pelatih kelahiran Asghabat, 25 Agustus 1952 ini melatih Rubin Kazan sejak 2001 ketika tim itu masih di divisi 1. Berdyev kemudian membawa Rubin promosi ke Divisi Utama musim berikutnya dan memberi gelar liga pertama dalam sejarah klub tersebut pada 2008. Berdyev yang saat ini juga menjabat sebagai wakil presiden di klub tersebut, memiliki kebiasaan selalu membawa tasbih tiap kali melatih dan nampak berdzikir di pinggir lapangan. “Ini bukan semacam tradisi atau ritual, ini adalah kebutuhan. Saya pernah lupa tidak membawa tasbih, dan sepanjang pertandingan saya begitu gelisah, seperti kehilangan sesuatu. Jadi, ini adalah sebuah kebutuhan bagi saya, dan Muslim pasti akan mengerti itu,” ujar Berdyev suatu ketika.

2. Fatih Terim (Turki)


Satu-satunya pelatih beragama Islam yang pernah menangani klub serie A Italia. Terim melatih Fiorentina pada musim 2000/2001 dan AC Milan pada musim berikutnya. Meski berhasil membawa Fiorentina melaju ke final Coppa Italia, namun karirnya di tanah spaghetti hanya bertahan selama 1,5 musim, sebelum kembali ke Galatasaray. Galatasaray sendiri sebelumnya pernah dia bawa menjadi klub Turki pertama dan satu-satunya yang pernah menjuarai kejuaraan antar klub Eropa, tepatnya ketika mengalahkan Arsenal melalui adu penalti di final Piala UEFA 1999/2000. Pelatih yang sempat diisukan akan melatih timnas Indonesia ini juga sukses dua kali membawa Turki ke putaran final Piala Eropa 1996 dan 2008. Pada Euro 2008 itu, Turki dibuatnya menjadi tim bermental juara yang berkali-kali melakukan comeback (membalikkan keadaan setelah sempat tertinggal), dalam perjalanan menuju semifinal. 

3. Philippe Troussier (Prancis)


Mantan pelatih timnas Qatar di Piala Asia 2004 ketika dikalahkan Indonesia 1-2 ini masuk Islam pada tahun 2006, di saat dia melatih timnas Maroko. Philippe bersyahadat bersama dengan istrinya, Dominique, dan kemudian pasangan ini mengadopsi dua anak dari Maroko, Selma dan Mariam. Troussier sendiri memberi nama ‘Omar’ di tengah namanya. Pria kelahiran Paris yang kini melatih Shenzen Ruby di League One China ini pernah membawa Afrika Selatan lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya pada 1998. Dia dijuluki ‘White Whitch Doctor’ karena kesuksesannya ketika menangani sejumlah klub dan timnas di Afrika. Selain itu juga sempat membawa timnas Jepang menjuarai Piala Asia 2000. 

4. Bruno Metsu (Prancis)


Pelatih yang sukses membawa Senegal membuat kejutan dengan melaju ke perempat final Piala Dunia 2002 ini masuk Islam pada 24 Maret 2002, dan mengganti namanya menjadi Abdul Karim. Metsu tak pernah mempublikasikan alasannya masuk Islam, karena baginya itu adalah privasi. Mengawali karir di sejumlah klub di Liga Prancis, pelatih kelahiran tahun 1954 ini kemudian malang melintang di berbagai liga di Timur Tengah hingga sekarang. Prestasinya antara lain adalah membawa klub UEA, Al Ain, menjuarai Liga Champions Asia 2002/2003. 

5. Senol Gunes (Turki)

Namanya mulai dikenal ketika membawa timnas Turki menjadi juara 3 Piala Dunia 2002. Belum lama dia juga membawa klubnya, Trabzonspor, mempermalukan raksasa Italia, Inter Milan 2-1 di San Siro pada matchday 1 Liga Champions Eropa 2011/2012. Selain melatih di Turki, Gunes juga pernah menangani FC Seoul di liga Korea, dan sempat bersua Sriwijaya FC pada liga Champions Asia tahun 2009. Saat menjadi pemain, Gunes dikenal sebagai kiper andalan timnas Turki dan sempat meraih 6 kali juara Super Lig Turki. Sementara sebagai pelatih, dia pernah menjuarai Piala Turki dua kali bersama Trabzonspor pada 1995 dan 2010.