Fenomena religiusitas dalam kehidupan manusia dewasa ini
mempunyai dua kutub. Di satu sisi, terdapat banyak kalangan yang semakin religius,
sementara di sisi lain banyak yang makin meragukan agama ataupun malas
menjalankannya.
Orang-orang merasa malas menjalankan perintah agamanya, atau tidak
tertarik pada ajaran dan nilai-nilai agamanya, tentu memiliki alasan
tersendiri. Karakter pribadi yang memang seorang pemalas, memang banyak menjadi
alasan. Faktor seperti karakter dan kepribadian bisa disebut sabagai faktor
internal yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang. Namun, terdapat pula
faktor eksternal, di antaranya adalah faktor sosial. Faktor sosial inilah yang
semakin dominan dalam mempengaruhi tingkat religiusitas seorang individu dalam
tipikal masyarakat yang ada di era ini.
Di antara faktor sosial yang ada, antara lain menyangkut bagaimana
individu yang bersangkutan melihat model dari orang-orang shaleh dan juga
orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
Beberapa tahun belakangan, banyak
sekali kita menyaksikan (baik itu dari media massa, internet, maupun dari
lingkungan dekat kita) orang-orang yang kita anggap menguasai ilmu agama, rajin
ibadah, bahkan bisa kita sebut sebagai ustad atau kiyai, ternyata melakukan hal-hal
yang itu jelas merupakan tindak kriminal dan juga dilarang agama. Banyak ustad
yang diisukan melakukan pelecehan seksual. Ada beberapa ustad yang diduga
melakukan penipuan. Ada seorang ketua partai yang kita kenal sangat Islami,
ditangkap oleh KPK dengan tuduhan menerima suap. Terakhir, bahkan seorang
menteri agama, juga terindikasi melakukan korupsi.
Orang-orang yang melihat kasus-kasus tersebut, merasa prihatin. Sayangnya,
banyak di antara orang-orang yang prihatin tersebut, kemudian menjadi tidak
tertarik juga kepada Islam, bahkan tidak sedikit yang jadi menjauhi ajaran
Islam. Alasan yang kerap terlontar adalah “ustad,
kiyai aja kelakukannya kayak gitu, sama aja. gw mah yang penting cukup baik
sama orang aja, gak usah tinggi-tinggi ngejalanin agama.” Dengan kata lain,
orang menjadi berpikir bahwa jikalau orang yang nampak taat beragama saja bisa
berbuat negatif, lantas untuk apa kita juga taat beragama? Toh yang penting kan
berbuat baik saja, ntar juga masuk surga.
Eitttsss…
Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah salah kaprah yang fatal. “Beribadah adalah urusan masing-masing dengan
Allah” oke, itu benar. Jadi, soal bagaimana orang-orang yang kita pandang
sebagai ustad atau kiyai itu berperilaku buruk, itu adalah urusan mereka dengan
Tuhan. Perkara Anda menganggap itu perbuatan yang salah, keliru, munafik, dsb.,
silahkan. Tetapi kemudian apabila mereka ‘seperti itu’, apakah lantas itu
mempengaruhi keberagamaan Anda? Dalam hal ibadah, Anda adalah Anda, mereka
adalah mereka, kita adalah kita. Tugas kita antar sesama manusia dalam hal
ibadah hanyalah saling mengingatkan dan mungkin mengajarkan. Ini baru satu hal.
Kedua, perkara mereka mungkin sudah rajin beribadah, pengetahuan agamanya
luas, namun masih memiliki beberapa perilaku negatif, itu bukan salah Islam.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk korupsi, tidak menghargai wanita, berperilaku
munafik, melakukan tindak kekerasan, atau perbuatan-perbuatan lain yang
merugikan orang lain. Sama sekali tidak. Shalat sejatinya mendorong perbuatan
ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan munkar. Puasa sejatinya melatih orang
untuk mengendalikan diri. Ibadah haji sejatinya membentuk orang menjadi lebih
bijak dalam berperilaku. Apabila ada orang yang sudah rajin shalat, ngaji,
rajin puasa sunnah, atau sudah haji tapi kok tidak ada dampak kepada perilaku
sosialnya, maka kekhusyukan dan pemaknaan mereka terhadap ibadah yang mereka jalankan
itu patut dipertanyakan.
Ada juga pendapat yang sering muncul “makin paham seseorang tentang aturan
agama, makin pandai pula dia mengakalinya.” Pendapat ini mungkin ada benarnya,
tapi juga tidak bisa sepenuhnya disetujui. Sekali lagi, itu berpulang pada
orangnya masing-masing. Kalau memang yang bersangkutan sudah punya niat yang
salah, ya penyimpangan itulah yang akan mereka lakukan. Tapi banyak juga yang
ilmu agamanya luas, dan perilakunya pun makin bijak. Kelompok yang niatnya
keliru tadi, bisa jadi disebabkan banyak faktor samping : motivasi ekonomi,
adanya kesempatan, tipe kepribadian, kepentingan politik, dll. Jadi, sama
sekali bukan disebabkan oleh pengetahuan agama itu sendiri. Karena, lagi-lagi,
agama sama sekali tidak mengajarkan perilaku menyimpang tersebut.
Jadi, kesimpulannya adalah : apapun yang dilakukan orang-orang yang kita
anggap taat itu, biarin aja! Kalau kita mau beribadah ya beribadah aja. Kalau
kita mau memperdalam agama, ya belajarlah. Udah, itu aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar