Halaman

Jumat, 25 Oktober 2013

Jangan Ganggu Jokowi

Bukan #Pro Jokowi, yang pro sudah banyak banget.
Bukan #Anti Jokowi, yang anti juga sudah banyak.
Ini semua hanyalah opini semata.


Figur yang paling populer di Indonesia saat ini mungkin adalah Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi. Beliau boleh dibilang sebagai seorang birokrat, politisi, pengusaha, tapi artis juga, mengingat sedemikian populernya beliau di mata masyarakat Indonesia. Saya pribadi pun mengakui bahwa Jokowi adalah orang yang merakyat, ramah, apa adanya, dan InsyaAllah bersih. Saya pikir wajar apabila banyak orang yang menginginkan beliau menjadi the next President of Indonesia. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan itu. Yang saya khawatirkan adalah justru orang-orang yang ada di sekitar beliau ataupun mencoba mengambil keuntungan dari kepopulerannya. Ketika kebanyakan politisi yang biasanya punya motivasi tertentu dalam setiap tindakannya, kemudian mendukung Jokowi – sekalipun berbeda parpol, tentu ada udang di balik batu. Begitu pula bagaimana Jokowi bisa menjadi ‘media darling’, terus-menerus diekspos secara positif oleh media massa maupun elektronik. Sudah menjadi rahasia umum kalau media-media massa di Indonesia kebanyakan dimiliki oleh sekelompok orang yang punya kepentingan baik politis maupun ekonomi. Tentu mereka tidak akan begitu saja mem-blow up seseorang sebegitu rupa, sementara biasanya mereka begitu mudah mengkritik pejabat publik.

Mengutip kata budayawan Emha Ainun Nadjib, salah satu karakter orang Indonesia adalah ‘gumunan’. Tiap ada publik figur yang diekspos terus-menerus di media, maka orang yang bersangkutan otomatis akan menjadi pusat perhatian dan topik perbincangan masyarakat. Kalau yang bersangkutan kontroversial ataupun hanya cari sensasi, justru makin laku menjadi bintang di berbagai program tv, dan masyarakat tetap sumringah tiap kali ketemu hingga minta foto bersama. Apalagi, yang dicitrakan positif seperti Jokowi. Saya pribadi bingung, tiap kali di sosial media ada orang yang mengkritik Jokowi sedikit saja, maka langsung saja banyak orang yang mem-bushing orang tersebut, memberikan komentar tidak setuju dengan nada sinis, dan sebagainya. Seolah-olah Jokowi itu tidak boleh disalahkan atau bahkan sekedar dikritik. Saya sama sekali tidak melarang atau menyalahkan orang yang mengidolai atau memuja seorang publik figur. Saya pun juga mengidolai beberapa tokoh. Tapi, tetap harus proporsional dan pada tempatnya. Bukankah bila kita ‘sayang’ pada seseorang, kita menginginkan dia menjadi baik? Jokowi, atau siapapun itu, juga manusia biasa yang kadang bisa lupa dan khilaf, dan kita punya hak untuk mengingatkan beliau agar bisa bekerja lebih baik lagi.

Seseorang dengan kepribadian easy going seperti Jokowi, juga tetap memiliki batas resistensi diri atau daya tahan terhadap stressor. Harapan yang terlalu besar dari masyarakat terhadap Jokowi justru bisa menjadi bumerang, baik bagi Jokowi sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan, seorang manusia biasa diharapkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang super kompleks yang telah menjangkiti Indonesia sekarang ini. Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa dirinya bukanlah dewa. Harapan yang teramat besar dari rakyat tersebut tentu dapat menjadi beban luar biasa di pundak beliau, sehingga dikhawatirkan pekerjaannya tidak dapat maksimal (apalagi pekerjaannya adalah menyelesaikan berbagai masalah besar dalam sebuah negara yang besar), dan ini juga tidak akan bagus bagi Indonesia sendiri. Apalagi, saat ini Jokowi baru 1 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI. Kalau kita tergesa-gesa mendorongnya maju sebagai capres di 2014, tentu tugas di DKI akan menjadi ‘unfinished business’ baginya dan juga bagi Jakarta. Ketika berbagai persoalan di ibukota belum rampung digarap, bahkan beberapa planning-nya saja masih dalam proses, apakah harus kemudian Jokowi sekonyong-konyong dinaikkan untuk merampungkan persoalan yang lebih besar dan berskala Nasional? Apakah seorang murid kelas 2 SMA yang sedang memulai mengerjakan PR-nya tiba-tiba kita suruh menyelesaikan tugas kuliah semester 3?


Ketika Jokowi memutuskan maju sebagai calon Gubernur DKI, ketika itu masa jabatannya sebagai walikota Solo sudah memasuki periode kedua tahun kedua, dan berbagai pekerjaannya sudah berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pada saat itu Solo sudah bisa beliau tinggalkan, dan penerusnya (FX Hadi Rudyatmo) tinggal meneruskan serta menyempurnakan saja apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi. Maka, alangkah bijaknya apabila sekarang kita beri kesempatan kepada Jokowi untuk menyelesaikan dulu tugas-tugasnya di DKI, baru nanti mungkin pada Pemilu 2019 bisa kita lihat apakah beliau siap untuk menjadi calon presiden. Jadi, jika anda memang suka pada Jokowi dan cinta kepada Indonesia, maka untuk saat ini, jangan ganggu Jokowi!