Halaman

Kamis, 04 Desember 2014

Agama Itu Tidak Penting

Terdapat semacam mindset umum di dalam masyarakat, mengenai konsep ‘orang baik’. Syarat mutlak agar seseorang dapat dianggap baik adalah TIDAK MUNAFIK. Orang-orang jaman sekarang tidak lagi peduli apakah yang bersangkutan itu seorang yang berpenampilan tidak layak, ataukah orang yang tidak sopan, selama dia jujur, orang akan respek. Tidak peduli apakah dia seorang preman atau seorang asusila, yang penting dia jujur.
Di satu sisi, cara berpikir seperti ini ada positifnya. Kita menjadi tidak mudah menilai orang hanya dari penampilannya saja. Ibaratnya, pepatah “don’t judge a book from its cover” sekarang sudah banyak yang mampu mengamalkannya. Itu bagus. Namun di sisi lain, adanya semacam syarat mutlak ini menyebabkan orang menjadi – sebaliknya - otomatis berpandangan negatif terhadap siapapun yang munafik ataupun yang dianggap munafik.
Akibatnya, banyak kita saksikan bagaimana banyak orang yang dipandang alim ataupun para ulama, ustad, ahli agama, begitu sekalinya mereka dianggap munafik oleh masyarakat, maka seketika itu juga hancurlah citra mereka. Tidak cuma itu. Orang-orang agamis semacam itu juga menjadi seolah-olah ‘dilarang’ untuk berbuat salah barang sedikit saja. Padahal, toh mereka juga manusia biasa yang bisa salah dan lupa.
Oke, saya sangat sepakat bahwa kita tidak boleh begitu saja memandang negatif orang yang berpenampilan dan berkelakuan preman, atau yang tidak pernah beribadah dan nggak paham agama. Karena saya pun berpandangan bahwa mereka tetap manusia, masih punya banyak kelebihan lain, apalagi jika mereka punya banyak amal dan punya habluminannas atau hati dan sikap yang baik terhadap orang lain.
Yang saya tidak suka adalah, bagaimana media-media massa sekarang, ataupun segolongan orang-orang di media sosial, berupaya membentuk opini yang tadi, yaitu bahwa “Tidak masalah dia nggak shalat, nggak pakai jilbab, nggak ngerti agama, yang penting dia jujur dan baik. Sebaliknya jika dia rajin beribadah dan menguasai agama, namun ada perilakunya yang tidak konsisten, maka dia adalah orang yang tidak baik. Titik.” Pembentukan cara berpikir masyarakat seperti ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan mindset bahwa Agama itu Tidak Penting.

Maka dari itu, di sini saya hendak menekankan mengenai sebuah konsep mengenai ‘Religiusitas’. Jadi, menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004), religiusitas itu meliputi 5 dimensi :
1.        Dimensi Keyakinan (Religious Belief). Meliputi tingkat keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, dan juga hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, berikut tingkat kepatuhannya terhadap hal-hal tersebut. Dalam islam, ini berkaitan dengan keimanan dan akidah.
2.        Dimensi Ibadah (Religious Practice). Meliputi frekuensi, intensitas, variasi, serta pemaknaan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya.
3.        Dimensi Pengalaman (Religious Feeling). Meliputi perasaan-perasaan atau emosi keagamaan yang dirasakan oleh seseorang, yang diperoleh dair peristiwa di sekelilingnya. Mencakup juga pengalaman-pengalaman khusus dan perubahan emosi religius yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
4.        Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge). Mencakup tingkat pengetahuan, penghafalan, serta pengetahuan seseorang mengenai ajaran agamanya, berikut usaha yang dilakukan untuk memperolehnya.
5.        Dimensi Konsekuensial (Religious Effect). Mencakup sejauh mana perilaku seseorang sehari-hari dan dalam kehidupan sosial dilandasi oleh agamanya. Dalam islam, dimensi ini dapat disamakan dengan akhlak atau kesalehan sosial.
Seorang individu bisa memiliki tingkat yang tinggi dalam satu dimensi, namun memiliki tingkatan yang rendah dalam dimensi lain. Misalnya, seseorang bisa jadi rajin beribadah (tinggi dalam dimensi ibadah-nya), namun sombong dan tidak suka bersedekah (rendah dalam dimensi konsekuensial). Bisa juga ada orang lain yang sangat menguasai pengetahuan tentang agama (tinggi dalam dimensi pengetahuan), namun hal itu justru membuat dia meragukan Tuhan (rendah dalam dimensi keyakinan). Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dapat disebut sebagai orang yang ‘relijius’ (atau versi saya, orang yang ‘baik’) adalah orang yang memenuhi lima dimensi di atas. Apabila salah satu saja dari kelima dimensi di atas tidak dimiliki oleh orang yang bersangkutan, maka dia tidak dapat dibilang ‘relijius’ atau ‘baik’.
Jadi, sebenarnya, orang yang tidak taat beragama namun baik hati, dengan orang yang taat beragama namun sedikit munafik, itu statusnya sama. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dan kurang bijak juga untuk memandang negatif keduanya, karena bagaimanapun untuk menjadi orang yang betul-betul relijius itu sulit (saya pribadi pun merasa belum bisa seperti itu).
Menjadi manusia yang sempurna itu mustahil, akan tetapi setidaknya kita sebagai manusia berupaya memenuhi kelima dimensi di atas walaupun mungkin masih dalam taraf yang rendah. Tapi setidaknya, melalui pemahaman tentang religiusitas ini (bisa Anda baca-baca lagi dari berbagai sumber), di satu sisi kita tidak mudah untuk men-judge orang lain buruk, dan di sisi lain kita tetap meyakini bahwa yang namanya Agama itu Penting.




referensi :
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2004). Psikologi islami. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Selasa, 30 September 2014

Matinya Politik Pencitraan


Pemilihan kepala daerah atau pilkada akhirnya resmi dikembalikan ke DPRD alias tidak lagi dipilih secara langsung. Banyak orang yang menyebut, baik melalui media maupun melalui berbagai aksi, bahwa keputusan yang diperoleh melalui hasil sidang paripurna DPR RI kamis (25/9) lalu ini adalah kematian bagi demokrasi. ‘RIP Demokrasi’. Begitu kira-kira judulnya. Benarkah demikian? Itu terserah pada Anda.
Yang jelas, saya juga melihat ada hal lain yang ikut ‘mati’ sebagai akibat dari RUU pilkada ini. Dia adalah ‘politik pencitraan’. Ya, politik pencitraan boleh dikatakan habis. ‘Mati’, dalam arti sebenarnya. Dan ini berlaku untuk kedua kubu, baik yang mendukung pilkada langsung (kubu koalisi PDIP), maupun pengusung pilkada lewat DPRD (Koalisi Merah Putih).
Saya betul-betul heran dan tak habis pikir dengan langkah-langkah yang diambil oleh KMP pasca kalah di pilpres. Bukannya menerima dengan legowo dan besar hati, mereka malah melakukan hal-hal yang justru bisa memperburuk citra mereka sendiri. Pertama-tama, mereka menggugat melalui MK. Sebenarnya ini mungkin sudah melalui mekanisme hukum yang benar, tapi tetap saja kesan yang ditangkap masyarakat, Prabowo dan partai-partai pengusungnya tidak mau menerima kekalahan.
Setelah gugatannya ditolak MK, mereka coba mencari cara lain untuk tetap punya kuasa. Yaitu dengan mencoba menggolkan pilkada via DPRD. Seharusnya mereka sudah tahu dan mampu memprediksi bahwa sikap ini akan membuat mereka dicap telah mencabut hak berpolitik rakyat dan justru akan banyak menimbulkan kongkalikong. Lagi-lagi, ini bisa berakibat fatal bagi suara KMP di 2019, karena amat sangat mungkin rakyat menjadi sudah tidak percaya lagi pada partai-partai di koalisi tersebut (dan gejala itu sudah nampak sedemikian rupa). Namun, toh mereka tetap bergeming. Ini, menunjukkan bahwa Prabowo dan para pendukungnya tidak lagi menganggap politik pencitraan sebagai sesuatu yang penting.
Ketika mengajukan ide pilkada via DPRD, kubu KMP sendiri beralasan bahwa pilkada secara langsung rawan dengan politik uang dan juga kental dengan politik pencitraan. Pernyataan ini sedikit banyak ada benarnya. Ketika hak memilih itu ada di tangan rakyat, maka strategi yang bisa diambil oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada, salah satu yang paing jitu adalah politik pencitraan. Dan ini sudah terbukti sukses. Khususnya dilakoni oleh para partai koalisi pendukung Jokowi. Taktik yang mereka mainkan sangat rapi untuk bisa mengambil hati masyarakat, untuk bisa menampilkan diri bahwa mereka memang berpihak pada rakyat (entah itu betul atau tidak). Dengan dihapuskannya pilkada secara langsung ini, maka praktis membuat partai-partai koalisi kotak-kotak tersebut tidak bisa lagi menggunakan strategi politik pencitraan ini.
Itulah yang saya katakan, ‘politik pencitraan’ telah mati, bagi kedua belah pihak. Lantas, sebenarnya manakah yang lebih tepat, pilkada langsung atau melalui DPRD? Sebenarnya untuk situasi saat ini, memang yang lebih pas adalah pilkada langsung. Saya pribadi pun termasuk pendukung pilkada langsung, walaupun pada pilpres lalu saya mendukung koalisi merah putih (saya terbuka saja ya). Namun, sebenarnya, semua berpulang pada kondisi mental bangsa Indonesia sendiri. Selama rakyat Indonesia masih banyak yang belum cerdas dalam berpolitik dan - inilah masalahnya - belum makmur, maka pilkada langsung memang akan rawan politik pencitraan dan masih dapat menimbulkan sejumlah masalah yang pada akhirnya melahirkan pemimpin berjiwa ‘idol’. Demikian pula, selama masih banyak orang pintar yang haus jabatan dan materi, serta orang kaya yang haus kekuasaan, serta politikus-politikus yang…..ya begitulah, maka pemilihan melalui DPRD tetap akan mengesampingkan kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya tak begitu masalah sistem pemilihan seperti apa yang diterapkan, semuanya berpulang pada mental rakyat Indonesia dan para elit politik sendiri. Selama mental rakyat dan elit baik, maka sistem apapun yang diterapkan bisa berlangsung secara ideal. Namun selama mental rakyat dan elit tetap seperti sekarang ini, maka sistem apapun yang diterapkan niscaya belum bisa menghasilkan the real good governance.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kamis, 07 Agustus 2014

KABAR GEMBIRA

Kabar Gembira!
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ Blog ini berubah tampilan! :p

Senin, 21 Juli 2014

Bukan Salah Islam

Fenomena religiusitas dalam kehidupan manusia dewasa ini mempunyai dua kutub. Di satu sisi, terdapat banyak kalangan yang semakin religius, sementara di sisi lain banyak yang makin meragukan agama ataupun malas menjalankannya.
Orang-orang merasa malas menjalankan perintah agamanya, atau tidak tertarik pada ajaran dan nilai-nilai agamanya, tentu memiliki alasan tersendiri. Karakter pribadi yang memang seorang pemalas, memang banyak menjadi alasan. Faktor seperti karakter dan kepribadian bisa disebut sabagai faktor internal yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang. Namun, terdapat pula faktor eksternal, di antaranya adalah faktor sosial. Faktor sosial inilah yang semakin dominan dalam mempengaruhi tingkat religiusitas seorang individu dalam tipikal masyarakat yang ada di era ini.
Di antara faktor sosial yang ada, antara lain menyangkut bagaimana individu yang bersangkutan melihat model dari orang-orang shaleh dan juga orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
 Beberapa tahun belakangan, banyak sekali kita menyaksikan (baik itu dari media massa, internet, maupun dari lingkungan dekat kita) orang-orang yang kita anggap menguasai ilmu agama, rajin ibadah, bahkan bisa kita sebut sebagai ustad atau kiyai, ternyata melakukan hal-hal yang itu jelas merupakan tindak kriminal dan juga dilarang agama. Banyak ustad yang diisukan melakukan pelecehan seksual. Ada beberapa ustad yang diduga melakukan penipuan. Ada seorang ketua partai yang kita kenal sangat Islami, ditangkap oleh KPK dengan tuduhan menerima suap. Terakhir, bahkan seorang menteri agama, juga terindikasi melakukan korupsi.
Orang-orang yang melihat kasus-kasus tersebut, merasa prihatin. Sayangnya, banyak di antara orang-orang yang prihatin tersebut, kemudian menjadi tidak tertarik juga kepada Islam, bahkan tidak sedikit yang jadi menjauhi ajaran Islam. Alasan yang kerap terlontar adalah “ustad, kiyai aja kelakukannya kayak gitu, sama aja. gw mah yang penting cukup baik sama orang aja, gak usah tinggi-tinggi ngejalanin agama.” Dengan kata lain, orang menjadi berpikir bahwa jikalau orang yang nampak taat beragama saja bisa berbuat negatif, lantas untuk apa kita juga taat beragama? Toh yang penting kan berbuat baik saja, ntar juga masuk surga.

Eitttsss…
Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah salah kaprah yang fatal. “Beribadah adalah urusan masing-masing dengan Allah” oke, itu benar. Jadi, soal bagaimana orang-orang yang kita pandang sebagai ustad atau kiyai itu berperilaku buruk, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Perkara Anda menganggap itu perbuatan yang salah, keliru, munafik, dsb., silahkan. Tetapi kemudian apabila mereka ‘seperti itu’, apakah lantas itu mempengaruhi keberagamaan Anda? Dalam hal ibadah, Anda adalah Anda, mereka adalah mereka, kita adalah kita. Tugas kita antar sesama manusia dalam hal ibadah hanyalah saling mengingatkan dan mungkin mengajarkan. Ini baru satu hal.
Kedua, perkara mereka mungkin sudah rajin beribadah, pengetahuan agamanya luas, namun masih memiliki beberapa perilaku negatif, itu bukan salah Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk korupsi, tidak menghargai wanita, berperilaku munafik, melakukan tindak kekerasan, atau perbuatan-perbuatan lain yang merugikan orang lain. Sama sekali tidak. Shalat sejatinya mendorong perbuatan ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan munkar. Puasa sejatinya melatih orang untuk mengendalikan diri. Ibadah haji sejatinya membentuk orang menjadi lebih bijak dalam berperilaku. Apabila ada orang yang sudah rajin shalat, ngaji, rajin puasa sunnah, atau sudah haji tapi kok tidak ada dampak kepada perilaku sosialnya, maka kekhusyukan dan pemaknaan mereka terhadap ibadah yang mereka jalankan itu patut dipertanyakan.
Ada juga pendapat yang sering muncul “makin paham seseorang tentang aturan agama, makin pandai pula dia mengakalinya.” Pendapat ini mungkin ada benarnya, tapi juga tidak bisa sepenuhnya disetujui. Sekali lagi, itu berpulang pada orangnya masing-masing. Kalau memang yang bersangkutan sudah punya niat yang salah, ya penyimpangan itulah yang akan mereka lakukan. Tapi banyak juga yang ilmu agamanya luas, dan perilakunya pun makin bijak. Kelompok yang niatnya keliru tadi, bisa jadi disebabkan banyak faktor samping : motivasi ekonomi, adanya kesempatan, tipe kepribadian, kepentingan politik, dll. Jadi, sama sekali bukan disebabkan oleh pengetahuan agama itu sendiri. Karena, lagi-lagi, agama sama sekali tidak mengajarkan perilaku menyimpang tersebut.


Jadi, kesimpulannya adalah : apapun yang dilakukan orang-orang yang kita anggap taat itu, biarin aja! Kalau kita mau beribadah ya beribadah aja. Kalau kita mau memperdalam agama, ya belajarlah. Udah, itu aja.

Rabu, 11 Juni 2014

Prediksi Piala Dunia 2014

Saya membagi Piala Dunia ke dalam dua kategori, yaitu PIala Dunia yang ‘minim kejutan’ dan ‘penuh kejutan’. Sejak Piala Dunia 1994, piala dunia pertama yang ‘abnormal’ karena banyaknya kejutan, maka selanjutnya siklus piala dunia menjadi seperti ini : Piala Dunia 1994 : penuh kejutan - Piala Dunia 1998 : minim kejutan - PD 2002 : penuh kejutan – PD 2006 : minim kejutan – PD 2010 : penuh kejutan. Apabila mengikuti siklus tersebut, maka seharusnya PD 2014 kali ini akan minim kejutan.
Ada 2 ‘ciri’ utama dari piala dunia yang minim kejutan :
1. Tidak ada satu tim Asia pun yang lolos ke babak 16 besar
2. Hanya akan tersisa maksimal 2 tim kuda hitam saja di babak perempat final
Tapi ada satu catatan, bahwa minim kejutan di sini bukan berarti grand finalnya kemudian akan mempertemukan 2 tim yang sebelumnya memang berada di urutant teratas daftar tim yang paling diunggulkan (Brasil vs Spanyol misalnya). Contohnya Piala Dunia 2006 yang sangat sedikit kejutannya itu justru mempertemukan Italia dan Prancis, dua tim yang kala itu sedang tidak berada dalam performa terbaiknya, di partai puncak. Sedangkan Piala Dunia 2010 yang banyak kejutannya, ujung-ujungnya tetap saja dijuarai oleh Spanyol, yang memang paling banyak diunggulkan untuk menjadi juara.

*keterangan : yang ditulis merah adalah tim yang lolos

Grup A
Peluang lolos : Brasil (53%), Meksiko (27%), Kroasia (16%), Kamerun (4%)
Brasil sebagai tuan rumah dan juga merupakan tim raksasa, tak terbantahkan akan menjadi penguasa grup. Meksiko adalah sebuah tim yang selama ini selalu dapat merepotkan Brasil, bahkan sering mengalahkan mereka. Hal ini menjadikan mereka sebagai tim yang paling berpeluang mendampingi tim Samba ke 16 besar. Namun, Kroasia yang berisikan pemain-pemain macam Luka Modric dan Mario Mandzukic juga memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk mengganjal Meksiko. Kamerun lolos ke PD 2014 dengan diliputi penuh keberuntungan, jadi nampaknya tim berjuluk Indomitable Lions itu hanya akan jadi juru kunci grup.

Grup B
Peluang lolos : Spanyol (41%), Belanda (38%), Cili (14%), Australia (7%)
Banyak yang menyebut grup ini sebagai grup maut. Saya tidak setuju. Justru grup ini menjadi tidak menarik karena bersifat two horses race. Spanyol dan Belanda relatif tidak punya rintangan untuk menjadi wakil grup B di babak 16 besar. Tim matador dan tim oranye hanya akan berebut posisi juara grup saja. Cili yang memiliki karakter bermain kuat khas Amerika Latin dan materi pemain yang lebih baik dari Australia, akan menempati posisi tiga.

Grup C
Peluang lolos : Kolombia (26%), Pantai Gading (26%), Yunani (24%), Jepang (24%)
Nah, justru grup C inilah grup maut yang sesungguhnya. Kekuatan keempat tim betul-betul sangat merata, tidak ada satu tim yang lebih baik dari tim lainnya. Tadinya saya memprediksi Kolombia paling besar peluangnya jadi juara grup. Namun, seiring cederanya andalan utama sekaligus nyawa tim mereka, Radamel Falcao, peluang itupun menurun. Meski begitu, negaranya Andreas Escobar tetap saya prediksi bisa lolos meski mungkin butuh perjuangan ekstra. Setiap gelaran piala dunia sejak 1990, selalu ada satu tim (tidak kurang, tidak lebih) Afrika yang lolos ke 16 besar. Tahun ini, ‘jatah’ itu nampaknya akan jadi milik Pantai Gading, mengingat tim-tim Afrika lain berada satu grup dengan tim-tim besar dan sulit untuk lolos. Yunani punya potensi besar untuk mengejutkan, sebagaimana yang mereka lakukan di Euro 2004. Apalagi negeri dewa-dewi ini punya level permainan yang konsisten. Jepang mungkin terbentur oleh kutukan ‘piala dunia minim kejutan’ terhadap tim-tim Asia (sebagaimana saya jelaskan di bagian pendahuluan tadi). Namun, dengan level permainan yang terus meningkat, ditambah makin banyaknya pemain mereka yang jadi andalan klub-klub besar Eropa, maka menjadi juara grup sekalipun masih mungkin bagi tim Samurai Biru. Intinya, ini adalah the real hell, grup yang paling sulit diprediksi.

Grup D
Peluang lolos : Italia (34%), Uruguay (33%), Inggris (31%), Kostarika (2%)
Saya pikir semua pengamat sepakat mengenai status grup ini sebagai grup neraka. Ada tiga tim kuat dan memiliki sejarah panjang di piala dunia, yang memiliki peluang sama besarnya untuk lolos dari grup ini. Italia memang terpuruk pada PD 2010, namun setelah itu mereka kembali ke jalurnya dengan melaju ke final Euro 2012 dan lolos ke PD 2014 sebagai juara grup tanpa terkalahkan di babak kualifikasi. Biasanya tim besar yang terpuruk di PD sebelumnya akan bisa melangkah jauh di PD berikutnya. Uruguay, meski kondisi Suarez masih meragukan, namun tetap saja memiliki banyak modal lain untuk bicara banyak di PD kali ini. Antara lain adalah materi pemain yang bagus, pengalaman sebagai semifinalis di PD sebelumnya, dan tuah tanah Brasil terhadap mereka. Tuah yang dimaksud adalah motivasi mengulang kejayaan di PD 1950 di tempat yang sama, dan jarak yang dekat sehingga memudahkan suporter berbondong-bondong datang mendukung. Inggris dengan materi pemain muda menjanjikan dan memiliki liga terbaik di dunia tetap tidak bisa dipinggirkan dari persaingan. Kostarika boleh dibilang hanya akan menjadi pelengkap semata. Meski begitu, biasanya tim yang menjadi satu-satunya non-unggulan di sebuah grup maut akan mampu mencuri setidaknya satu poin dari salah satu tim. Saya prediksi ‘korban’ Kostarika tersebut adalah antara Italia atau Inggris.

Grup E
Peluang lolos : Prancis (43%), Honduras (21%), Swiss (21%), Ekuador (15%)
Prancis, yang performanya masih naik-turun, sangat beruntung hasil undian menempatkan mereka di grup ini. Di antara tiga tim lainnya, belum ada yang bisa menyaingi kemampuan tim Ayam Jantan. Honduras adalah tim yang terus mengalami perkembangan dewasa ini dan punya ‘hobi’ menjadi giant killer. Sedangkan Swiss adalah tim Eropa yang, sebagaimana Yunani, memiliki level permainan yang konsisten. Kedua tim ini saya prediksi akan bersaing ketat untuk menjadi runner-up grup. Ekuador sudah pernah mengejutkan di PD 2006, dan biasanya hal seperti itu sulit untuk diulang (alias keajaiban tak datang dua kali).

Grup F
Peluang lolos : Argentina (56%), Bosnia-Herzegovina (23%), Nigeria (16%), Iran (5%)
Argentina saya jadikan sebagai tim dengan nilai presentase peluang tertinggi untuk lolos dari grupnya, di antara semua tim peserta piala dunia. Ini dikarenakan, dengan segala kelebihan yang mereka miliki – mulai dari materi pemain bintang, penyerang-penyerang yang ganas, motivasi tinggi karena bermain di tanah ‘tetangga gaduh’, hingga rasa penasaran dari sang megabintang Lionel Messi terhadap trofi piala dunia – mereka dipertemukan dengan tim-tim lawan yang levelnya masih sangat sulit untuk bisa menyaingi Tim Tango. Bosnia-Herzegovina adalah jagoan saya di PD kali ini, dan memang banyak yang memprediksi Edin Dzeko cs. bisa menjadi tim kuda hitam. Nigeria untuk ketiga kalinya harus bertemu Argentina di ajang piala dunia. Modal sebagai juara Afrika sama sekali bukan jaminan bersih untuk bisa lolos dari grup ini, meski mereka tetap bisa menjegal langkah Bosnia. Iran, seperti di tiga PD yang pernah mereka ikuti, masih sulit untuk sekedar bisa menang sekalipun.

Grup G
Peluang lolos : Jerman (39%), Portugal (30%), Ghana (17%), A.S (14%)
Istilah yang paling tepat untuk menggambarkan grup ini adalah : gampang-gampang susah. Jerman memang sangat diunggulkan. Selalu melaju hingga babak semifinal 4 turnamen besar terakhir (PD ataupun Euro) sudah cukup menggambarkan betapa mengerikannya timnas satu ini. Portugal memang kelihatannya terlalu bergantung pada CR7. Namun, ‘anehnya’ cukup dengan mengandalkan sang megabintang saja, tim yang belum pernah jaura PD ini tetap mampu beberapa kali tampil hebat. Ghana memang berhasil lolos ke babak knock-out dalam dua piala dunia berturut-turut 2006-2010. Namun, dengan menghitung juga peluang tim-tim Afrika lain, maka seperti yang saya bilang tadi (lihat : pembahasan grup C) jatah satu tiket miliki wakil Benua Hitam kali ini akan menjadi milik Pantai Gading. Ini adalah untuk ketiga kalinya berturut-turut A.S berjumpa dengan Ghana di piala dunia, dan dalam 2 pertemuan sebelumnya mereka selalu kalah. Maka sepertinya tim negeri Paman Sam yang dilatih Juergen Klinsmann hanya akan mempersulit Jerman saja.

Grup H
Peluang lolos : Belgia (38%), Russia (36%), Korsel (20%), Aljazair (6%)
Belgia banyak diperhitungkan sebagai tim yang bisa melaju jauh bahkan menyaingi tim-tim besar. Modal ‘generasi emas’ jadi alasannya. Namun, menurut saya, bagi sebuah tim yang belum banyak pengalaman di turnamen besar, status unggulan tersebut bisa menjadi beban bagi Belgia sendiri. Sementara Russia yang ditangani oleh pelatih bermental juara, Fabio Capello, punya peluang besar untuk bisa mengambil keuntungan dari rasa grogi pesaingnya dari sesama Eropa tersebut. Korea Selatan belakangan mulai menurun penampilannya, ditambah dengan adanya kutukan terhadap tim Asia (lihat : bagian pendahuluan), sepertinya kali ini mereka tidak akan mengulang prestasi di PD 2010 dengan lolos ke 16 besar. Namun, untuk sekedar berada di atas Aljazair, itu masih sangat mungkin.

*keterangan : yang ditulis merah adalah tim yang menang

16 besar
Brasil vs Belanda (59-41)
Saat yang tepat untuk membalas dendam PD 2010, itulah yang akan timbul dalam pikiran para pemain tuan rumah. Belanda yang sedang dalam fase regenerasi, akan mengalami banyak kesulitan untuk membendung tim Samba yang telah memiliki segudang modal menghadapi kompetisi ini. Sneijder dan Robben akan mengakhiri karir mereka di piala dunia di babak ini.

Kolombia vs Uruguay (47-53)
Duel sesama Amerika Latin, menarik. Dengan pola permainan yang hampir sama dan sudah saling mengenal, pertarungan akan berlangsung ketat. Pemenang akan ditentukan oleh siapa yang memiliki materi pemain sedikit lebih baik, dan itu adalah Uruguay.

Prancis vs Bosnia-Herzegovina (48-52)
Dalam setiap gelaran ‘piala dunia minim kejutan’ sekalipun, biasanya tetap akan ada satu tim kejutan, dan umumnya mereka adalah tim dari Eropa Timur. Contohnya adalah Bulgaria di PD 1994, Kroasia di PD 1998, Turki di PD 2002, dan Ukraina di PD 2006. Ada dua tim yang sebenarnya memiliki peluang untuk menjadi kuda hitam di PD ini, yaitu Belgia dan Bosnia. Namun, tim Belgia (lihat : pembahasan grup H) akan memiliki beban dari harapan banyak orang terhadap mereka, dan itu bisa membuat ‘jatah’ tim kejutan melayang ke tangan Bosnia. Prancis memang tetap memiliki peluang besar untuk lolos, mengingat mereka sedang dalam fase kebangkitan dan ditangani oleh pelatih bertangan dingin Didier Deschamps. Namun pada akhirnya benturan yang keras ini tetap akan dimenangi oleh Dzeko cs.

Jerman vs Russia (65-35)
Lagi-lagi Capello mentok di babak 16 besar. Materi 100% pemain klub lokal yang dimilikinya bisa menjadi nilai plus, tapi bisa juga menjadi sebuah blunder. Menghadapi tim sekelas Mesut Ozil dkk., maka yang kedua yang benar.

Spanyol vs Meksiko (67-33)
Meksiko lolos secara sangat beruntung ke PD 2014 ini, hanya berkat ‘pertolongan’ gengsi A.S yang tidak ingin kalah dari Panama di partai terakhir babak kualifikasi zona Concacaf. Saya pribadi pun menganggap tim Sombrero tidak ada di piala dunia kali ini. Sangat kebetulan kalau sampai mereka betul-betul bertemu tim raksasa Spanyol di 16 besar, biar cepat tersingkirlah.

Italia vs Pantai Gading (72-28)
Dalam ‘piala dunia minim kejutan’, perjuangan tim Afrika biasanya hanya akan sampai di babak 16 besar. Itu juga yang akan dialami Yaya Toure cs. Italia, yang sebagaimana Prancis, berada dalam fase kebangkitan, akan sangat mampu untuk memanfaatkan tradisi tersebut.

Argentina vs Honduras (73-27)
Menghadapi Lionel Messi dkk.? Kejutan besar Honduras akan berhenti sampai di sini. #udahituaja

Belgia vs Portugal (46-54)
Belgia yang jadi sorotan, akan memiliki beban besar (lihat : pembahasan grup H). Meski begitu, Cristiano Ronaldo cs. tetap tidak akan mudah untuk mengalahkan mereka. Hasil akhir dimenangkan oleh mereka yang lebih berpengalaman.

Perempatfinal
Brasil vs Uruguay (61-39)
Maracana, 16 Juli 1950. Final piala dunia, jadi tuan rumah, didukung 200.000 penonton, dan ….. kalah. Seluruh rakyat Brazil tidak akan pernah lupa hari itu. Dan pertemuan ini (jika memang benar-benar terjadi), akan menjadi momentum untuk membalas dendam kesumat tersebut. Dan kali ini, sepertinya tuan rumah akan sukses.

Bosnia-Herzegovina vs Jerman (36-64)
Bosnia akan mengikuti jejak Ukraina 2006, kuda hitam yang kalah di perempatfinal dari kandidat juara.

Spanyol vs Italia (53-47)
Ulangan final Euro 2012 dan semifinal Piala Konfederasi 2013. Dalam dua kesempatan tersebut, Spanyol menang relatif mudah. Akan tetapi, perjuangan tim matador akan lebih sulit lantaran lawan sudah mulai hafal cara menangkal tiki-taka mereka. Meski begitu, Spanyol yang masih mengandalkan hampir semua alumnus PD 2010 masih terlalu tangguh bagi pasukan muda Gli Azzuri.

Argentina vs Portugal (56-44)
Finally, Messi vs Ronaldo in World Cup! Ini mungkin sudah menjadi ekspektasi banyak penggila bola, dan secara alur kompetisi harapan itu sangat mungkin terwujud di gelaran kali ini. Dan sebagaimana di La Liga dan perebutan Ballon D’Or, Messi yang akan memenangkan pertarungan ini.

Semifinal
Brasil vs Jerman (49-51)
Empat kali berturut-turut lolos hingga semifinal 4 turnamen beruntun (lihat : pembahasan grup G) rasanya sudah cukup bagi Jerman. Inilah saatnya melangkah lebih jauh. Apalagi para pemain yang empat tahun lalu masih tergolong muda, kini sudah berada pada usia emas. Sedangkan Brasil, sangat gatal ingin kembali merebut trofi yang terakhir direngkuh 12 tahun yang lalu. Brasil sudah menjuarai ajang ini sebanyak lima kali dan ironisnya, mereka justru gagal dalam kesempatan pertama menjadi tuan rumah pada PD 1950. Tentu mereka ingin menebus hal tersebut dalam kesempatan kedua ini. Jadi, boleh dibilang duel ini sebagai duel sesama tim dengan ambisi ‘Now or Never’. Tapi feeling saya mengatakan Jerman yang akan menang. Ya, hanya feeling. Karena kekuatan dan kondisi mental kedua tim sangat seimbang. Dukungan penonton tidak selalu ‘ngefek’ untuk piala dunia.

Spanyol vs Argentina (47-53)
Spanyol juara lagi? I don’t think so. Mereka masih mengandalkan muka-muka lama. Permainan tiki-taka, meski sudah banyak dimodifikasi oleh Del Bosque sendiri, namun tetap saja sudah mulai terbaca. Liga Champions sudah membuktikan itu melalui kegagalan Barcelona dan Bayern Muenchen-nya Pep. Jadi, langkah juara bertahan kemungkinan besar akan selesai di fase ini. Setelah 1986, baru kali ini tuan rumah kembali ke Amerika Latin. Jadi, inilah waktu yang tepat bagi tim Tango untuk unjuk gigi, setelah sekian lama ‘terbenam’.

Perebutan Juara 3
Brasil vs Spanyol (54-46)
Perebutan tempat ketiga sering menjadi duel ‘barisan sakit hati’. Gengsi akan lebih menentukan daripada faktor teknis. Gengsi dan motivasi lebih tinggi umumnya lebih dimiliki oleh tuan rumah dibandingkan juara bertahan.

Final
Jerman vs Argentina (51-49)
Di manapun, kompetisi apapun, partai grandfinal selalu sulit untuk diprediksi. Bahkan sekalipun misalnya duel yang terjadi adalah antara tim unggulan vs non-unggulan. Apalagi bila sesama tim unggulan dengan materi pemain dan kualitas permainan yang setara. Jerman vs Argentina ini mirip dengan Italia vs Prancis di final 2006. Pertarungan akan berlangsung sengit hingga menit terakhir. Kedengarannya normatif, tapi memang itulah yang akan terjadi. Para pemain kedua tim sama-sama berada di usia emas dan performa puncak. Liga Jerman sedang berkembang pesat, namun para pemain Argentina juga menjadi andalan di tim-tim papan atas liga Eropa. Yang agak berbeda adalah gaya permainan. Jerman lebih mengandalkan power dan umpan panjang dengan mengandalkan sayap, sementara Argentina lebih mengandalkan skill individu pemain dan permainan pressing. Satu hal yang juga bisa menjadi pembeda adalah faktor pelatih. Joachim Loew di kubu tim panser memiliki pengalaman dan kapabilitas lebih baik dari Alejandro Sabella di kubu Argentina. Namun, pelatih berprinsip keras seperti Sabella kadang dapat mengejutkan. Dari berbagai hitung-hitungan, maka saya menilai Jerman lebih siap untuk menjadi juara kali ini, sekaligus menjadi tim Eropa pertama yang menjadi juara piala dunia yang digelar di benua Amerika. Argentina sepertinya butuh regenerasi.


Yang jelas, semua ini hanya prediksi, sangat mungkin salah. Bahkan, sebagai seorang penyuka kejutan, saya justru berharap prediksi saya kali ini banyak yang salah J

Jumat, 09 Mei 2014

Pandawa di bawah Kendali Sengkuni

Tersebutlah dalam dunia pewayangan, sebuah kitab yang biasa sebut sebagai ‘Mahabharata’. Kitab ini mengisahkan mengenai pertempuran antar dua kelompok yaitu Kurawa dan Pandawa. Kurawa dan Pandawa sebenarnya adalah saudara sepupu. Namun, karena kedzaliman dari pihak Kurawa terhadap Pandawa, ditambah dengan perebutan kerajaan Hastinapura, maka permusuhan yang berujung pada pertempuran di antara keduanya pun tak terelakkan.
Kurawa dan Pandawa adalah anak-anak dari dua orang kakak beradik, Destarastra dan Pandudewanata. Destarastra memiliki seratus orang anak, dengan anak yang tertua sekaligus sebagai pemimpin bernama Duryodhana. Kelompok anak Destarastra inilah yang disebut sebagai Kurawa. Kurawa memiliki watak yang kejam, keras, sombong, arogan, dan licik. Sementara Pandudewanata memiliki lima orang anak yang biasa disebut dengan Pandawa Lima, yang terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Pandawa memiliki karakter jujur, sederhana, rendah hati, tegas, kuat, namun teraniaya.
Namun, sebenarnya salah satu faktor yang menjadi penyebab perilaku Kurawa yang negatif tersebut adalah adanya hasutan dari Sengkuni. Sengkuni adalah patih di kerajaan Hastinapura yang adalah juga adik ipar dari Destarastra. Sengkuni merupakan sosok yang sangat licik dan manipulatif. Sedari awal dia telah menghasut Destarastra untuk memusuhi Pandu dan merebut tahta Hastinapura. Setelah Destarastra menjadi raja dan para Kurawa lahir, Sengkuni memprovokasi Duryodhana dan adik-adiknya untuk menyingkirkan Pandawa Lima dan menguasai penuh kerajaan.
 
pandawa lima
patih sengkuni

Sengkuni memang dikisahkan sebagai tokoh yang suka menghasut pihak-pihak yang potensial menjadi penguasa dan mudah untuk dipengaruhi. Dia juga gemar memprovokasi. Namun, metode yang dia gunakan sangat halus dan cerdas, hingga para dewan menteri Hastinapura yang sebenarnya tidak suka padanya dan mencium kelicikannya pun tak mampu mengeluarkan dia dari kerajaan.
Dalam dunia perpolitikan di Indonesia pasca reformasi ini, banyak ‘Sengkuni’ bertebaran di mana-mana. Sebagaimana Sengkuni dalam Mahabharata tadi, para sengkuni Indonesia ini gemar menjilat kepada para penguasa, serta menyusun siasat bagaimana caranya agar dapat memperoleh keuntungan ekonomi yang besar, menjadi kebal dari hukum, dan juga menyebarkan pemikiran atau ideologinya. Di sisi lain, sebagaimana juga salah satu motivasi Sengkuni adalah untuk meruntuhkan kerajaan Hastinapura, maka terdapat pula ‘sengkuni-sengkuni’ yang motivasi sebenarnya adalah menghancurkan mental dan ekonomi bangsa negara ini, sehingga menjadi mudah untuk dikuasai.
Satu hal yang patut diwaspadai oleh rakyat Indonesia, para ‘Sengkuni’ itu sekarang tidak lagi mendekati kubu Kurawa, namun justru beralih kepada para Pandawa. Sengkuni melihat Kurawa sekarang sudah tidak bisa lagi diajak kerjasama. Entah karena kubu Kurawa merasa sudah bisa bekerja sendiri, merasa cukup dengan modal yang ada untuk berkuasa, ataukah malah mereka sudah mau bertobat.
Sementara di sisi lain kubu Pandawa sekarang sudah mulai unjuk gigi dan makin populer. Bisa jadi karena rakyat juga sudah bosan dengan kebusukan para Kurawa. Sengkuni yang sangat licik dan licin itupun memanfaatkan momentum tersebut untuk mencoba mengalihkan hasutannya kepada para Pandawa. Gawatnya, Pandawa nampaknya termakan oleh hasutan tersebut hingga bersedia menuruti perintah dan permintaan Sengkuni.

Rakyat boleh jadi tidak menyukai kubu Kurawa yang mungkin memang masih menyimpan sifat-sifat buruknya. Tapi rakyat juga harus hati-hati, karena Pandawa yang protagonis itu sekarang sudah dibackingi oleh Sengkuni. Tentu saja motivasi Sengkuni masih tetap sama : berkuasa secara ideologis, ekonomi, dan politik, tanpa mempedulikan rakyat. Hmm…kalau begini caranya, sepertinya rakyat Indonesia masih harus bersabar lebih lama untuk menunggu datangnya ‘satrio piningit’ yang sesungguhnya. 

Kamis, 27 Maret 2014

Jangan Remehkan Doa Orang Lain

*semua yang saya tulis ini tidak bermaksud riya’, ujub, sum’ah, atau yang lainnya. Ini hanya sharing dan sekaligus pembelajaran bersama semata...


Kala itu, sekitar tahun 2007, namun saya lupa bulannya apa. Waktu itu, sore hari, hujan deras baru saja turun. Saya dan beberapa orang tetangga saya sedang berada di masjid kampung kami, karena baru usai mengajar TPQ.
Saya berdiri di pintu samping masjid yang menghadap ke tempat wudhu dan kamar mandi. Di antara pintu samping itu dengan kamar mandi adalah jalanan umum, sehingga tidak ada atap atau semacamnya. Menatap hujan. Seketika itu, dari dalam kamar mandi keluar sesosok kakek-kakek renta. Pakaiannya lusuh, sarungnya ditariknya ke atas, kakinya nampak agak lumpuh dan sulit berjalan. Beliau bukan warga kampung kami, sepertinya seorang tunawisma musafir.
Tiba-tiba, kakek itu memanggil-manggil saya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Nak, tolong kemari, bantu saya.” Tentu  saya merasa iba. Hujan-hujan begitu, dengan kondisi kaki dan fisik seperti itu, tentu si kakek sangat kesusahan untuk mencapai masjid. Bergegas saya ambil payung, kemudian saya hampiri kakek itu. Setelah itu saya gandeng beliau, saya payungi sambil saya tuntun berjalan perlahan. Jalannya sangat pelan dan tergopoh-gopoh. Padahal kata dia pakaiannya ada di sisi masjid yang lain, di mana kami harus mengitari masjid untuk mencapainya, hujan-hujan.
Saya tuntun terus beliau perlahan sambil memayungi, biarpun saya jadi yang kehujanan, biarlah. Sambil berjalan itu, si kakek tiba-tiba nyeletuk “makasih ya nak, makasih ya. saya doakan kamu jadi dosen nak, jadi dosen besok kamu..” Kontan saya agak kaget. Jadi dosen? Dari mana beliau tahu kalau itu salah satu cita-cita saya. Sementara kami bahkan tidak saling mengenal.
Waktu itu saya masih kuliah, skripsi pun belum. Cita-cita saya yang utama saat itu adalah bekerja di media massa atau di bidang entertainment tapi di balik layar. Sedangkan dosen adalah opsi lain. Saya perhatikan wajah sang kakek yang menghadap ke depan, nampak berkaca-kaca. Saya meyakini, beliau tulus dalam mendoakan saya. Amiin, demikian balas saya dalam hati…


Sekarang, tahun 2014, saya telah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jabodetabek. Saya pun teringat kembali dengan doa sang kakek, meskipun saya tidak begitu ingat lagi wajahnya seperti apa. Namun, satu hal yang saya ambil hikmahnya dari sini adalah, jangan pernah remehkan doa orang lain. Meskipun orang tersebut adalah orang asing (tidak pernah kita kenal sebelumnya), ataupun nampak lemah dan remeh apabila kita lihat dari sudut pandang duniawi, namun sesungguhnya Allah SWT tidak pernah memandang status tersebut. 

Jumat, 28 Februari 2014

Dicari : Ponirah


Saat ini saya tengah dipusingkan oleh mencari pengasuh untuk putra saya yang masih bayi. Mencari pengasuh yang ideal (atau setidaknya sedikit di bawah ideal) : jujur dan telaten, ternyata sangat sulit. Saya sudah minta dicarikan melalui ibu saya, dengan menghubungi teman-temannya, tapi tidak ada. Blusukan juga sudah dijalankan ke dusun-dusun di pelosok Gunung Kidul Jogja, tapi tetap tidak ditemukan calon PRT yang sesuai dengan kriteria kami. Demikian sulitnya mencari di kampung, apalagi mau mencari di sekitar tetangga saya di Bekasi sekarang. Sementara di sisi lain, saya juga mendapat cerita dari dua teman sekantor saya yang memperoleh PRT yang ‘aneh-aneh’. Yang satu, kebanyakan request tapi kerjanya nggak jelas. Yang satu lagi, ternyata diam-diam memprovokatori teman saya dengan mertuanya. Akhirnya, kedua PRT itu hanya bertahan tak sampai tiga hari di rumah teman-teman saya tersebut. Kasus ini membuat saya makin bingung mencari calon PRT.

Sulitnya mencari PRT seperti dewasa ini, sejatinya tidak terjadi pada era 1980 hingga 1990-an lalu. Pada saat itu, masih sangat banyak warga di pelosok desa, khususnya wanita, yang mau dan bersedia menjadi asisten rumah tangga ataupun pengasuh anak, walaupun dengan gaji yang seadanya. Bahkan kualitas mereka pada saat itu boleh dibilang bagus. Contohnya pada keluarga saya pribadi.
Dulu ketika masih TK, saya diberikan seorang pengasuh bernama mbak Ponirah. Mbak Ponirah sekaligus juga menjadi asisten yang membantu berbagai pekerjaan rumah ibu saya. Mbak Ponirah hingga sekarang, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, masih bekerja di rumah ibu saya meski telah mengontrak rumah sendiri. Sementara ketika dulu adik saya balita, ibu saya juga mendatangkan lagi PRT lain, yaitu mbak Yanti. Mbak Yanti ini bekerja hingga sekitar 8 tahun lamanya, sebelum akhirnya menikah dan pulang kampung. Hingga detik ini, keluarga kami selalu merindukan sosok PRT seperti mbak Ponirah dan mbak Yanti.

Mbak Ponirah dan mbak Yanti disukai oleh ibu saya dan bisa bertahan lama adalah dikarenakan mereka memiliki komitmen, telaten, jujur, dan pekerja keras. Tipikal PRT seperti inilah yang mulai jarang ditemui. Kualitas dalam hal pekerjaan mungkin meningkat. Namun dalam hal kepribadian, nampak adanya penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Kebanyakan remaja dan pemuda yang berasal dari daerah dewasa ini lebih cenderung berminat bekerja di sektor industri ketimbang bekerja di sektor rumah tangga.
Pada umumnya bekerja di perusahaan atau institusi memiliki jam kerja serta tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bekerja di rumah orang, namun memiliki nilai upah yang lebih tinggi. Tidak heran jika akhirnya lebih banyak yang memilih mengais rejeki di ranah tersebut. Kalaupun ada yang mau menjadi asisten rumah tangga, biasanya yang bersangkutan akan menetapkan standar upah minimal yang tinggi. Fenomena semakin tingginya jumlah pelamar menjadi TKI ke luar negeri mengindikasikan hal tersebut. Salah satu dampak negatifnya, banyak pihak tidak bertanggungjawab yang kemudian memanfaatkan intensi para pemuda desa ini, yang bisa dilihat dari banyaknya kasus penipuan seperti human trafficking, penyekapan, hingga penelantaran calon TKW oleh agen ilegal.


Saya pribadi belum menemukan solusi yang tepat terkait fenomena langkanya PRT ini, mengingat saya sendiri pun belum berhasil menemukan asisten untuk keluarga saya. Namun, apabila kita bercermin dari dunia barat yang maju itupun tidak mendapati kesulitan dalam mencari asisten rumah tangga ini. Sementara negara-negara Asia, baik Timur Tengah, Asia Timur, hingga para tetangga ASEAN, kini lebih banyak mengimpor dari negara kita. Apabila fenomena ini berlanjut, bukan tak mungkin ke depannya para pekerja rumah tangga kita semuanya berorientasi ke luar negeri, sementara rumah-rumah tangga di dalam negeri, keluarga kaya sekalipun, akan tidak memiliki asisten rumah tangga. Dan hal ini jelas akan sangat merepotkan. Mungkin ada yang tahu bagaimana negara-negara Eropa dan Amerika Latin bisa mempertahankan ketersediaan asisten rumah tangganya?

Senin, 27 Januari 2014

Isih Penak Jamanku

Jelang Pemilu 2014, konstelasi politik di Indonesia makin berwarna. Tidak hanya di kalangan atas, di kalangan akar rumput pun semakin banyak fenomena yang menarik. Salah satunya adalah maraknya tagline “Piye kabare le? Isih penak jamanku tho?” (“Bagaimana kabarnya nak? Masih enak jamanku kan?”) Tagline ini muncul disertai poster wajah mantan presiden Soeharto, dengan senyum khasnya sembari melambaikan tangan. Poster pak Harto ini beredar di mana-mana, mulai dari stiker-stiker, spanduk, mural, hingga lukisan di belakang truk. Masyarakat terlihat menyambut fenomena ini secara positif, yang salah satunya ditunjukkan dengan lakunya atribut-atribut bergambar serupa.

Entah fenomena ‘penak jamanku’ ini memang telah di-setting oleh sejumlah kelompok ataupun muncul begitu saja, yang jelas fenomena ini memberikan stimulus kepada masyarakat untuk mengingat kembali era Orde Baru di bawah kepemimpinan pak Harto, lalu membandingkannya dengan zaman sekarang. Respon yang sering timbul dari masyarakat adalah, mengiyakan tagline tersebut. Rakyat pada akhirnya terpikirkan bahwa era reformasi saat ini tidaklah lebih baik daripada era Orde baru dahulu, bahkan mungkin lebih buruk.



Saya pribadi tidak secara utuh setuju ataupun tidak menyetujui tagline ‘penak jamanku’ tersebut. Dan memang yang hendak saya bahas di sini bukan soal slogan itu sendiri. Saya lebih menyoroti bagaimana orang-orang di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya, memang sudah pada dasarnya memiliki rasa tidak puas dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk pemimpin. Perasaan tidak puas (displeasure) terhadap pemimpin setidaknya dapat disebabkan oleh 3 hal :

Comparing. Membandingkan antar dua hal atau lebih sudah menjadi naluri alamiah dari manusia. Seorang wanita seringkali secara otomatis membandingkan penampilan fisiknya dengan wanita lainnya. Orang tua secara tidak sadar sering membanding-bandingkan anaknya yang satu dengan yang lain. Apalagi ketika memang dihadapkan kepada pilihan, seperti misalnya antara tiga baju yang akan dibeli, perilaku membandingkan itu akan muncul dengan sendirinya. Dalam perilaku membandingkan ini, tentu akan ada saja kekurangan yang nampak dari hal yang dinilai. Begitu juga saat menilai seorang pemimpin. Ketika membandingkan antara pemimpin yang saat ini dengan yang sebelumnya, tentu akan ada saja kejelekan yang kita dapat dari pemimpin saat ini bila dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya. Hal ini membuat rakyat jadinya tidak akan pernah puas. Ini mungkin menjadi salah satu sebab kenapa Mesir, Thailand, dan Ukraina terus saja bergolak meski sudah gonta-ganti pemimpin. Semoga Indonesia tidak demikian.

Tidak Bersyukur. Kalau soal yang satu ini semua sudah tahu lah, memang begitu sifatnya manusia (termasuk saya). Dikasih hati minta ampela. Miskin, minta kaya. Begitu dikasih kaya, minta lebih kaya lagi, begitu seterusnya. Sudah punya motor, pingin mobil. Sudah punya mobil, pingin yang lebih bagus lagi. Sehingga begitu juga dalam menyikapi pemimpin. Niscaya tidak akan pernah ada pemimpin yang bisa memuaskan rakyatnya.

Ketergantungan terhadap figur. Chicago Bulls tidak pernah bagus lagi semenjak kepergian Michael Jordan. Ferrari tidak sestabil ketika Michael Schumacher masih di sana. Manchester United sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson hingga saya menulis ini, prestasinya boleh dibilang jeblok. Ketokohan seorang pemimpin di dalam kelompok dapat memberikan dampak yang positif ataupun negatif. Apabila pemimpin yang bersangkutan pernah lama ‘berkuasa’ dan menorehkan berbagai catatan, baik ataupun buruknya dia akan terus dikenang oleh kelompok yang bersangkutan. Termasuk dalam konteks bernegara, maka rakyat akan menjadikan kepala negara/pemerintahan yang sebelumnya pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama sebagai acuan dalam menilai setiap kepala negara yang baru. Contoh paling shahih adalah Korea Utara, Russia, serta sejumlah negara Afrika. Soeharto terbilang sukses dalam meng-cut memori rakyatnya terhadap era Soekarno, meski mungkin dengan metode yang represif. Sementara, kebebasan di era reformasi ini memberikan ruang yang luas bagi rakyat untuk terus mengkritisi pemimpinnya. Dalam mengkritik ini, rakyat menjadikan presiden-presiden sebelumnya sebagai acuan, sehingga menjadi sulit untuk melupakan mereka.


Tulisan ini bukan bermaksud membela atau sebaliknya mencela pemerintah sekarang maupun pemerintah-pemerintah yang lalu. Tujuan utama saya adalah mengajak pembaca untuk lebih proporsional dalam menilai pemerintah. Kritik itu harus, namun dengan tetap tidak keluar dari orientasi perbaikan, bukan membandingkan apalagi menjatuhkan. Jika kita hanya berorientasi pada kedua hal yang terakhir, tidak akan pernah ada presiden yang cocok bagi Indonesia, siapapun dia.