Dunia entertainment dengan segala kemegahan dan kesenangan dunia yang ditawarkannya memang selalu menggiurkan bagi siapapun, tak terkecuali bagi seorang polisi bernama Norman Kamaru. Polisi muda berpangkat briptu ini namanya mendadak begitu terkenal setelah menyanyikan lagu India yang populer di era 1990-an, ‘Chaiyya Chaiyya’ secara lypsinc di situs Youtube. Lagu tersebut berikut sang Briptu pun mendadak menjadi sangat terkenal dan populer (padahal gw dah suka tuh lagu dari jaman lama bgt, orang Indonesia emang suka latah). Padahal, awalnya Norman hanya bermaksud menghibur temannya yang sedang sedih melalui video itu.
Seiring kepopulerannya, Briptu Norman mulai mendapat tawaran manggung di mana-mana. Dirinya melesat bak meteor, diundang ke Jakarta oleh Mabes Polri dan seorang menteri, tampil di hampir semua stasiun tv, diekspos hampir tiap hari oleh berbagai acara infotainment, diajak rekaman, dan sebagainya dan sebagainya. Konon, per album-nya Briptu Norman ini bakal dibayar sampai 5 M! Di berbagai daerah, tiap kali dirinya muncul, orang berbondong-bondong menonton, bahkan mengejar-ngejar sekedar untuk minta foto bareng. Penontonnya membludak dan mengelu-elukannya. Tidak berlebihan kalau saya menyebut Norman tak ubahnya the Beatles pada masa jayanya, bahkan sambutan terhadapnya lebih gila!
Segala popularitas dan gelimang uang itu ternyata pelan-pelan mulai melenakan sang Briptu dari tugas utamanya, sebagai seorang polisi. Briptu Norman kerap mangkir, melakukan kegiatan keartisannya tanpa meminta izin pada atasan. Sudah beberapa kali Briptu Norman menerima surat terguran, dan berdasar kabar terakhir dia pun bakal disidang disiplin serta dikenai sanksi. Tapi Briptu Norman seperti cuek-cuek saja. Bahkan dia sempat tidak menghadiri sebuah sidang sebelumnya hanya karena alasan ketiduran.
Akhirnya, Norman memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepolisian, dengan alasan pangkat yang tidak kunjung naik dan ingin lebih fokus ke dunia artis tanpa harus sering-sering izin.
Ya, akhirnya. Akhirnya Norman terjebak dalam keputusan fatal yang bagi siapapun itu tentunya adalah salah kaprah. Mengapa salah kaprah?
Ingat, bagaimana awalnya dia bisa populer seperti itu. Tak lain adalah karena orang-orang melihat lucu, “bagaimana seorang polisi berseragam yang selama ini identik dengan kesan sangar, bisa menari-nari lihai seperti itu?” Keunikan inilah sumber pendongkrak popularitasnya, dan itu adalah karena seragam polisi yang dia kenakan di video itu. Kalau waktu itu dia ‘syuting’ hanya pakai pakaian biasa, kaos misalnya dan di kamar tidurnya, belum tentu bisa sepopuler sekarang. Banyak yang upload ke youtube dengan penampilan biasa dan kebanyakan ya tidak populer – tidak, selama yang bersangkutan tidak memiliki suara bagus semisal Boyce Avenue, Alyssa Bernal, atau Megan Nicole.
Di sini lah letak salah kaprahnya Norman. Saya ragu, apakah dia sempat merenung : “Bagaimana awalnya saya bisa seterkenal ini?”, “Bagaimana mereka bisa menyukai saya?”, “Apakah musik memang bakat saya?”, “Bagaimana dengan jangka panjangnya?” Norman mungkin juga tidak tahu – atau sengaja tidak ingin tahu – bagaimana sulitnya artis-artis yang telah lama di dunia itu dalam berjuang mempertahankan eksistensinya. Norman mungkin juga lupa – atau sengaja lupa – betapa banyaknya artis-artis yang dulu begitu terkenal dan kaya, kini di masa tuanya......... Ah, mana sempat hati dan pikiran ini bertafakur, apabila kita sudah tenggelam dalam kenikmatan, dalam zona nyaman yang luar biasa yang telah diberikan oleh dunia.
Huh..Melihat kisah sang Briptu ini menjadi refleksi tersendiri bagi diri saya. Saat ini saya sedang sangat galau. Saya tengah menghadapi tesis guna menyelesaikan studi S2 saya. Akan tetapi, patut diketahui, bagaimana saya meneruskan kuliah ini sejatinya bukanlah keinginan diri saya pribadi, melainkan atas desakan orang tua yang begitu menginginkan saya meraih pendidikan setinggi-tingginya. Jadilah yang ada saya setengah hati menjalaninya.
Cita-cita saya yang sebenarnya hampir mirip dengan Norman, yaitu di dunia entertainment. Hanya saja, saya lebih ingin menjadi orang di belakang layar, tepatnya penulis atau sutradara. Kasus yang menimpa Briptu Norman ini kemudian mendorong saya untuk merenung, “Benarkah ‘tempat’ saya adalah di dunia entertainment itu? Ataukah sama seperti Norman, hanya tergiur oleh keglamorannya?”
Kalau menyangkut perhitungan, sesungguhnya saya sudah lebih menghitung daripada Norman. Menulis memang telah menjadi salah satu hobi dan kelebihan saya. Sejak saya masih kecil dan autis, saya sudah suka mengarang-ngarang cerita. Saya juga punya kemampuan menulis dan mencipta lagu, walaupun tidak pandai memainkan alat musik. Akan tetapi, saya tidak akan memilih menjadi pemain film atau penyanyi, karena itu sama sekali bukan bakat saya.
Hanya saja, saya masih khawatir : apakah saya ini seperti Norman, yang hanya tertarik akan kepopuleran yang ada, ataukah memang tempat saya yang ‘seharusnya’ adalah di dunia itu?
Dengan kata lain, ada satu pertanyaan yang masih menghantui : “Apakah saya ini seorang entertaint yang memaksakan diri menjadi akademisi, atau saya ini adalah seorang akademisi yang bermimpi menjadi entertaint?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar