Halaman

Kamis, 15 September 2011

Miss Angola and Us


Baru-baru ini dilangsungkan perhelatan Miss Universe tahun 2011, dengan hasil pemenangnya adalah Miss Angola, Leila Lopes. Bicara soal Miss Angola, saya jadi ingat sebuah acara talkshow populer di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Sekitar tahun 2009, dalam salah satu segment di program tersebut, ada karakter yang disebut Miss Angola yang diperankan oleh salah seorang host acara tersebut, PP (inisial), yang biasanya selalu kebagian dikerjai. Dalam perannya sebagai Miss Angola itu, dia didandani dengan lumuran hitam-coklat, dan memakai pakaian yang terkesan primitif dan norak. 

Si ‘Miss Angola’ itu bertugas membacakan pernyataan seputar para artis yang menjadi bintang tamu program tersebut, mengenai hal-hal yang belum banyak diketahui publik mengenai artis tersebut. Apabila pernyataan itu benar, maka ‘Miss Angola’ tidak diapa-apakan. Tapi apabila pernyataannya itu ternyata dianggap salah oleh si artis, maka dua host lainnya, IB dan Pd, akan mengerjai si ‘Miss Angola’, entah itu disuruh makan yang banyak lah, dicoret-coret mukanya lah, dan sebagainya. Intinya, nampak bahwa dalam gambaran program talkshow tersebut, Angola adalah negara Afrika yang kuno, dan Miss-nya pun pasti berwajah jelek dan aneh. Di sinilah masalah yang ingin saya diskusikan.

Saya sama sekali tidak ingin menyinggung soal SARA di sini. Justru sebaliknya, saya ingin mengkritisi pola perilaku bangsa kita yang sebenarnya ‘rasis’, namun terselubung atau mungkin tidak kita sadari. Kita, terutama orang-orang dari Indonesia bagian barat, seringkali memandang rendah orang-orang berkulit hitam. Padahal di dunia barat, hal-hal seperti itu sudah ‘old school’ banget. Di liga-liga sepakbola Eropa, siapapun penonton yang rasis, maka klub yang didukungnya ataupun si penonton itu sendiri, akan dikenai sanksi. Begitu pula dalam hukum di Amerika Serikat. 
Tapi kita lihat di negara kita. Mengolok-olok antara satu ras dengan ras yang lain di media seperti televisi atau internet itu dianggap guyonan yang biasa saja. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin, termasuk saya sendiri, seringkali tanpa sadar mengejek atau menggunjingkan suku lain. Maraknya kasus kekerasan antar suku semakin menjadi bukti shahih : Inikah adab bangsa Timur yang katanya menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika? 

Kasus Miss Angola ini adalah pelajaran penting. Bangsa yang kita jadikan sebagai bahan olok-olokan, ternyata Putri-nya malah menjuarai Miss Universe. Sementara Putri Indonesia sendiri, dalam ajang yang sama, masuk 15 besar pun tidak! Untuk kasus Putri Indonesia ini pun, kita sebenarnya juga masih ‘rasis’, entah sadar ataupun tidak. Dalam tujuh perhelatan Putri Indonesia terakhir, hanya 2 kali dimenangkan oleh Putri dari luar Jawa. Bahkan 3 kali pemenangnya adalah Putri dari ibukota, Jakarta. Saya jadi mempertanyakan sistem penjuriannya. Padahal sudah TERBUKTI, satu-satunya yang berhasil masuk 15 besar Miss Universe (tepatnya tahun 2004) justru wakil dari luar Jawa, yaitu Artika Sari Devi (Bangka-Belitung) yang wajahnya ‘Indonesia banget’. Sementara mereka yang blasteran ‘Londo’, yang dianggap mampu menyaingi Putri-Putri dari Amerika Latin, nyatanya malah kalah. 

Itulah. Kita seringkali memandang rendah suku-suku bangsa tertentu, tapi di sisi lain justru terlalu mengagung-agungkan suku bangsa yang lain. Dalam stasiun tv yang sama dengan tempat talkshow yang saya ceritakan tadi bernaung, seringkali orang-orang bule begitu dihargai, kadang berlebihan. Begitu pula bagaimana mereka sekarang juga terkesan terlalu Korea-oriented. Seolah-olah, bangsa kita ini lebih rendah daripada mereka-mereka. 
Ironis. Memprihatinkan. Mental-mental seperti inilah yang membuat kita semakin menjadi ‘bangsa budak’, bahkan menjadi budak di negeri sendiri. Nanti, di tulisan yang lain, saya akan jelaskan bahwa sebenarnya bangsa kita ini lebih hebat dari mereka.  

Terakhir, saya jadi ingat kata-kata teman saya : 
“Perbedaan itu Biasa, tapi Jangan Biasa Membeda-bedakan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar