Halaman

Jumat, 09 Desember 2011

Winter Olympic Jayawijaya 2022



Jujur, saya meneteskan air mata ketika melihat foto-foto pegunungan Jayawijaya di Google (apalagi kalau ke sana ya?). Sungguh, kurang apa lagi anugerah yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Kita sudah memiliki 60 % dari total spesies tumbuhan di dunia, wilayah laut terluas di dunia, cadangan minyak 9,7 juta barel, 30 % mamalia dunia, 30.000 jenis tanaman obat, terumbu karang terkaya, cadangan gas alam terbesar ke-6 di dunia, bahkan hingga salju pun ada di Indonesia yang padahal adalah negara tropis. Akan tetapi, sungguh ironis karena kita tidak mampu memanfaatkannya untuk kemakmuran kita sendiri. Semuanya habis diambil perusahaan asing dan rakyat kita sendiri malah kelaparan. Itulah yang membuat saya sangat sedih.

Mungkin saking sedihnya, hingga otak saya konslet dan terbesitlah ide gila (kalau tidak bisa dibilang ekstrim) : menyelenggarakan Winter Olympic alias Olimpiade Musim Dingin di pegunungan Jayawijaya, khususnya Puncak Jaya. Mimpi? Nggak juga. Bukannya Indonesia lagi ‘hobi’ jadi tuan rumah event-event Internasional? Daripada nungguin niat nggak jelas ala PSSI untuk jadi tuan rumah Piala Dunia, mending KONI yang ‘sedikit’ lebih jelas organisasinya bisa mencoba merealisasikan ide ini.
Mustahil? Siapa bilang? Singapura dan UEA (Uni Emirat Arab) yang lahannya terbatas bisa jadi tuan rumah berbagai macam ajang internasional, dengan membangun pulau buatan dan sebagainya. Monako, salah satu negara terkecil di dunia, menyulap jalan rayanya jadi arena balap F1. Terkait olimpiade musim dingin ini sendiri, negara-negara tropis macam Jamaika, Madagaskar, sampai negara tetangga kita seperti Thailand dan Filipina nyatanya bisa turut berpartisipasi sebagai kontingen. Sementara ini, yang kemungkinan mengajukan diri (bidding) untuk jadi tuan rumah Winter Olympic 2022 baru negara-negara dingin klasik seperti Eropa dan A.S. Siapa tahu, ketika kita ikut bidding, panitia pemilihan malah jadi tertarik dan kagum, “Winter olympic in tropical country? Wow, that’s impressive! We’re gonna see the most unique olympic ever!”

Memang, akan ada sejumlah hambatan besar tentunya, seperti yang akan saya sebutkan berikut ini. Tapi, di sisi lain sebenarnya semuanya bisa diakali.
Pertama, soal venue. Okelah, untuk cabang-cabang outdoor kita bisa gunakan gunung Carstensz Pyramid dan sekitarnya itu. Tapi bagaimana dengan cabang-cabang indoor, seperti hoki es dan figure skating? Mungkin untuk yang satu ini kita bisa mengebut pembangunan gedungnya, sebagaimana kita mengebut pembangunan sejumlah venue SEA Games di Palembang kemarin. Tapi jangan lupakan juga, untuk yang outdoor pun banyak yang mesti ditata ulang dari lokasi yang ada. Selama ini Pegunungan Jayawijaya jarang, bahkan tidak pernah digunakan untuk wisata dan olahraga es, seperti untuk ski, luge, skeleton, skating, dsb., kecuali untuk pendakian semata. Memang di sana ada Taman Nasional Lorentz, tapi lebih banyak terfokus pada ekosistem tropis yang ada di sekitar Jayawijaya dan Yahukimo.
Semua ini nantinya akan berkaitan juga dengan masalah akomodasi dan transportasi. Selama ini, setidaknya ada 2 jalur yang bisa dan biasa digunakan oleh pendaki wisata untuk menuju Carstensz. Satu adalah melalui jalur desa Ilaga, dan yang lain adalah via helikopter menuju bukit danau. Sebenarnya juga bisa lewat area Tembagapura tambang emasnya Freeport, tapi butuh perizinan ribet dan medannya juga lebih terjal dan berbahaya. Bahkan, di sana tidak dibangun kereta gantung, selain untuk keperluan pertambangan Freeport.

Kelihatan bukan, bahwa sebelum bicara soal biaya dan teknis tata ulang daerah, ada satu biang kerok yang menghambat pengatasan kedua masalah tersebut : Freeport. Panitia winter olympic Sochi (Russia) 2014 merasa paling kerepotan karena harus merelokasi warga-warga yang ada di sekitar pegunungan tersebut. Di Papua, masalahnya akan lebih rumit dari itu. Sudah sejak zaman bahula konflik rakyat Papua vs freeport terjadi, dan telah menyangkut persoalan ekonomi, keamanan, hingga politik. Maka, mau tak mau pemerintah harus menyelesaikan masalah ini jika betul-betul ingin maju ke arena host bidding. Kepada masyarakat setempat, mesti dilakukan pendekatan budaya dan ekonomi. Buang jauh pendekatan militer. Kepada pihak freeport, saya rasa dari dulu cuma satu solusinya : ambil alih! Nggak ada yang lain. Selama kita masih ‘manut’ dan membiarkan saja perusahaan asing itu mengeruk kekayaan alam tanpa memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat setempat, ini masalah nggak akan selesai. Rakyat Papua sebenarnya hanya butuh keadilan, dan demi mereka, kita tidak boleh takut pada A.S dan kawan-kawannya.

sumber gambar : wisatamelayu.com
Sepertinya pembicaraan saya mulai merembet. Tapi memang itulah masalah pokoknya. Kalau soal konflik sosial sudah selesai, maka dampak positifnya akan terasa bagi Indonesia dan rakyat Papua. Salah satunya ya soal persiapan winter olympic ini. Pendekatan budaya dan ekonomi seperti yang saya bilang, mutlak perlu diterapkan pada masyarakat setempat. Jadikan adanya event winter olympic ini sebagai lahan mencari keuntungan bagi mereka. Winter olympic adalah event kelas dunia dan akan ada ratusan tamu asing yang datang, mulai dari atlet dan ofisialnya, pejabat publik, artis, hingga turis. Inilah yang perlu ditekankan pada masyarakat, dan tentu mereka akan senang dengan peluang emas ini.
Setelah pemerintah dan warga bisa bekerjasama, tata ulang dan renovasi akan enak dilaksanakan. Soal keamanan juga menjadi lebih terjamin. Kita bisa mulai membuat akses baru menuju Carstensz Pyramid yang lebih aman dan mudah, tapi tetap menantang dan eksotik. Dalam hal ini sarana dan prasarana trasnportasi perlu ditambah. Di situ juga bisa turut dibangun penginapan-penginapan, apalagi kalau lokasinya di dekat desa tradisional, biasanya bule-bule suka yang seperti itu. Tema ‘Indigenous Tropical Winter’ sepertinya menarik untuk diangkat nih. Apalagi dengan turut memanfaatkan Taman Lorentz berikut pemandangan indahnya.
Kemudian paling pokok tentu saja pembangunan arena-arenanya. Apabila asumsinya kita terpilih pada bidding 2015 dan olimpiadenya baru akan dilaksanakan pada 2022, maka waktu 7 tahun sekiranya cukup untuk persiapan. Asumsi biaya sekitar 5,7 miliar U.S dollar juga bisa diatur jauh-jauh hari. Yang terpenting, semua lokasi ini bisa digunakan untuk jangka panjang pasca olimpiade, yaitu seterusnya menjadi tempat wisata Internasional yang menguntungkan. Menarik bukan?

Lorentz National Park
Kemudian, soal panitia lokal. Menurut saya, ini seharusnya sama sekali bukan masalah jika orang-orang kita ini kompeten, bertanggung jawab, dan cukup punya nurani. Tapi lihat yang terjadi selama SEA Games 2011 kemarin. Mana yang korupsi wisma atlet lah, isu pengaturan skor lah, panitia dibilang nggak profesional lah, penonton nggak tertib lah, aduh pusing.. Saya kira anda sendiri tahu apa sih masalahnya dan gimana cara penyelesaiannya. Sudah banyak yang membahas soal ini dan capek rasanya. Tapi, sungguh saya yakin sebenarnya dalam dada bangsa kita masih tersimpan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Sense itu itulah yang perlu ditembak, agar masyarakat serta panitia terpantik dan sadar, “ini adalah event dunia, nama Indonesia dipertaruhkan di sini. Jadi, saya harus bisa membuat event ini berjalan selancar dan sebersih mungkin,” Yakin! Toh, keuntungannya juga untuk kita sendiri. (kecuali kalau ada yang mau mencari keuntungan ekstra lewat ‘jalur’ lain, itu beda cerita - penyakit bangsa, ckckck)

Di samping itu, masih ada satu masalah krusial lagi. Yaitu soal salju di Jayawijaya dan Puncak Jaya itu sendiri. Diperkirakan kuantitas salju di beberapa pegunungan di dunia, seperti Himalaya, Andes, Patagonia, hingga Jayawijaya akan terus berkurang tiap tahunnya, menyusul terjadinya Global Warming. Bahkan, diprediksi akan menghilang dalam waktu beberapa tahun ke depan, sebagaimana yang sudah terjadi di Kilimanjaro. Oke, ini adalah faktor alam. Tapi, kita semua tentu sudah hafal, apa penyebab global warming itu dan siapa pelakunya. Tak lain adalah manusia sendiri. Nah, dengan demikian, si manusia itu tentu mampu untuk mengatasinya. Dalam kasus Jayawijaya ini, setidaknya bisa menekan angka penurunan lapisan es yang ada. Saya bukan ahli geologi, tapi saya yakin di Indonesia ini banyak scientist yang mampu mencari solusi atas hal ini. Bahkan di Papua sendiri sudah banyak bibit-bibit ilmuwannya, hasil didikan pak Yohanes Surya contohnya.

Jadi, kesimpulannya, selama Indonesia mampu secara mandiri dan otonom memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki, serta membentuk sumber daya manusia yang kompeten dan bermoral, sangat mudah bagi kita untuk melakukan sesuatu yang positif yang mampu membuka mata dunia Internasional. Lebih khusus, termasuk memperhatikan daerah-daerah yang sebenarnya potensial tapi selama ini kurang terakomodir atau malah terlupakan. Faktor alam yang aslinya sulit dikendalikan pun dapat kita kontrol dan optimalkan. Dan, ‘the most unique winter olympic ever’ yang dibilang si panitia bidding tadi bukan lagi sebuah impian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar