Halaman

Sabtu, 23 Juli 2011

Kenapa Harus English ?


Baru-baru ini adik saya yang paling bungsu naik ke kelas 3 SD. Saya melihat-lihat jadwal pelajarannya yang baru. Semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Semuanya, bahkan ‘Pendidikan Kewarganegaraan’ ditulis ‘Citizenship’ – kesannya jadi seperti mata kuliah anak Hubungan Internasional. Bahasa Inggris memang telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib utama di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Bersama matematika dan bahasa Indonesia, mereka menjadi mata pelajaran yang di-UAN-kan, mulai dari SD hingga SMA.

Saya kemudian teringat, pernah menonton di situs youtube, bagaimana group girlband asal Jepang favorit saya, Morning Musume, tengah mengikuti sebuah reality show, di mana mereka belajar bahasa Inggris. Seusai menyaksikannya, langsung saja saya memberikan comment : “Pre-school children in Indonesia are more clever then them. But why Japan is more rich? That’s ironic..” Ya, memang ironis. Jepang, Korea Selatan, dan mungkin juga Rep.China, adalah negara-negara maju dan besar di kawasan Asia, bahkan dunia. Tapi bahasa Inggris mereka bahkan tidak lebih baik daripada kebanyakan anak-anak TK di Indonesia. Tapi kenapa negara kita jauh lebih miskin? Kalau memang kita pintar berbahasa Inggris, kenapa kita masih miskin? Kalau bisa maju tanpa bisa berbahasa Inggris, kenapa kita harus belajar bahasa Inggris? Lalu, apa gunanya kita belajar bahasa Inggris?

“...Biar bingung, asal British!” kira-kira seperti itulah penggalan lirik dari salah satu lagu group band Jamrud, ‘Asal British’. Kita, orang Indonesia mungkin memang banyak yang pintar berbahasa Inggris. Tapi seringkali kita sendiri bingung bagaimana ‘mempergunakannya’. Saya sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali mendengar dari guru-guru dan dosen-dosen saya, bahwa kita akan menghadapi perdagangan bebas, dan bahasa Inggris menjadi sangat penting untuk dapat bersaing dengan para pekerja asing di berbagai industri dan perdagangan kelak.

Oke, saya ‘nangkap’ maksud semua ini. Jadi, kita harus pintar bahasa Inggris, agar dapat diterima di perusahaan-perusahaan asing, dengan gaji besar, kemudian mengabdi kepada mereka yang notabene berinvestasi untuk mengeruk kekayaan alam kita sebesar-besarnya tanpa sedikit pun menguntungkan rakyat kita sendiri? Atau dengan kata lain, berarti tujuan kita belajar bahasa Inggris adalah untuk menjadi ‘pelayan yang baik’ bagi orang-orang asing, di tanah kita sendiri? Nah, ini dia point ke-ironis-annya!

Orang-orang Jepang, Korea, dan China, saudagar-saudagar kaya Timur Tengah, juga masyarakat negara-negara Eropa yang berbahasa non-Inggris (terutama Prancis), kesemuanya bukanlah orang-orang yang berintensi untuk dapat pintar berbahasa Inggris. Karena, mereka memang merasa tidak membutuhkan itu. Mereka sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mandiri dengan tetap mempertahankan identitas bangsanya, tanpa harus mengemis pada negara lain. Mereka memproduksi sendiri kebutuhan mereka secara aktif dan memiliki sendiri aset-aset negara yang penting. Meski tetap terbuka pada investasi asing dan juga kerjasama antar negara (bahkan menjadikannya penting), tapi mereka tidak lantas menggantungkan diri pada itu.

Itulah masalah negara kita. Lihatlah bagaimana kita begitu getol mengirimkan TKI dan TKW ke luar negeri, dengan harapan membawa devisa sebanyak-banyaknya pada negara, bahkan sampai rela disebut sebagai ‘bangsa budak’. Mereka yang dikirim itu, seringkali tidak memiliki ketrampilan yang memadai, kecuali ya bahasa asing itu tadi. Lihat sendiri, bagaimana hasilnya. Jangankan di tingkat lapisan masyarakat bawah hingga karyawan perusahaan swasta. Bahkan pemerintah kita pun punya banyak hutang pada negara-negara barat, yang konon belum bisa lunas sampai anak cucu kita. Cukup sudah simbol ketergantungan kita pada bangsa lain.

Saya menulis ini bukan karena anti-bahasa Inggris, atau malas mempelajarinya (alhamdulillah, kemampuan bahasa Inggris saya masih di atas rata-rata orang Indonesia), atau bahkan menganggapnya tidak penting. Bahasa Inggris itu penting, sangat penting bahkan. Tapi tidak kemudian lantas menjadi pelajaran utama dalam kurikulum pendidikan Nasional. Kita hendaknya menjadikan bahasa Inggris itu selevel dengan bahasa-bahasa lainnya, yaitu dengan memberikannya hanya jika dibutuhkan. Misalnya, bahasa Inggris dijadikan setingkat dengan pelajaran sosiologi atau kimia di SMA, atau dengan kata lain menjadi pelajaran pendamping. Bagi mereka yang merasa butuh bahasa Inggris lebih dalam – untuk bekerja atau mendapat beasiswa misalnya – dipersilahkan mengikuti kursus-kursus di luar sekolah.
Tapi, semua ini hanya dapat terlaksana kalau kita sudah dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap bangsa barat. Sayangnya, kita nampaknya belum sampai ke level itu. Atau belum mau? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar