Baru-baru
ini adik saya yang paling bungsu naik ke kelas 3 SD. Saya melihat-lihat jadwal
pelajarannya yang baru. Semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Semuanya, bahkan
‘Pendidikan Kewarganegaraan’ ditulis ‘Citizenship’ – kesannya jadi seperti mata
kuliah anak Hubungan Internasional. Bahasa Inggris memang telah menjadi salah
satu mata pelajaran wajib utama di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Bersama matematika dan bahasa Indonesia, mereka menjadi mata pelajaran yang
di-UAN-kan, mulai dari SD hingga SMA.
Saya
kemudian teringat, pernah menonton di situs youtube, bagaimana group girlband
asal Jepang favorit saya, Morning Musume, tengah mengikuti sebuah reality show,
di mana mereka belajar bahasa Inggris. Seusai menyaksikannya, langsung saja
saya memberikan comment : “Pre-school
children in Indonesia are more clever then them. But why Japan is more rich?
That’s ironic..” Ya, memang ironis. Jepang, Korea Selatan, dan mungkin juga
Rep.China, adalah negara-negara maju dan besar di kawasan Asia, bahkan dunia.
Tapi bahasa Inggris mereka bahkan tidak lebih baik daripada kebanyakan
anak-anak TK di Indonesia. Tapi kenapa negara kita jauh lebih miskin? Kalau
memang kita pintar berbahasa Inggris, kenapa kita masih miskin? Kalau bisa maju
tanpa bisa berbahasa Inggris, kenapa kita harus belajar bahasa Inggris? Lalu,
apa gunanya kita belajar bahasa Inggris?
“...Biar bingung, asal British!” kira-kira
seperti itulah penggalan lirik dari salah satu lagu group band Jamrud, ‘Asal
British’. Kita, orang Indonesia mungkin memang banyak yang pintar berbahasa
Inggris. Tapi seringkali kita sendiri bingung bagaimana ‘mempergunakannya’.
Saya sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali mendengar dari guru-guru dan
dosen-dosen saya, bahwa kita akan menghadapi perdagangan bebas, dan bahasa
Inggris menjadi sangat penting untuk dapat bersaing dengan para pekerja asing
di berbagai industri dan perdagangan kelak.
Oke,
saya ‘nangkap’ maksud semua ini. Jadi, kita harus pintar bahasa Inggris, agar
dapat diterima di perusahaan-perusahaan asing, dengan gaji besar, kemudian
mengabdi kepada mereka yang notabene berinvestasi untuk mengeruk kekayaan alam
kita sebesar-besarnya tanpa sedikit pun menguntungkan rakyat kita sendiri? Atau
dengan kata lain, berarti tujuan kita belajar bahasa Inggris adalah untuk
menjadi ‘pelayan yang baik’ bagi orang-orang asing, di tanah kita sendiri? Nah,
ini dia point ke-ironis-annya!
Orang-orang
Jepang, Korea, dan China, saudagar-saudagar kaya Timur Tengah, juga masyarakat
negara-negara Eropa yang berbahasa non-Inggris (terutama Prancis), kesemuanya
bukanlah orang-orang yang berintensi untuk dapat pintar berbahasa Inggris.
Karena, mereka memang merasa tidak membutuhkan itu. Mereka sadar bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang mandiri dengan tetap mempertahankan identitas
bangsanya, tanpa harus mengemis pada negara lain. Mereka memproduksi sendiri
kebutuhan mereka secara aktif dan memiliki sendiri aset-aset negara yang
penting. Meski tetap terbuka pada investasi asing dan juga kerjasama antar
negara (bahkan menjadikannya penting), tapi mereka tidak lantas menggantungkan
diri pada itu.
Itulah
masalah negara kita. Lihatlah bagaimana kita begitu getol mengirimkan TKI dan
TKW ke luar negeri, dengan harapan membawa devisa sebanyak-banyaknya pada
negara, bahkan sampai rela disebut sebagai ‘bangsa budak’. Mereka yang dikirim
itu, seringkali tidak memiliki ketrampilan yang memadai, kecuali ya bahasa
asing itu tadi. Lihat sendiri, bagaimana hasilnya. Jangankan di tingkat lapisan
masyarakat bawah hingga karyawan perusahaan swasta. Bahkan pemerintah kita pun
punya banyak hutang pada negara-negara barat, yang konon belum bisa lunas
sampai anak cucu kita. Cukup sudah simbol ketergantungan kita pada bangsa lain.
Saya
menulis ini bukan karena anti-bahasa Inggris, atau malas mempelajarinya
(alhamdulillah, kemampuan bahasa Inggris saya masih di atas rata-rata orang
Indonesia), atau bahkan menganggapnya tidak penting. Bahasa Inggris itu
penting, sangat penting bahkan. Tapi tidak kemudian lantas menjadi pelajaran
utama dalam kurikulum pendidikan Nasional. Kita hendaknya menjadikan bahasa
Inggris itu selevel dengan bahasa-bahasa lainnya, yaitu dengan memberikannya
hanya jika dibutuhkan. Misalnya, bahasa Inggris dijadikan setingkat dengan
pelajaran sosiologi atau kimia di SMA, atau dengan kata lain menjadi pelajaran
pendamping. Bagi mereka yang merasa butuh bahasa Inggris lebih dalam – untuk
bekerja atau mendapat beasiswa misalnya – dipersilahkan mengikuti kursus-kursus
di luar sekolah.
Tapi,
semua ini hanya dapat terlaksana kalau kita sudah dapat melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap bangsa barat. Sayangnya, kita nampaknya belum sampai ke
level itu. Atau belum mau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar