Halaman

Kamis, 14 Juli 2011

'Kid's Choice' atau 'Choice for Kid' ?


Di sebuah stasiun tv, tiap tahunnya diselenggarakan sebuah ajang penghargaan (award), yaitu memilih artis-artis terbaik Indonesia berdasarkan pilihan dari pemirsa usia anak-anak. Satu hal yang membuat saya prihatin dari ajang ini adalah, daftar nominasi artis-artis yang diberikan oleh panitia untuk dipilih oleh anak-anak itu. Kebanyakan adalah artis-artis dewasa seperti Raffi Ahmad, Agnes Monica, T2, group band-group band dewasa, sampai Cinca...eh..Cinta Laura pun ada. Saya sama sekali tidak mengatakan artis-artis itu jelek atau buruk (saya mengakui mereka adalah artis-artis terbaik di negeri ini dan juga orang-orang yang baik), tapi konteksnya tidak pas kalau mereka yang dijadikan pilihan bagi anak-anak.

Mungkin sudah banyak sekali tulisan yang mengkritisi tentang bagaimana anak-anak Indonesia sekarang seperti kehilangan artis-artis idola yang pas bagi usia perkembangan mereka. Kalau jaman saya kecil dulu, lagu-lagu anak-anak masih sangat marak. Saya yang autis pun masih bisa menikmati ‘Si Komo Lewat’, ‘Lumba-Lumba’, ‘Dakocan’, ‘Dinosaurus’, sampai lagunya Agnes waktu kecil, ‘Yess’. Saya juga masih bisa mengenal dan mengalami, atau setidaknya mengetahui bahwa ada artis-artis anak seperti Trio Kwek-kwek, Meissy, Enno Lerian, Puput Melati, dan yang paling saya suka Ria Enes dan Susan. Anak-anak sekarang ? Masa’ anak-anak nyanyinya ‘Status Palsu’, ‘Teman Tapi Mesra’, ‘Cari Pacar Lagi’, ‘Cinta Gila’, ‘Play Boy’, hingga lagu-lagu yang ada kata-kata ‘selingkuh’-nya. Aduuuuh. Saya dulu masih punya tontonan Donal bebek, Doraemon, Candy-candy, sampai Amigos X Siempre. Anak-anak sekarang ? ‘Cinta Cenat-Cenut’ ? Capek deeeh!!

Ajang yang saya sebutkan tadi, mengadaptasi dari sebuah acara serupa dari suatu stasiun tv khusus anak-anak asal A.S (ngakunya sih tv anak-anak, tapi kartunnya kebanyakan sama sekali tidak mendidik, dengan banyaknya perilaku-perilaku tokohnya yang kadang kasar ataupun nggak sopan, disertai ucapan-ucapan yang tak pantas, dan banyak cerita cinta-cintaan yang gak tepat untuk konsumsi anak-anak). Label yang digunakan adalah ‘Kid’s Choice’. Tapi kesan yang ada justru sebaliknya. Anak-anak sesungguhnya tidaklah bebas memilih, tapi mereka telah diskematisasi dalam pilihan-pilihan tertentu. Dengan kata lain, anak-anaklah yang terpaksa (atau dipaksa) memilih pilihan yang terbatas tersebut. Anak-anak sekarang tidak pernah bisa memilih artis-artis, penyanyi-penyanyi, ataupun film-film yang tepat dan sesuai dengan usia mereka, karena mereka setiap harinya terus dicekoki oleh porsi-porsi tayangan dan acara orang dewasa melulu. Ini namanya bukan ‘Kid’s Choice’, melainkan ‘Choice for Kid’.

Ini adalah salah satu adegan di panggung ajang tersebut tahun 2009.
Inikah acara untuk anak-anak ?
Saya tidak mempermasalahkan apa-apa melainkan begini : Apabila anak-anak didorong untuk memiliki idola orang-orang dewasa, berikut dengan tontonan-tontonan berbau dewasa, maka akan terjadi proses modeling (meniru) dari diri anak-anak tersebut. Usia anak-anak merupakan masa di mana manusia akan cenderung lebih banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang lain di lingkungannya, terkadang tanpa berpikir panjang. Saya sudah melihat dengan mata kepala sendiri banyaknya anak-anak sekarang yang dandanannya meniru artis-artis dewasa, meliputi make up-nya, pakaiannya yang seksi, sampai bergaya bak model. Banyak juga yang sudah suka pacar-pacaran, padahal masih kelas 1 SD.

Di kampung saya sendiri, banyak anak kecil yang sudah suka memamerkan HP, dan juga berpakaian serta mengucapkan kata-kata yang biasa digunakan oleh artis-artis remaja di tv yang sebenarnya itu belum waktunya untuk mereka lakukan. Bahayanya, perilaku-perilaku dan pemikiran yang ditanamkan pada individu di masa kecil, dapat masuk ke kognisi dan pikiran bawah sadar mereka, dan terbawa hingga dewasa. Seringkali anak-anak yang suka berperilaku yang tidak sesuai dengan tahap atau tugas perkembangannya, kemudian akan mengalami hambatan perkembangan. Anak-anak semacam ini akan berpotensi melakukan perilaku patologi (penyimpangan) sosial di kemudian hari. Kalau itu sampai terjadi (dan faktanya sudah banyak terjadi), apa stasiun-stasiun tv itu mau bertanggung jawab ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar