Jujur,
saya meneteskan air mata ketika melihat foto-foto pegunungan Jayawijaya di
Google (apalagi kalau ke sana ya?). Sungguh, kurang apa lagi anugerah yang
diberikan Tuhan kepada Indonesia. Kita sudah memiliki 60 % dari total spesies
tumbuhan di dunia, wilayah laut terluas di dunia, cadangan minyak 9,7 juta
barel, 30 % mamalia dunia, 30.000 jenis tanaman obat, terumbu karang terkaya,
cadangan gas alam terbesar ke-6 di dunia, bahkan hingga salju pun ada di
Indonesia yang padahal adalah negara tropis. Akan tetapi, sungguh ironis karena
kita tidak mampu memanfaatkannya untuk kemakmuran kita sendiri. Semuanya habis
diambil perusahaan asing dan rakyat kita sendiri malah kelaparan. Itulah yang
membuat saya sangat sedih.
Mungkin
saking sedihnya, hingga otak saya konslet dan terbesitlah ide gila (kalau tidak
bisa dibilang ekstrim) : menyelenggarakan Winter Olympic alias Olimpiade Musim
Dingin di pegunungan Jayawijaya, khususnya Puncak Jaya. Mimpi? Nggak juga. Bukannya Indonesia lagi ‘hobi’ jadi
tuan rumah event-event Internasional? Daripada nungguin niat nggak jelas ala
PSSI untuk jadi tuan rumah Piala Dunia, mending KONI yang ‘sedikit’ lebih jelas
organisasinya bisa mencoba merealisasikan ide ini.
Mustahil?
Siapa bilang? Singapura dan UEA (Uni Emirat Arab) yang lahannya terbatas bisa
jadi tuan rumah berbagai macam ajang internasional, dengan membangun pulau
buatan dan sebagainya. Monako, salah satu negara terkecil di dunia, menyulap
jalan rayanya jadi arena balap F1. Terkait olimpiade musim dingin ini sendiri,
negara-negara tropis macam Jamaika, Madagaskar, sampai negara tetangga kita
seperti Thailand dan Filipina nyatanya bisa turut berpartisipasi sebagai
kontingen. Sementara ini, yang kemungkinan mengajukan diri (bidding) untuk jadi tuan rumah Winter
Olympic 2022 baru negara-negara dingin klasik seperti Eropa dan A.S. Siapa
tahu, ketika kita ikut bidding,
panitia pemilihan malah jadi tertarik dan kagum, “Winter olympic in tropical country? Wow, that’s impressive! We’re gonna
see the most unique olympic ever!”
Memang,
akan ada sejumlah hambatan besar tentunya, seperti yang akan saya sebutkan
berikut ini. Tapi, di sisi lain sebenarnya semuanya bisa diakali.
Pertama,
soal venue. Okelah, untuk cabang-cabang outdoor kita bisa gunakan gunung Carstensz
Pyramid dan sekitarnya itu. Tapi bagaimana dengan cabang-cabang indoor, seperti
hoki es dan figure skating? Mungkin
untuk yang satu ini kita bisa mengebut pembangunan gedungnya, sebagaimana kita
mengebut pembangunan sejumlah venue SEA Games di Palembang kemarin. Tapi jangan
lupakan juga, untuk yang outdoor pun banyak yang mesti ditata ulang dari lokasi
yang ada. Selama ini Pegunungan Jayawijaya jarang, bahkan tidak pernah
digunakan untuk wisata dan olahraga es, seperti untuk ski, luge, skeleton, skating, dsb., kecuali untuk pendakian semata. Memang
di sana ada Taman Nasional Lorentz, tapi lebih banyak terfokus pada ekosistem
tropis yang ada di sekitar Jayawijaya dan Yahukimo.
Semua
ini nantinya akan berkaitan juga dengan masalah akomodasi dan transportasi. Selama
ini, setidaknya ada 2 jalur yang bisa dan biasa digunakan oleh pendaki wisata untuk
menuju Carstensz. Satu adalah melalui jalur desa Ilaga, dan yang lain adalah
via helikopter menuju bukit danau. Sebenarnya juga bisa lewat area Tembagapura
tambang emasnya Freeport, tapi butuh perizinan ribet dan medannya juga lebih
terjal dan berbahaya. Bahkan, di sana tidak dibangun kereta gantung, selain
untuk keperluan pertambangan Freeport.
Kelihatan
bukan, bahwa sebelum bicara soal biaya dan teknis tata ulang daerah, ada satu
biang kerok yang menghambat pengatasan kedua masalah tersebut : Freeport.
Panitia winter olympic Sochi (Russia) 2014 merasa paling kerepotan karena harus
merelokasi warga-warga yang ada di sekitar pegunungan tersebut. Di Papua,
masalahnya akan lebih rumit dari itu. Sudah sejak zaman bahula konflik rakyat
Papua vs freeport terjadi, dan telah menyangkut persoalan ekonomi, keamanan,
hingga politik. Maka, mau tak mau pemerintah harus menyelesaikan masalah ini
jika betul-betul ingin maju ke arena host
bidding. Kepada masyarakat setempat, mesti dilakukan pendekatan budaya dan
ekonomi. Buang jauh pendekatan militer. Kepada pihak freeport, saya rasa dari
dulu cuma satu solusinya : ambil alih! Nggak ada yang lain. Selama kita masih
‘manut’ dan membiarkan saja perusahaan asing itu mengeruk kekayaan alam tanpa
memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat setempat, ini masalah nggak
akan selesai. Rakyat Papua sebenarnya hanya butuh keadilan, dan demi mereka,
kita tidak boleh takut pada A.S dan kawan-kawannya.
|
sumber gambar : wisatamelayu.com |
Sepertinya
pembicaraan saya mulai merembet. Tapi memang itulah masalah pokoknya. Kalau
soal konflik sosial sudah selesai, maka dampak positifnya akan terasa bagi
Indonesia dan rakyat Papua. Salah satunya ya soal persiapan winter olympic ini.
Pendekatan budaya dan ekonomi seperti yang saya bilang, mutlak perlu diterapkan
pada masyarakat setempat. Jadikan adanya event winter olympic ini sebagai lahan
mencari keuntungan bagi mereka. Winter olympic adalah event kelas dunia dan
akan ada ratusan tamu asing yang datang, mulai dari atlet dan ofisialnya, pejabat
publik, artis, hingga turis. Inilah yang perlu ditekankan pada masyarakat, dan
tentu mereka akan senang dengan peluang emas ini.
Setelah
pemerintah dan warga bisa bekerjasama, tata ulang dan renovasi akan enak
dilaksanakan. Soal keamanan juga menjadi lebih terjamin. Kita bisa mulai
membuat akses baru menuju Carstensz Pyramid yang lebih aman dan mudah, tapi
tetap menantang dan eksotik. Dalam hal ini sarana dan prasarana trasnportasi
perlu ditambah. Di situ juga bisa turut dibangun penginapan-penginapan, apalagi
kalau lokasinya di dekat desa tradisional, biasanya bule-bule suka yang seperti
itu. Tema ‘Indigenous Tropical Winter’ sepertinya menarik untuk diangkat nih. Apalagi
dengan turut memanfaatkan Taman Lorentz berikut pemandangan indahnya.
Kemudian
paling pokok tentu saja pembangunan arena-arenanya. Apabila asumsinya kita terpilih
pada bidding 2015 dan olimpiadenya baru akan dilaksanakan pada 2022, maka waktu
7 tahun sekiranya cukup untuk persiapan. Asumsi biaya sekitar 5,7 miliar U.S
dollar juga bisa diatur jauh-jauh hari. Yang terpenting, semua lokasi ini bisa
digunakan untuk jangka panjang pasca olimpiade, yaitu seterusnya menjadi tempat
wisata Internasional yang menguntungkan. Menarik bukan?
|
Lorentz National Park |
Kemudian,
soal panitia lokal. Menurut saya, ini seharusnya sama sekali bukan masalah jika
orang-orang kita ini kompeten, bertanggung jawab, dan cukup punya nurani. Tapi
lihat yang terjadi selama SEA Games 2011 kemarin. Mana yang korupsi wisma atlet
lah, isu pengaturan skor lah, panitia dibilang nggak profesional lah, penonton
nggak tertib lah, aduh pusing.. Saya kira anda sendiri tahu apa sih masalahnya
dan gimana cara penyelesaiannya. Sudah banyak yang membahas soal ini dan capek
rasanya. Tapi, sungguh saya yakin sebenarnya dalam dada bangsa kita masih
tersimpan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Sense itu itulah yang perlu ditembak, agar masyarakat serta panitia
terpantik dan sadar, “ini adalah event dunia, nama Indonesia dipertaruhkan di
sini. Jadi, saya harus bisa membuat event ini berjalan selancar dan sebersih
mungkin,” Yakin! Toh, keuntungannya juga untuk kita sendiri. (kecuali kalau ada
yang mau mencari keuntungan ekstra lewat ‘jalur’ lain, itu beda cerita - penyakit
bangsa, ckckck)
Di
samping itu, masih ada satu masalah krusial lagi. Yaitu soal salju di
Jayawijaya dan Puncak Jaya itu sendiri. Diperkirakan kuantitas salju di
beberapa pegunungan di dunia, seperti Himalaya, Andes, Patagonia, hingga
Jayawijaya akan terus berkurang tiap tahunnya, menyusul terjadinya Global
Warming. Bahkan, diprediksi akan menghilang dalam waktu beberapa tahun ke
depan, sebagaimana yang sudah terjadi di Kilimanjaro. Oke, ini adalah faktor
alam. Tapi, kita semua tentu sudah hafal, apa penyebab global warming itu dan
siapa pelakunya. Tak lain adalah manusia sendiri. Nah, dengan demikian, si
manusia itu tentu mampu untuk mengatasinya. Dalam kasus Jayawijaya ini,
setidaknya bisa menekan angka penurunan lapisan es yang ada. Saya bukan ahli
geologi, tapi saya yakin di Indonesia ini banyak scientist yang mampu mencari
solusi atas hal ini. Bahkan di Papua sendiri sudah banyak bibit-bibit
ilmuwannya, hasil didikan pak Yohanes Surya contohnya.
Jadi,
kesimpulannya, selama Indonesia mampu secara mandiri dan otonom memanfaatkan
sumber daya alam yang dimiliki, serta membentuk sumber daya manusia yang
kompeten dan bermoral, sangat mudah bagi kita untuk melakukan sesuatu yang
positif yang mampu membuka mata dunia Internasional. Lebih khusus, termasuk
memperhatikan daerah-daerah yang sebenarnya potensial tapi selama ini kurang
terakomodir atau malah terlupakan. Faktor alam yang aslinya sulit dikendalikan
pun dapat kita kontrol dan optimalkan. Dan, ‘the most unique winter olympic
ever’ yang dibilang si panitia bidding
tadi bukan lagi sebuah impian.