Akhir April lalu, saya mendapat
kesempatan untuk berpergian ke luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidup
saya, tepatnya ke Korea Selatan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ar Razaq
yang telah memberi saya keberuntungan tersebut. Terima kasih juga kepada pihak
Zimmer Institute yang telah mengundang dan membiayai segala akomodasi saya untuk
ke dan selama di sana. Uniknya, Korea Selatan sebenarnya tidak termasuk dalam
daftar 10 Negara yang ingin saya kunjungi , yang pernah saya tulis di blog ini
pada sekitar bulan April tahun 2011 lalu, tepat setahun lah. Tapi, itulah
misteri Ilahi.
Dahulunya, terutama pada masa-masa awal
pasca Perang Korea dengan Korea Utara di sekitar era 1950 hingga 1970-an,
Korsel bukanlah sebuah negara yang maju, bahkan tergolong miskin. Di saat di
negara kita Bung Karno mampu menantang negara-negara Barat dan membuat keder
bangsa-bangsa Asia lainnya, Korsel masih bergulat untuk bangkit dari kepayahan
ekonomi. Bahkan di saat terjadi krisis moneter Internasional tahun 1998, mereka
jauh lebih terpuruk daripada Indonesia. Tapi, kenapa dalam waktu yang relatif
singkat mereka mampu berubah wujud menjadi negara maju, bahkan mulai dapat
melebihi negara-negara tetangganya seperti Jepang dan China?
Berikut ini beberapa hal yang saya
cermati dan rasakan selama di sana, dan ternyata banyak sekali yang berbeda
dibandingkan dengan yang saya jumpai di Indonesia, terutama dari segi perilaku
manusianya :
1. Bersih
|
kalau di taman monas, kira-kira mau gak ya bule-bule itu tiduran kayak begini? |
Jujur, saya shock
ketika berjalan-jalan di ‘alun-alun’ kota Seoul di hari terakhir saya di Korea.
Alun-alun tersebut berada di pusat sebuah kota megapolitan. Anda tentu akan
membayangkan lalu-lintas padat, dan membuat taman kota itu menjadi bising,
kotor, dan kurang nyaman. Anda salah besar! Ya, lalu lintas di sekitarnya
memang sangat padat dan kadang macet. Tapi alun-alun itu sendiri sangat amat
bersih. Bahkan, udara di sekitar rumah saya di sebuah dusun (catet : dusun) di
Sleman Utara tidak pernah sebersih itu! Ini sungguh sesuatu yang ironis bagi
saya.
Tempat sampah di kota
Seoul sangat jarang, barangkali tiap 50-100 meter barulah kita ketemu dengan
tong sampah. Tapi, jalanannya bersih luar biasa, nyaris tidak ada sampah
plastik atau kertas yang berserakan. Saya tidak berlebihan. Saya ke sana
bersama dengan dua orang dokter yang sebelumnya sudah pernah ke Jerman dan
Amerika, dan mereka sepakat mengatakan bahwa kedua negara tersebut tidak
sebersih Seoul.
Sekarang, coba
bandingkan itu semua dengan Jakarta. Ah, rasanya gak usah dibandingkan deh,
sangat kentara sekali perbedaannya. Kebersihan adalah salah satu perlambang
kerapian dan ketertiban berpikir seorang individu. Jika itu mewujud dalam
sebuah sistem tatanan sosial yang lebih besar seperti kota, maka itulah lambang
ketertiban warga setempat. Lingkungan yang bersih juga mampu membuat kita
merasa nyaman dan sehat dalam beraktivitas, yang dampaknya akan mampu
meningkatkan kinerja. Jadi, sebelum bicara masalah apapun terkait poleksosbud,
lebih baik diawali dulu dengan membuat Indonesia bersih. Kalau Indonesia
bersih, itu adalah langkah pertama membuat kinerja bangsa menjadi lebih baik.
2. Menghargai
dan mencintai milik bangsa sendiri
|
foto pertama begitu menjejakkan kaki di Korea,
langsung nampak bagaimana mereka begitu membanggakan 'milik sendiri' |
Saat ini demam K-Pop
dan Hallyu (budaya Korea) sedang gencar-gencarnya menginvasi dan menguasai
pasar Indonesia. Sebelum berangkat ke Korea, saya sempat bertanya-tanya,
seperti apa kalau di negara asalnya sendiri? Ternyata, memang lebih ‘parah’. Di
manapun toko, pasar, restoran, kantor, supermarket, bahkan di jalanan, semuanya
senantiasa memutar lagu-lagu K-Pop. Di baliho-baliho, banner-banner, semua
tempat pemasangan iklan, yang ditonjolkan adalah artis-artis Drama Korea. Saya
nyaris tidak menemukan adanya lagu-lagu barat yang diputar di area umum, begitu
pula dengan artis-artis Hollywood yang
sangat jarang ada di berbagai baliho.
Rupanya begitulah cara
bangsa Korea begitu menghargai dan mencintai kepunyaannya sendiri. Penghargaan
seperti itulah yang membuat mereka bangga dan termotivasi untuk mempromosikan
budayanya ke negara-negara lain, hingga bisa mewabah seperti sekarang ini.
Sementara di tempat kita? Lagu dangdut dan campursari dianggap kampungan,
norak, gak pantas diputar di tempat-tempat elite, dan berbagai bentuk
‘under-estimating’ lain. Hei, bagaimana budaya kita mau terkenal dan diakui
dunia, kalau bangsanya sendiri aja menganggap remeh seperti itu! Kita malah
asyik dan bangga dengan punya orang lain.
Nggak cuma soal seni.
Hampir semua mobil di sana menggunakan Hyundai dan KIA, produk domestik mereka
sendiri. Hampir semua barang elektronik menggunakan Samsung dan LG. Okelah,
mungkin kualitas produk teknologi kita nggak secanggih mereka. Tapi, kita harus
ingat bahwa kita sebenarnya masih punya banyak ilmuwan dan ahli I.T yang
cerdas-cerdas..eh...jenius. Namun sayang, seringkali penemuan mereka nggak
dipedulikan (apalagi oleh pemerintah), hingga akhirnya mereka memilih berkarir
di luar negeri saja. Jadilah kita nggak kebagian pinternya mereka.
Padahal kalau kita mau
berdikari dan tidak banyak mengimpor seperti sekarang, saya haqqul yakin kita bisa lebih maju dari
bangsa Asia manapun. Bukannya kita semua tahu kalau negara kita kaya SDA dan
budaya? Tapi, lari ke man...ah, basa-basi seperti ini sudah sering saya dengar
dan baca, tapi tetap nggak perah ada tindak lanjut yang nyata. Kalau emang
pemerintahnya nggak bisa diharapin, ya udah deh, mulai aja dari lingkup kecil
dulu.
3. Kerja
keras lebih dari yang lain
Jam berapa para
karyawan di Jogjakarta pulang kantor? Jam berapa para pengusaha di Jakarta
pulang kerja? Saya mungkin ada 2-3 hari di Seoul di mana saya masih berada di
jalanan hingga pukul 23.30 malam waktu setempat. Jam segitu, jalanan di Seoul
masih sangat padat dan ramai dengan kendaraan. Di Indonesia, saya termasuk
orang yang berjalan lebih cepat daripada orang lain. Tapi begitu di sana,
ternyata semua orang berjalan lebih cepat daripada saya!
Saya bukan termasuk
tipe orang yang bekerja dan berpikir secara cepat, mungkin karena terlalu
hati-hati. Kecepatan berjalan saya sama sekali tidak berbanding lurus dengan kecekatan
kerja saya. Tapi nampaknya tidak demikian dengan orang Korea. Kecepatan
berjalan mereka ternyata memang sesuai dengan bagaimana mereka bekerja. Saya
sangat jarang melihat ada orang yang berleha-leha, nongkrong di jalan sambil
bersendau gurau, kecuali mungkin di rumah makan atau kafe yang memang tempatnya
istirahat. Konon, orang Korea punya pepatah seperti ini : “Saat orang lain
tidur, kita harus bangun. Saat orang lain bangun, kita harus berdiri. Saat
orang lain berdiri, kita harus berjalan. Saat orang lain berjalan, kita harus
berlari. Saat orang berlari, kita harus terbang.”
Pada medio 1990-an
hingga awal 2000-an, Korea Selatan menyadari bahwa mereka telah tertinggal jauh
dari para negara tetangganya seperti Jepang dan China. Maka, tak ada cara lain
kecuali mereka harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras dan lebih produktif
daripada kedua negara itu. Inilah cikal bakal akhirnya Korsel kini bisa
mewujudkan impiannya.
Kita? Bisanya cuma
marah-marah melihat tingkah Malaysia. Atau hanya bengong saja melihat kemajuan
Singapura. Tidak ada, sama sekali tidak ada hal positif yang kita lakukan. Para
pekerja - khususnya kerah putih – di negara kita tetap saja lebih malas dari
negara lain. Lihat saja yang terjadi di kantor-kantor pemda atau dinas
pemerintah sepanjang hari. Lebih banyak mana baca koran dan main catur daripada
kerjanya? Karyawan swasta juga begitu-gitu saja kerjanya : yang penting sesuai
prosedur dan perintah bos, itu sudah cukup. Akhirnya yang kaya ya bos-bosnya
saja. Sementara, mereka yang betul-betul bekerja keras seperti tukang becak,
pemulung, pedagang keliling, ya hanya gitu-gitu saja hidupnya. Untuk yang satu ini,
salah siapa? Ah, saya gak mau nyari-nyari kesalahan. Mungkin salah saya juga,
tidak bertindak dan beraksi. Saya saja, atau ada yang lain nih?
4. Disiplin
|
kapan ya ngantri busway bisa kayak gini? -gak pake umpek-umpekan dan rapi |
Saya termasuk orang
yang suka menunda-nunda pekerjaan. Saya juga terbiasa dengan budaya molor di
berbagai organisasi yang saya ikuti selama ini. Begitu saya mengikuti workshop
di luar negeri untuk pertama kalinya (catet : betul-betul pertama kali),
langsung saja saya mendapat tamparan keras. Gara-gara, maaf, pub dan mandi
teralu lama, saya terlambat naik ke bus yang akan membawa kami dari penginapan
menuju Yonsei University. Kontan rekan saya memarahi saya habis-habisan karena
teman-teman dari negara lain dan profesor yang akan mengisi seminar sudah
menunggu. Jadwal berangkat pukul 08.00, pukul 07.50 para panitia sudah
betul-betul siap. Hal ini sama sekali tidak pernah saya temui seumur hidup saya
beraktivitas sosial di Indonesia. Yang ada, jadwal acara misalnya harusnya
mulai jam 8, jam 10 baru mulai deh tuh. Jadilah saya terkaget-kaget begitu
menghadapi kenyataan yang sangat berbeda, di belahan dunia yang lain.
Berdasar pengalaman
itu, barulah saya paham kenapa seorang teman saya di Senyum Community yang dulu
pernah sekolah di Korea, dia selalu datang tepat waktu tiap kali rapat.
Hmm...rasanya untuk yang satu ini saya tidak perlu banyak basa-basi. Anda
bayangkan saja bagaimana seandainya semua orang Indonesia bisa disiplin waktu
seperti teman saya ini.
Bukan cuma disiplin
waktu, tapi juga dalam menaati peraturan. Paling mudah adalah soal lampu merah.
Jangankan kendaraan, di Korea orang jalan kaki saja sangat patuh pada traffic
light. Pernah suatu kali, jalanan sepi. Di kedua sisi trotoar, pejalan kaki
sudah padat dan siap untuk menyeberang, termasuk saya. Tapi karena lampu
traffic masih menyala merah untuk pejalan kaki, mereka tidak maju selangkah
pun! Saya hanya bisa membatin waktu itu , “coba kalau ini di Indonesia, pasti
dah pada nyeberang tuh”. Jangankan jalanan sepi, jalanan ramai saja gak peduli
: lampu kuning = ngebut, coy! Inilah masalahnya : di Indonesia, peraturan
dibuat untuk dilanggar. Jangankan warga, yang bikin peraturan sendiri saja juga
melanggar koq!
Apapun yang saya tulis
ini sama sekali bukan berarti saya begitu mengagumi Korsel dan ‘menyesal’ jadi
orang Indonesia. Justru sebaliknya, karena saya begitu percaya bahwa kita
memiliki potensi yang jauh lebih banyak daripada mereka, hingga seharusnya dan
tentunya kita bisa lebih maju daripada mereka. Kalau sekarang kenyataannya
tidak, yaaa...semua berpulang pada manusianya. Karena Yang Di Atas telah
menitipkan, dan gimana jadinya titipan itu ya pinter-pinternya + bener-kagaknya
yang ngelola.