Halaman

Rabu, 29 Februari 2012

cerbung : Gadis yang Menatap ke Pantai (bag.1)


Pintu kayu itu nampak telah lapuk. Daun pintunya bengkok. Bagian kusennya telah oleng, mur-mur bautnya nyaris copot. Aku yakin, kudorong sedikit saja, pintu itu akan ambruk. Namun, kucoba membukanya perlahan saja. Hawa gelap langsung menghembus wajahku begitu pintu itu mulai sedikit terbuka.
Benar saja. Lorong lurus yang gelap dan cukup sempit untuk dua orang. Untungnya aku hanya sendiri. Aku tak mampu melihat ujung lorong itu, nampaknya sangat panjang. Kucoba menerawang jauh ke depan, hanya ada sedikit cahaya-cahaya kecil. Sepertinya berasal dari lampu-lampu minyak model lawas, yang menempel di tiap beberapa jengkal temboknya. Mungkin.

Sebaiknya kutantang saja. Aku mulai melangkahkan kaki sedikit demi sedikit memasuki lorong tersebut. Kutengadahkan tatapanku ke langit-langit. Sarang laba-laba menjuntai di sana-sini, seperti pita hiasan ulang tahun. Dan benar, lampu-lampu minyak model lawas menempel di tembok. Tapi itu tak lantas membuat seisi ruangan jadi terang. Semakin aku masuk, lampu semakin sedikit, dan semakin gelap.
Kuendapkan langkah perlahan. Sejauh yang aku raba di sisi kiri kananku, hanya tembok bata yang telah berlumut. Aku bersyukur belum tersandung apapun dari tadi. Semakin gelap.
Takut? Tidak. Aku telah bertekad harus mencapai ujung lorong ini. Aku merasa, akan ada sesuatu yang sangat berharga. Entah di ujung sana, entah di sebuah ruangan, entah di mana.

Akan tetapi, sudah hampir 20 meter jauhnya aku hanya menelusuri sebuah lorong. Untunglah, kegelapan mulai sirna, begitu aku mencapai ruangan itu. Ruang tengah yang bundar, dengan sebuah lampu hias nan indah dan terang yang menggantung di atasnya. Hanya ada sebuah meja kayu bundar di ruangan tersebut. Tepat di tengah ruangan. Ruangan yang seharusnya bisa memuat sofa, meja panjang, dan sebuah tivi. Persis ruang tengah rumahku. Tapi, hanya ada sebuah meja bundar yang kecil.
“Untuk apa meja ini?” pikirku dalam hati. Berharap ada yang lainnya. Kumemutarkan badan, melihat ke sekililing. Hanya ada 2 buah jalan tanpa pintu. Yang satu lorong yang sudah kulalui tadi. Satu lagi, sepertinya hanya lorong panjang juga. Sama gelap dan sempitnya. Sama-sama tak bisa kulihat ujungnya.

Ah, coba lagi. Kulangkahkan kakiku mantap menuju lorong berikut itu.
Agar tak gelap, kuambil salah satu mangkok dengan lilin menyala, yang menggantung di tembok pangkal lorong ini.
Kususuri perlahan. Tak lagi terlalu gelap memang. Tapi, makin mencekam.
Kulihat sebuah kerangka manusia terduduk bersandar, lunglai di depanku. Bulu kudukpun mulai merinding. Kulompati saja kaki kerangka itu. “Permisi”, bisikku.
Tak sampai beberapa langkah kemudian, kuarahkan lilinku ke sisi kanan. Seperti ada sesuatu yang menempel di tembok.
Sebuah lukisan. Seorang gadis berkulit negro dengan penutup kepala mirip sorban yang menggulung ke atas, mengenakan gamis khas Afrika berwarna oranye yang menjuntai hingga ke lantai. Bagiku sebagai seorang laki-laki, wajahnya cukup manis. Apalagi dengan senyum mengembang di wajahnya, menghilangkan kesan horor dari lorong ini. Kedua tangan gadis itu memegang pipet dan gelas ukur untuk percobaan kimia. Di hadapannya, meja berisi berbagai gelas beker lain, sebuah mikroskop, dan sebuah tabung reaksi berikut selangnya.

Aneh. Bukan rasis, tapi aku belum pernah melihat atau mendengar dongeng, ada putri Afrika yang jadi ilmuwan (mungkin bukan aku yang rasis, tapi para pendongeng dari Eropa itu - ngeles dikit lah). Tapi, lukisan ini nampak berusia lebih tua dari dongeng yang biasa dibacakan oleh ibuku ketika aku kecil. Terlihat dari bingkainya yang sangat berkarat, juga cara melukisnya. Very classic. Siapa gerangan gadis ini? Siapa pelukisnya dan tahun berapa dia melukis?
Lupakan dulu. Mungkin akan kutemukan jawabannya setelah ini. Kulanjutkan lagi langkahku.
Crek! Kakiku seperti menginjak sesuatu.
Euuuh! Cairan hijau yang busuk dan jorok. Apa ini? Untung baru menempel sedikit di sandal jepitku.
Kulepas saja sandalku dna kutenteng. Kucoba menelusuri sumber cairan ini dengan lilinku.
Kulangkahkan kakiku satu langkah demi satu langkah, sangat hati-hati. Sebab, sepanjang jalan ini masih mengalir cairan hijau. Bila tidak hati-hati, aku bakal terpeleset.
Semakin ke sana, lebar permukaan airnya semakin meluas, dan kurasakan di kakiku cairannya semakin dalam. Semakin dalam, dan...
Brussss!!!
“Aaaaaaaaaaaaarrrrgh!!!”
Bruk!!!......................................................

Ouch! Apa itu tadi?!! Aku terjerembab di sebuah terowongan prosotan yang berliku dan dalam.
Fiuuh, untunglah aku terjatuh tepat di tumpukan karung ini.
“Aduh!” pantatku masih sakit.
Kupandangi sekitar. Sebuah ruangan yang sangat luas. Mesin-mesin besar di sana-sini. Beberapa buah meja dengan puluhan tabung dan gelas kimia, mikroskop, serta alat-alat eksperimen lain. Nampak seperti ruang eksperimen profesor-profesor di film-film. Bedanya, tak kucium ada bau manusia di sini.
Sambil masih mengelus-elus, menahan sakit di pantat, kucoba berdiri dan mendekati alat-alat di meja eksperimen itu. Semuanya seperti baru saja digunakan. Apakah memang begitu? Berarti, masih ada orang di sekitar sini?
Kutolehkan pandanganku ke belakang. Tersusun di lantai, tiga buah kurungan berbentuk kotak kecil, yang seperti biasa digunakan untuk mengurung tikus-tikus yang akan dijadikan bahan percobaan. Tapi, tak kudengar suara tikus mendecit dari situ.
Kubungkukkan punggungku, mencoba mendekatkan wajahku ke depan kurungan. Kuintip perlahan. Kucoba menerawang ke dalam kurungan yang gelap itu. Mulai sedikit terlihat jerami-jerami kecil di bagian lantainya. Kuintip perlahan demi perlahan. Kucoba melihat semakin ke dalam, dan...



(bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar