Pintu
kayu itu nampak telah lapuk. Daun pintunya bengkok. Bagian kusennya telah oleng,
mur-mur bautnya nyaris copot. Aku yakin, kudorong sedikit saja, pintu itu akan
ambruk. Namun, kucoba membukanya perlahan saja. Hawa gelap langsung menghembus
wajahku begitu pintu itu mulai sedikit terbuka.
Benar
saja. Lorong lurus yang gelap dan cukup sempit untuk dua orang. Untungnya aku hanya
sendiri. Aku tak mampu melihat ujung lorong itu, nampaknya sangat panjang.
Kucoba menerawang jauh ke depan, hanya ada sedikit cahaya-cahaya kecil. Sepertinya
berasal dari lampu-lampu minyak model lawas, yang menempel di tiap beberapa
jengkal temboknya. Mungkin.
Sebaiknya
kutantang saja. Aku mulai melangkahkan kaki sedikit demi sedikit memasuki
lorong tersebut. Kutengadahkan tatapanku ke langit-langit. Sarang laba-laba
menjuntai di sana-sini, seperti pita hiasan ulang tahun. Dan benar, lampu-lampu
minyak model lawas menempel di tembok. Tapi itu tak lantas membuat seisi
ruangan jadi terang. Semakin aku masuk, lampu semakin sedikit, dan semakin
gelap.
Kuendapkan
langkah perlahan. Sejauh yang aku raba di sisi kiri kananku, hanya tembok bata
yang telah berlumut. Aku bersyukur belum tersandung apapun dari tadi. Semakin
gelap.
Takut?
Tidak. Aku telah bertekad harus mencapai ujung lorong ini. Aku merasa, akan ada
sesuatu yang sangat berharga. Entah di ujung sana, entah di sebuah ruangan,
entah di mana.
Akan
tetapi, sudah hampir 20 meter jauhnya aku hanya menelusuri sebuah lorong.
Untunglah, kegelapan mulai sirna, begitu aku mencapai ruangan itu. Ruang tengah
yang bundar, dengan sebuah lampu hias nan indah dan terang yang menggantung di
atasnya. Hanya ada sebuah meja kayu bundar di ruangan tersebut. Tepat di tengah
ruangan. Ruangan yang seharusnya bisa memuat sofa, meja panjang, dan sebuah
tivi. Persis ruang tengah rumahku. Tapi, hanya ada sebuah meja bundar yang
kecil.
“Untuk
apa meja ini?” pikirku dalam hati. Berharap ada yang lainnya. Kumemutarkan
badan, melihat ke sekililing. Hanya ada 2 buah jalan tanpa pintu. Yang satu
lorong yang sudah kulalui tadi. Satu lagi, sepertinya hanya lorong panjang
juga. Sama gelap dan sempitnya. Sama-sama tak bisa kulihat ujungnya.
Ah,
coba lagi. Kulangkahkan kakiku mantap menuju lorong berikut itu.
Agar
tak gelap, kuambil salah satu mangkok dengan lilin menyala, yang menggantung di
tembok pangkal lorong ini.
Kususuri
perlahan. Tak lagi terlalu gelap memang. Tapi, makin mencekam.
Kulihat
sebuah kerangka manusia terduduk bersandar, lunglai di depanku. Bulu kudukpun
mulai merinding. Kulompati saja kaki kerangka itu. “Permisi”, bisikku.
Tak
sampai beberapa langkah kemudian, kuarahkan lilinku ke sisi kanan. Seperti ada
sesuatu yang menempel di tembok.
Sebuah
lukisan. Seorang gadis berkulit negro dengan penutup kepala mirip sorban yang
menggulung ke atas, mengenakan gamis khas Afrika berwarna oranye yang menjuntai
hingga ke lantai. Bagiku sebagai seorang laki-laki, wajahnya cukup manis.
Apalagi dengan senyum mengembang di wajahnya, menghilangkan kesan horor dari
lorong ini. Kedua tangan gadis itu memegang pipet dan gelas ukur untuk
percobaan kimia. Di hadapannya, meja berisi berbagai gelas beker lain, sebuah mikroskop, dan sebuah tabung reaksi berikut
selangnya.
Aneh.
Bukan rasis, tapi aku belum pernah melihat atau mendengar dongeng, ada putri
Afrika yang jadi ilmuwan (mungkin bukan aku yang rasis, tapi para pendongeng
dari Eropa itu - ngeles dikit lah). Tapi, lukisan ini nampak berusia lebih tua
dari dongeng yang biasa dibacakan oleh ibuku ketika aku kecil. Terlihat dari
bingkainya yang sangat berkarat, juga cara melukisnya. Very classic. Siapa gerangan gadis ini? Siapa pelukisnya dan tahun
berapa dia melukis?
Lupakan
dulu. Mungkin akan kutemukan jawabannya setelah ini. Kulanjutkan lagi
langkahku.
Crek!
Kakiku seperti menginjak sesuatu.
Euuuh!
Cairan hijau yang busuk dan jorok. Apa ini? Untung baru menempel sedikit di
sandal jepitku.
Kulepas
saja sandalku dna kutenteng. Kucoba menelusuri sumber cairan ini dengan
lilinku.
Kulangkahkan
kakiku satu langkah demi satu langkah, sangat hati-hati. Sebab, sepanjang jalan
ini masih mengalir cairan hijau. Bila tidak hati-hati, aku bakal terpeleset.
Semakin
ke sana, lebar permukaan airnya semakin meluas, dan kurasakan di kakiku
cairannya semakin dalam. Semakin dalam, dan...
Brussss!!!
“Aaaaaaaaaaaaarrrrgh!!!”
Bruk!!!......................................................
Ouch!
Apa itu tadi?!! Aku terjerembab di sebuah terowongan prosotan yang berliku dan
dalam.
Fiuuh,
untunglah aku terjatuh tepat di tumpukan karung ini.
“Aduh!”
pantatku masih sakit.
Kupandangi
sekitar. Sebuah ruangan yang sangat luas. Mesin-mesin besar di sana-sini.
Beberapa buah meja dengan puluhan tabung dan gelas kimia, mikroskop, serta
alat-alat eksperimen lain. Nampak seperti ruang eksperimen profesor-profesor di
film-film. Bedanya, tak kucium ada bau manusia di sini.
Sambil
masih mengelus-elus, menahan sakit di pantat, kucoba berdiri dan mendekati
alat-alat di meja eksperimen itu. Semuanya seperti baru saja digunakan. Apakah
memang begitu? Berarti, masih ada orang di sekitar sini?
Kutolehkan
pandanganku ke belakang. Tersusun di lantai, tiga buah kurungan berbentuk kotak
kecil, yang seperti biasa digunakan untuk mengurung tikus-tikus yang akan
dijadikan bahan percobaan. Tapi, tak kudengar suara tikus mendecit dari situ.
Kubungkukkan
punggungku, mencoba mendekatkan wajahku ke depan kurungan. Kuintip perlahan.
Kucoba menerawang ke dalam kurungan yang gelap itu. Mulai sedikit terlihat
jerami-jerami kecil di bagian lantainya. Kuintip perlahan demi perlahan. Kucoba
melihat semakin ke dalam, dan...
(bersambung
ke bagian 2)