Halaman

Selasa, 10 Januari 2012

Mil si Keledai


Mulai Januari 2012 ini, saya akan menyertakan minimal 1 dongeng (dalam arti sesungguhnya) karya saya dalam tiap bulannya di blog ini. Biar sesuai sama judul blognya (kakjoemendongeng) gitu, hehe.            


          Di daerah belantara tak jauh dari Hierankopolis, Mesir kuno, pada masa itu masih begitu banyak dihuni oleh hewan-hewan liar. Yang paling liar dan ditakuti oleh hewan-hewan lain tentu saja singa. Singa sebagaimana di dongeng-dongeng lain, sangat berkuasa di hutan. Dia boleh dibilang memiliki kualitas kepemimpinan otoritarian yang hebat. Tak heran jika kemudian binatang-binatang herbivora begitu tunduk pada kemauannya.
            Tak terkecuali seekor keledai bernama Mil. Mil termasuk salah satu anggota habitat keledai di hutan tersebut. Keluarganya juga begitu patuh pada sang pemimpin hutan, si singa yang menamakan dirinya Faro itu. Namun sepertinya Mil kurang sependapat. Atau mungkin dengki. Dia begitu ngiler melihat segala kekuasaan dan kehormatan yang dimiliki Faro. Mil sangat bermimpi bisa memilikinya juga.
            Berbagai upaya dilakukan Mil untuk dapat seperti Faro. Dimulai dengan mengamati seperti apa saja tingkah laku singa yang berwibawa itu. Mil mulai belajar mengaum. Dia sering berteriak sekeras mungkin, coba menirukan auman singa. Sulit. Yang ada dia hanya ditertawakan oleh hewan lain yang melihat. Mil juga berusaha keras untuk bisa makan daging. Tiap sisa daging dari bangkai bekas makanan hewan lain coba dikunyahnya kuat-kuat dan ditelannya. Tapi tetap saja daging itu tak bisa lunak. Akibatnya Mil sering tersedak atau tercekik karena daging yang masih keras tertelan di lehernya.
            Mil enggan menyerah. Dia bahkan sering mencoba bergaya atau bersikap sebagaimana Faro. Berjalan dengan tegap dan perlahan, jaga image, hingga terkadang menyuruh-nyuruh binatang lainnya. Jelas saja binatang-binatang itu pada ogah. Mil mulai putus asa, hingga suatu saat kesempatan besar tak terduga datang. Faro meninggal dunia.
            Terjadi kekosongan jabatan pemimpin di hutan itu. Istri Faro tak mungkin menggantikan, apalagi anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Akhirnya, para hewan sepakat mencari penggantinya dari spesies lain. Mil begitu sumringah dengan perkembangan ini, dan dia berharap-harap cemas akan terpilih. Yang dicalonkan oleh para hewan di situ adalah Veno si cheetah, Marti si harimau, dan Dun si gajah. Tak ada nama Mil. Dia tentu sangat kecewa dengan keputusan ini. Mil mencoba bertanya kepada seekor simpanse yang menjadi teman dekatnya.
            “Maaf mil, tapi kata teman-teman yang lain, kau memang sama sekali tidak cocok menjadi pemimpin di sini. Maaf,” ujar si simpanse.
            Dengan hati yang sangat hancur dan sedih, Mil berlari dan terus berlari dengan air matanya, hingga keluar dari hutan. Di sudut gurun pasir yang tak jauh dari situ, tepatnya gurun pasir Nubia, Mil duduk tersungkur. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia merasa begitu bodoh, lemah, dan memaksakan diri...

Di saat penuh keputus asaan itu, Mil melihat di kejauhan seorang manusia pengembara berjalan tertatih. Orang itu nampak sangat kepayahan dengan barang bawaannya yang banyak, yang dia panggul sendirian di tengah padang pasir yang begitu panas dan sepi itu. Hingga akhirnya orang itu terjatuh lemas. Mil iba melihatnya. Dia segera menghampiri orang itu, dan berpura-pura lewat di depannya, dengan harapan orang itu akan menariknya dan memanfaatkannya. Betul saja. Ketika Mil lewat di hadapannya, pria paruh baya itu langsung memanggil Mil dengan siulannya. Mil berbalik. Orang itu segera menaikkan semua barang bawaannya ke punggung Mil. Disusul dirinya sendiri, yang kemudian mengemudikan Mil.
Orang itu membawa Mil entah ke mana. Mereka sudah berjalan cukup jauh. Mil sebenarnya mulai lelah menggendong pria kekar itu dan barang bawaannya. Untungnya, dia adalah seekor keledai yang memiliki fisik yang kuat, sehingga Mil masih sanggup berjalan setidaknya beberapa mil lagi. Namun, sekuat-kuatnya Mil, akhirnya tumbang juga. Sampai di sebuah padang pasir lain, Mil hampir ambruk, hingga pria penunggangnya itu terjatuh. Pria itu pun marah.
“Keledai payah!” ujarnya sambil melempar sorbannya ke muka Mil. Mil hanya tertunduk lesu. Pria itu menoleh ke segala arah, nampak masih emosi.
“Ah, sudahlah! Kita istirahat dulu, nanti sore lanjut lagi!”
Sorenya, mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan Mil hanya merenung. “Apakah aku ini memang tidak ada gunanya. Menggendong beberapa kilo saja aku sudah lelah,” ujarnya dalam hati.
Tak berapa lama, sebuah angin kencang menerpa gurun tempat mereka lewat. Sang pria turun dari punggung Mil, berusaha menarik Mil sambil melawan badai itu. Dia tak mengetahui bahwa di depannya ada sebuah lubang semut raksasa (pasir yang menjorok ke dalam dan bisa menarik siapa saja ke dalam pasir itu).
Bruss!!
Pria itu terjerembab. Kakinya, lututnya, mulai tersedot ke dalam pasir.
“Tolong! Tolong!!” sayang, di padang pasir itu tak ada yang lain selain dia dan si Mil.
Mil yang kebingungan dan panik, mencoba mengais-ngais pasir yang melingkari pria itu. Sia-sia. Orang itu makin tersedot hingga sedada. Mil mencari akal. Dia pun melompati lubang itu, dan memposisikan bagian bawah pelananya tepat di atas kepala pria itu.
Tepat. Pria itu meraih tali di bagian bawah pelana itu, dan menariknya kuat-kuat. Begitu pula dengan Mil, dia sekuat tenaga menahan kakinya di pasir, sembari menarik pria itu. Dan akhirnya, pria itu pun berhasil tertarik keluar. Mil segera menyeretnya ke tempat yang lebih leluasa. Dengan nafas masih terengah-engah, pria itu berbisik pada Mil, “terima kasih. Kau..memang keledai hebat,”...

Hari berganti hari, mereka melanjutkan perjalanan. Hingga tibalah mereka di sebuah kota besar. Ternyata itu adalah kerajaan Aksum, tempat asal pria itu. Di sana, sang pria yang ternyata pedagang itu menawarkan Mil kepada seorang saudagar. Sang saudagar sangat tertarik mendengar ketangguhan Mil yang membawa sang pedagang begitu jauh, dan juga kisah heroiknya ketiak menyelamatkan pria itu. Saudagar itu selanjutnya mengetes fisik Mil dengan berbagai percobaan seperti mengangkat beban, menarik kereta, dan sebagainya.
Keesokannya, Mil dibawa oleh sang saudagar ke sebuah peternakan. Ternyata di situlah sang saudagar merawat berbagai hewan peliharaannya. Mil sangat kaget. Ternyata di sana, dia diperlakukan begitu istimewa. Dia dijadikan satu dengan unta-unta yang gagah, yang selama ini jadi kebanggaan sang saudagar. Dia juga diberi begitu banyak makanan yang enak-enak dan dirawat dengan sangat baik setiap harinya. Mil juga sering diajak berdagang ke berbagai negara dan diperlakukan selayaknya hewan bawaan para raja. Akhirnya, Mil begitu bahagia dalam kehidupannya di dalam istana saudagar itu.

Hikmah (kalau dalam mendongeng lisan, gak perlu disertakan) : Mungkin kita pernah seperti si Mil. Iri terhadap kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, bahkan kadang disertai keinginan menghancurkannya untuk kita ambil alih. Kita mungkin pernah begitu ingin nampak menonjol, hanya karena ingin dihormati orang, dipuji oleh orang lain, dsb. Segala keinginan semu itu terkadang membuat kita menjadi lupa untuk berkaca. Begitu sibuk memikirkan kelebihan orang lain, membuat kita selalu merasa kurang dan lemah. Kita jadi sering mengejar sesuatu yang tak realistis, sehingga melupakan kelebihan yang sebenarnya telah kita miliki dan dapat kita kembangkan. Di sinilah, sekali lagi, pentingnya kemampuan mengenali dan mengukur kemampuan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar