Mulai Januari 2012 ini, saya akan menyertakan minimal 1 dongeng (dalam arti sesungguhnya) karya saya dalam tiap bulannya di blog ini. Biar sesuai sama judul blognya (kakjoemendongeng) gitu, hehe.
Di daerah belantara tak jauh dari
Hierankopolis, Mesir kuno, pada masa itu masih begitu banyak dihuni oleh
hewan-hewan liar. Yang paling liar dan ditakuti oleh hewan-hewan lain tentu
saja singa. Singa sebagaimana di dongeng-dongeng lain, sangat berkuasa di
hutan. Dia boleh dibilang memiliki kualitas kepemimpinan otoritarian yang
hebat. Tak heran jika kemudian binatang-binatang herbivora begitu tunduk pada
kemauannya.
Tak terkecuali seekor keledai
bernama Mil. Mil termasuk salah satu anggota habitat keledai di hutan tersebut.
Keluarganya juga begitu patuh pada sang pemimpin hutan, si singa yang menamakan
dirinya Faro itu. Namun sepertinya Mil kurang sependapat. Atau mungkin dengki.
Dia begitu ngiler melihat segala kekuasaan dan kehormatan yang dimiliki Faro.
Mil sangat bermimpi bisa memilikinya juga.
Berbagai upaya dilakukan Mil untuk
dapat seperti Faro. Dimulai dengan mengamati seperti apa saja tingkah laku
singa yang berwibawa itu. Mil mulai belajar mengaum. Dia sering berteriak
sekeras mungkin, coba menirukan auman singa. Sulit. Yang ada dia hanya
ditertawakan oleh hewan lain yang melihat. Mil juga berusaha keras untuk bisa
makan daging. Tiap sisa daging dari bangkai bekas makanan hewan lain coba
dikunyahnya kuat-kuat dan ditelannya. Tapi tetap saja daging itu tak bisa
lunak. Akibatnya Mil sering tersedak atau tercekik karena daging yang masih
keras tertelan di lehernya.
Mil enggan menyerah. Dia bahkan
sering mencoba bergaya atau bersikap sebagaimana Faro. Berjalan dengan tegap
dan perlahan, jaga image, hingga terkadang menyuruh-nyuruh binatang lainnya.
Jelas saja binatang-binatang itu pada ogah. Mil mulai putus asa, hingga suatu
saat kesempatan besar tak terduga datang. Faro meninggal dunia.
Terjadi kekosongan jabatan pemimpin
di hutan itu. Istri Faro tak mungkin menggantikan, apalagi anak-anaknya yang
masih kecil-kecil. Akhirnya, para hewan sepakat mencari penggantinya dari
spesies lain. Mil begitu sumringah dengan perkembangan ini, dan dia
berharap-harap cemas akan terpilih. Yang dicalonkan oleh para hewan di situ
adalah Veno si cheetah, Marti si harimau, dan Dun si gajah. Tak ada nama Mil.
Dia tentu sangat kecewa dengan keputusan ini. Mil mencoba bertanya kepada
seekor simpanse yang menjadi teman dekatnya.
“Maaf mil, tapi kata teman-teman
yang lain, kau memang sama sekali tidak cocok menjadi pemimpin di sini. Maaf,”
ujar si simpanse.
Dengan hati yang sangat hancur dan
sedih, Mil berlari dan terus berlari dengan air matanya, hingga keluar dari
hutan. Di sudut gurun pasir yang tak jauh dari situ, tepatnya gurun pasir
Nubia, Mil duduk tersungkur. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia merasa
begitu bodoh, lemah, dan memaksakan diri...
Di
saat penuh keputus asaan itu, Mil melihat di kejauhan seorang manusia
pengembara berjalan tertatih. Orang itu nampak sangat kepayahan dengan barang
bawaannya yang banyak, yang dia panggul sendirian di tengah padang pasir yang
begitu panas dan sepi itu. Hingga akhirnya orang itu terjatuh lemas. Mil iba
melihatnya. Dia segera menghampiri orang itu, dan berpura-pura lewat di
depannya, dengan harapan orang itu akan menariknya dan memanfaatkannya. Betul
saja. Ketika Mil lewat di hadapannya, pria paruh baya itu langsung memanggil
Mil dengan siulannya. Mil berbalik. Orang itu segera menaikkan semua barang
bawaannya ke punggung Mil. Disusul dirinya sendiri, yang kemudian mengemudikan
Mil.
Orang
itu membawa Mil entah ke mana. Mereka sudah berjalan cukup jauh. Mil sebenarnya
mulai lelah menggendong pria kekar itu dan barang bawaannya. Untungnya, dia
adalah seekor keledai yang memiliki fisik yang kuat, sehingga Mil masih sanggup
berjalan setidaknya beberapa mil lagi. Namun, sekuat-kuatnya Mil, akhirnya
tumbang juga. Sampai di sebuah padang pasir lain, Mil hampir ambruk, hingga
pria penunggangnya itu terjatuh. Pria itu pun marah.
“Keledai
payah!” ujarnya sambil melempar sorbannya ke muka Mil. Mil hanya tertunduk
lesu. Pria itu menoleh ke segala arah, nampak masih emosi.
“Ah,
sudahlah! Kita istirahat dulu, nanti sore lanjut lagi!”
Sorenya,
mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan Mil hanya merenung. “Apakah aku
ini memang tidak ada gunanya. Menggendong beberapa kilo saja aku sudah lelah,”
ujarnya dalam hati.
Tak
berapa lama, sebuah angin kencang menerpa gurun tempat mereka lewat. Sang pria
turun dari punggung Mil, berusaha menarik Mil sambil melawan badai itu. Dia tak
mengetahui bahwa di depannya ada sebuah lubang semut raksasa (pasir yang
menjorok ke dalam dan bisa menarik siapa saja ke dalam pasir itu).
Bruss!!
Pria
itu terjerembab. Kakinya, lututnya, mulai tersedot ke dalam pasir.
“Tolong!
Tolong!!” sayang, di padang pasir itu tak ada yang lain selain dia dan si Mil.
Mil
yang kebingungan dan panik, mencoba mengais-ngais pasir yang melingkari pria
itu. Sia-sia. Orang itu makin tersedot hingga sedada. Mil mencari akal. Dia pun
melompati lubang itu, dan memposisikan bagian bawah pelananya tepat di atas
kepala pria itu.
Tepat.
Pria itu meraih tali di bagian bawah pelana itu, dan menariknya kuat-kuat.
Begitu pula dengan Mil, dia sekuat tenaga menahan kakinya di pasir, sembari
menarik pria itu. Dan akhirnya, pria itu pun berhasil tertarik keluar. Mil
segera menyeretnya ke tempat yang lebih leluasa. Dengan nafas masih
terengah-engah, pria itu berbisik pada Mil, “terima kasih. Kau..memang keledai
hebat,”...
Hari
berganti hari, mereka melanjutkan perjalanan. Hingga tibalah mereka di sebuah
kota besar. Ternyata itu adalah kerajaan Aksum, tempat asal pria itu. Di sana,
sang pria yang ternyata pedagang itu menawarkan Mil kepada seorang saudagar.
Sang saudagar sangat tertarik mendengar ketangguhan Mil yang membawa sang
pedagang begitu jauh, dan juga kisah heroiknya ketiak menyelamatkan pria itu.
Saudagar itu selanjutnya mengetes fisik Mil dengan berbagai percobaan seperti
mengangkat beban, menarik kereta, dan sebagainya.
Keesokannya,
Mil dibawa oleh sang saudagar ke sebuah peternakan. Ternyata di situlah sang
saudagar merawat berbagai hewan peliharaannya. Mil sangat kaget. Ternyata di
sana, dia diperlakukan begitu istimewa. Dia dijadikan satu dengan unta-unta
yang gagah, yang selama ini jadi kebanggaan sang saudagar. Dia juga diberi
begitu banyak makanan yang enak-enak dan dirawat dengan sangat baik setiap
harinya. Mil juga sering diajak berdagang ke berbagai negara dan diperlakukan
selayaknya hewan bawaan para raja. Akhirnya, Mil begitu bahagia dalam
kehidupannya di dalam istana saudagar itu.
Hikmah (kalau dalam mendongeng lisan, gak perlu disertakan) : Mungkin
kita pernah seperti si Mil. Iri terhadap kelebihan yang dimiliki oleh orang
lain, bahkan kadang disertai keinginan menghancurkannya untuk kita ambil alih.
Kita mungkin pernah begitu ingin nampak menonjol, hanya karena ingin dihormati
orang, dipuji oleh orang lain, dsb. Segala keinginan semu itu terkadang membuat
kita menjadi lupa untuk berkaca. Begitu sibuk memikirkan kelebihan orang lain,
membuat kita selalu merasa kurang dan lemah. Kita jadi sering mengejar sesuatu
yang tak realistis, sehingga melupakan kelebihan yang sebenarnya telah kita
miliki dan dapat kita kembangkan. Di sinilah, sekali lagi, pentingnya kemampuan
mengenali dan mengukur kemampuan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar