Saat ini saya tengah dipusingkan oleh
mencari pengasuh untuk putra saya yang masih bayi. Mencari pengasuh yang ideal (atau setidaknya sedikit di bawah ideal) :
jujur dan telaten, ternyata sangat
sulit. Saya sudah minta dicarikan melalui ibu saya, dengan menghubungi
teman-temannya, tapi tidak ada. Blusukan juga sudah dijalankan ke dusun-dusun
di pelosok Gunung Kidul Jogja, tapi tetap tidak ditemukan calon PRT yang sesuai
dengan kriteria kami. Demikian sulitnya mencari di kampung, apalagi mau mencari
di sekitar tetangga saya di Bekasi sekarang. Sementara di sisi lain, saya juga
mendapat cerita dari dua teman sekantor saya yang memperoleh PRT yang
‘aneh-aneh’. Yang satu, kebanyakan request tapi kerjanya nggak jelas. Yang satu
lagi, ternyata diam-diam memprovokatori teman saya dengan mertuanya. Akhirnya,
kedua PRT itu hanya bertahan tak sampai tiga hari di rumah teman-teman saya
tersebut. Kasus ini membuat saya makin bingung mencari calon PRT.
Sulitnya mencari PRT seperti dewasa
ini, sejatinya tidak terjadi pada era 1980 hingga 1990-an lalu. Pada saat itu,
masih sangat banyak warga di pelosok desa, khususnya wanita, yang mau dan
bersedia menjadi asisten rumah tangga ataupun pengasuh anak, walaupun dengan
gaji yang seadanya. Bahkan kualitas mereka pada saat itu boleh dibilang bagus.
Contohnya pada keluarga saya pribadi.
Dulu ketika masih TK, saya diberikan
seorang pengasuh bernama mbak Ponirah. Mbak Ponirah sekaligus juga menjadi
asisten yang membantu berbagai pekerjaan rumah ibu saya. Mbak Ponirah hingga
sekarang, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, masih bekerja di rumah ibu
saya meski telah mengontrak rumah sendiri. Sementara ketika dulu adik saya
balita, ibu saya juga mendatangkan lagi PRT lain, yaitu mbak Yanti. Mbak Yanti
ini bekerja hingga sekitar 8 tahun lamanya, sebelum akhirnya menikah dan pulang
kampung. Hingga detik ini, keluarga kami selalu merindukan sosok PRT seperti mbak Ponirah dan mbak Yanti.
Mbak Ponirah dan mbak Yanti disukai
oleh ibu saya dan bisa bertahan lama adalah dikarenakan mereka memiliki
komitmen, telaten, jujur, dan pekerja
keras. Tipikal PRT seperti inilah yang mulai jarang ditemui. Kualitas dalam hal
pekerjaan mungkin meningkat. Namun dalam hal kepribadian, nampak adanya
penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Kebanyakan remaja dan pemuda
yang berasal dari daerah dewasa ini lebih cenderung berminat bekerja di sektor
industri ketimbang bekerja di sektor rumah tangga.
Pada umumnya bekerja di perusahaan
atau institusi memiliki jam kerja serta tingkat kesulitan yang lebih rendah
daripada bekerja di rumah orang, namun memiliki nilai upah yang lebih tinggi.
Tidak heran jika akhirnya lebih banyak yang memilih mengais rejeki di ranah
tersebut. Kalaupun ada yang mau menjadi asisten rumah tangga, biasanya yang
bersangkutan akan menetapkan standar upah minimal yang tinggi. Fenomena semakin
tingginya jumlah pelamar menjadi TKI ke luar negeri mengindikasikan hal
tersebut. Salah satu dampak negatifnya, banyak pihak tidak bertanggungjawab yang
kemudian memanfaatkan intensi para pemuda desa ini, yang bisa dilihat dari
banyaknya kasus penipuan seperti human trafficking, penyekapan, hingga
penelantaran calon TKW oleh agen ilegal.
Saya pribadi belum menemukan solusi
yang tepat terkait fenomena langkanya PRT ini, mengingat saya sendiri pun belum
berhasil menemukan asisten untuk keluarga saya. Namun, apabila kita bercermin
dari dunia barat yang maju itupun tidak mendapati kesulitan dalam mencari
asisten rumah tangga ini. Sementara negara-negara Asia, baik Timur Tengah, Asia
Timur, hingga para tetangga ASEAN, kini lebih banyak mengimpor dari negara
kita. Apabila fenomena ini berlanjut, bukan tak mungkin ke depannya para
pekerja rumah tangga kita semuanya berorientasi ke luar negeri, sementara
rumah-rumah tangga di dalam negeri, keluarga kaya sekalipun, akan tidak
memiliki asisten rumah tangga. Dan hal ini jelas akan sangat merepotkan.
Mungkin ada yang tahu bagaimana negara-negara Eropa dan Amerika Latin bisa
mempertahankan ketersediaan asisten rumah tangganya?