Halaman

Kamis, 27 Maret 2014

Jangan Remehkan Doa Orang Lain

*semua yang saya tulis ini tidak bermaksud riya’, ujub, sum’ah, atau yang lainnya. Ini hanya sharing dan sekaligus pembelajaran bersama semata...


Kala itu, sekitar tahun 2007, namun saya lupa bulannya apa. Waktu itu, sore hari, hujan deras baru saja turun. Saya dan beberapa orang tetangga saya sedang berada di masjid kampung kami, karena baru usai mengajar TPQ.
Saya berdiri di pintu samping masjid yang menghadap ke tempat wudhu dan kamar mandi. Di antara pintu samping itu dengan kamar mandi adalah jalanan umum, sehingga tidak ada atap atau semacamnya. Menatap hujan. Seketika itu, dari dalam kamar mandi keluar sesosok kakek-kakek renta. Pakaiannya lusuh, sarungnya ditariknya ke atas, kakinya nampak agak lumpuh dan sulit berjalan. Beliau bukan warga kampung kami, sepertinya seorang tunawisma musafir.
Tiba-tiba, kakek itu memanggil-manggil saya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Nak, tolong kemari, bantu saya.” Tentu  saya merasa iba. Hujan-hujan begitu, dengan kondisi kaki dan fisik seperti itu, tentu si kakek sangat kesusahan untuk mencapai masjid. Bergegas saya ambil payung, kemudian saya hampiri kakek itu. Setelah itu saya gandeng beliau, saya payungi sambil saya tuntun berjalan perlahan. Jalannya sangat pelan dan tergopoh-gopoh. Padahal kata dia pakaiannya ada di sisi masjid yang lain, di mana kami harus mengitari masjid untuk mencapainya, hujan-hujan.
Saya tuntun terus beliau perlahan sambil memayungi, biarpun saya jadi yang kehujanan, biarlah. Sambil berjalan itu, si kakek tiba-tiba nyeletuk “makasih ya nak, makasih ya. saya doakan kamu jadi dosen nak, jadi dosen besok kamu..” Kontan saya agak kaget. Jadi dosen? Dari mana beliau tahu kalau itu salah satu cita-cita saya. Sementara kami bahkan tidak saling mengenal.
Waktu itu saya masih kuliah, skripsi pun belum. Cita-cita saya yang utama saat itu adalah bekerja di media massa atau di bidang entertainment tapi di balik layar. Sedangkan dosen adalah opsi lain. Saya perhatikan wajah sang kakek yang menghadap ke depan, nampak berkaca-kaca. Saya meyakini, beliau tulus dalam mendoakan saya. Amiin, demikian balas saya dalam hati…


Sekarang, tahun 2014, saya telah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jabodetabek. Saya pun teringat kembali dengan doa sang kakek, meskipun saya tidak begitu ingat lagi wajahnya seperti apa. Namun, satu hal yang saya ambil hikmahnya dari sini adalah, jangan pernah remehkan doa orang lain. Meskipun orang tersebut adalah orang asing (tidak pernah kita kenal sebelumnya), ataupun nampak lemah dan remeh apabila kita lihat dari sudut pandang duniawi, namun sesungguhnya Allah SWT tidak pernah memandang status tersebut.