Pemilihan kepala daerah atau pilkada akhirnya resmi
dikembalikan ke DPRD alias tidak lagi dipilih secara langsung. Banyak orang
yang menyebut, baik melalui media maupun melalui berbagai aksi, bahwa keputusan
yang diperoleh melalui hasil sidang paripurna DPR RI kamis (25/9) lalu ini adalah kematian bagi demokrasi. ‘RIP Demokrasi’.
Begitu kira-kira judulnya. Benarkah demikian? Itu terserah pada
Anda.
Yang jelas, saya juga melihat ada hal lain yang ikut
‘mati’ sebagai akibat dari RUU pilkada ini. Dia adalah ‘politik pencitraan’.
Ya, politik pencitraan boleh dikatakan habis. ‘Mati’, dalam arti sebenarnya.
Dan ini berlaku untuk kedua kubu, baik yang mendukung pilkada langsung (kubu
koalisi PDIP), maupun pengusung pilkada lewat DPRD (Koalisi Merah Putih).
Saya betul-betul heran dan tak habis pikir dengan
langkah-langkah yang diambil oleh KMP pasca kalah di pilpres. Bukannya menerima
dengan legowo dan besar hati, mereka malah melakukan hal-hal yang justru bisa
memperburuk citra mereka sendiri. Pertama-tama, mereka menggugat melalui MK.
Sebenarnya ini mungkin sudah melalui mekanisme hukum yang benar, tapi tetap
saja kesan yang ditangkap masyarakat, Prabowo dan partai-partai pengusungnya
tidak mau menerima kekalahan.
Setelah gugatannya ditolak MK, mereka coba mencari cara
lain untuk tetap punya kuasa. Yaitu dengan mencoba menggolkan pilkada via DPRD.
Seharusnya mereka sudah tahu dan mampu memprediksi bahwa sikap ini akan membuat
mereka dicap telah mencabut hak berpolitik rakyat dan justru akan banyak
menimbulkan kongkalikong. Lagi-lagi, ini bisa berakibat fatal bagi suara KMP di
2019, karena amat sangat mungkin rakyat menjadi sudah tidak percaya lagi pada
partai-partai di koalisi tersebut (dan gejala itu sudah nampak sedemikian
rupa). Namun, toh mereka tetap bergeming. Ini, menunjukkan bahwa Prabowo dan
para pendukungnya tidak lagi menganggap politik pencitraan sebagai sesuatu yang
penting.
Ketika mengajukan ide pilkada via DPRD, kubu KMP
sendiri beralasan bahwa pilkada secara langsung rawan dengan politik uang dan
juga kental dengan politik pencitraan. Pernyataan ini sedikit banyak ada
benarnya. Ketika hak memilih itu ada di tangan rakyat, maka strategi yang bisa
diambil oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada, salah satu yang
paing jitu adalah politik pencitraan. Dan ini sudah terbukti sukses. Khususnya
dilakoni oleh para partai koalisi pendukung Jokowi. Taktik yang mereka mainkan
sangat rapi untuk bisa mengambil hati masyarakat, untuk bisa menampilkan diri
bahwa mereka memang berpihak pada rakyat (entah itu betul atau tidak). Dengan
dihapuskannya pilkada secara langsung ini, maka praktis membuat partai-partai
koalisi kotak-kotak tersebut tidak bisa lagi menggunakan strategi politik
pencitraan ini.
Itulah yang saya katakan, ‘politik pencitraan’ telah
mati, bagi kedua belah pihak. Lantas, sebenarnya manakah yang lebih tepat,
pilkada langsung atau melalui DPRD? Sebenarnya untuk situasi saat ini, memang
yang lebih pas adalah pilkada langsung. Saya pribadi pun termasuk pendukung
pilkada langsung, walaupun pada pilpres lalu saya mendukung koalisi merah putih
(saya terbuka saja ya). Namun, sebenarnya, semua berpulang pada kondisi mental
bangsa Indonesia sendiri. Selama rakyat Indonesia masih banyak yang belum
cerdas dalam berpolitik dan - inilah masalahnya - belum makmur, maka pilkada
langsung memang akan rawan politik pencitraan dan masih dapat menimbulkan
sejumlah masalah yang pada akhirnya melahirkan pemimpin berjiwa ‘idol’.
Demikian pula, selama masih banyak orang pintar yang haus jabatan dan materi,
serta orang kaya yang haus kekuasaan, serta politikus-politikus yang…..ya
begitulah, maka pemilihan melalui DPRD tetap akan mengesampingkan kepentingan
rakyat. Jadi, sebenarnya tak begitu masalah sistem pemilihan seperti apa yang
diterapkan, semuanya berpulang pada mental rakyat Indonesia dan para elit
politik sendiri. Selama mental rakyat dan elit baik, maka sistem apapun yang
diterapkan bisa berlangsung secara ideal. Namun selama mental rakyat dan elit
tetap seperti sekarang ini, maka sistem apapun yang diterapkan niscaya belum
bisa menghasilkan the real good
governance.
Wallahu a’lam bisshowab.