Jelang Pemilu 2014,
konstelasi politik di Indonesia makin berwarna. Tidak hanya di kalangan atas, di kalangan
akar rumput pun semakin banyak fenomena yang menarik. Salah satunya adalah
maraknya tagline “Piye kabare le? Isih penak
jamanku tho?” (“Bagaimana kabarnya nak? Masih enak jamanku kan?”) Tagline
ini muncul disertai poster wajah mantan presiden Soeharto, dengan senyum
khasnya sembari melambaikan tangan. Poster pak Harto ini beredar di mana-mana,
mulai dari stiker-stiker, spanduk, mural, hingga lukisan di belakang truk.
Masyarakat terlihat menyambut fenomena ini secara positif, yang salah satunya
ditunjukkan dengan lakunya atribut-atribut bergambar serupa.
Entah fenomena ‘penak
jamanku’ ini memang telah di-setting oleh sejumlah kelompok ataupun muncul
begitu saja, yang jelas fenomena ini memberikan stimulus kepada masyarakat
untuk mengingat kembali era Orde Baru di bawah kepemimpinan pak Harto, lalu
membandingkannya dengan zaman sekarang. Respon yang sering timbul dari
masyarakat adalah, mengiyakan tagline tersebut. Rakyat pada akhirnya terpikirkan
bahwa era reformasi saat ini tidaklah lebih baik daripada era Orde baru dahulu,
bahkan mungkin lebih buruk.
Saya pribadi
tidak secara utuh setuju ataupun tidak menyetujui tagline ‘penak jamanku’ tersebut.
Dan memang yang hendak saya bahas di sini bukan soal slogan itu sendiri. Saya
lebih menyoroti bagaimana orang-orang di Indonesia khususnya dan dunia pada
umumnya, memang sudah pada dasarnya memiliki rasa tidak puas dalam menyikapi
segala sesuatu, termasuk pemimpin. Perasaan tidak puas (displeasure) terhadap pemimpin setidaknya dapat disebabkan oleh 3
hal :
Comparing. Membandingkan antar dua hal atau
lebih sudah menjadi naluri alamiah dari manusia. Seorang wanita seringkali
secara otomatis membandingkan penampilan fisiknya dengan wanita lainnya. Orang
tua secara tidak sadar sering membanding-bandingkan anaknya yang satu dengan
yang lain. Apalagi ketika memang dihadapkan kepada pilihan, seperti misalnya antara
tiga baju yang akan dibeli, perilaku membandingkan itu akan muncul dengan
sendirinya. Dalam perilaku membandingkan ini, tentu akan ada saja kekurangan
yang nampak dari hal yang dinilai. Begitu juga saat menilai seorang pemimpin.
Ketika membandingkan antara pemimpin yang saat ini dengan yang sebelumnya,
tentu akan ada saja kejelekan yang kita dapat dari pemimpin saat ini bila dibandingkan
dengan pemimpin sebelumnya. Hal ini membuat rakyat jadinya tidak akan pernah
puas. Ini mungkin menjadi salah satu sebab kenapa Mesir, Thailand, dan Ukraina
terus saja bergolak meski sudah gonta-ganti pemimpin. Semoga Indonesia tidak
demikian.
Tidak Bersyukur.
Kalau soal yang satu ini semua sudah tahu lah, memang begitu sifatnya manusia
(termasuk saya). Dikasih hati minta ampela. Miskin, minta kaya. Begitu dikasih
kaya, minta lebih kaya lagi, begitu seterusnya. Sudah punya motor, pingin
mobil. Sudah punya mobil, pingin yang lebih bagus lagi. Sehingga begitu juga
dalam menyikapi pemimpin. Niscaya tidak akan pernah ada pemimpin yang bisa
memuaskan rakyatnya.
Ketergantungan terhadap
figur. Chicago Bulls tidak pernah bagus lagi semenjak kepergian Michael Jordan.
Ferrari tidak sestabil ketika Michael Schumacher masih di sana. Manchester
United sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson hingga saya menulis ini, prestasinya
boleh dibilang jeblok. Ketokohan seorang pemimpin di dalam kelompok dapat
memberikan dampak yang positif ataupun negatif. Apabila pemimpin yang
bersangkutan pernah lama ‘berkuasa’ dan menorehkan berbagai catatan, baik
ataupun buruknya dia akan terus dikenang oleh kelompok yang bersangkutan. Termasuk
dalam konteks bernegara, maka rakyat akan menjadikan kepala negara/pemerintahan
yang sebelumnya pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama sebagai acuan dalam
menilai setiap kepala negara yang baru. Contoh paling shahih adalah Korea
Utara, Russia, serta sejumlah negara Afrika. Soeharto terbilang sukses dalam
meng-cut memori rakyatnya terhadap
era Soekarno, meski mungkin dengan metode yang represif. Sementara, kebebasan
di era reformasi ini memberikan ruang yang luas bagi rakyat untuk terus
mengkritisi pemimpinnya. Dalam mengkritik ini, rakyat menjadikan
presiden-presiden sebelumnya sebagai acuan, sehingga menjadi sulit
untuk melupakan mereka.
Tulisan ini
bukan bermaksud membela atau sebaliknya mencela pemerintah sekarang maupun pemerintah-pemerintah
yang lalu. Tujuan utama saya adalah mengajak pembaca untuk lebih proporsional
dalam menilai pemerintah. Kritik itu harus, namun dengan tetap tidak keluar
dari orientasi perbaikan, bukan membandingkan apalagi menjatuhkan. Jika kita
hanya berorientasi pada kedua hal yang terakhir, tidak akan pernah ada presiden
yang cocok bagi Indonesia, siapapun dia.