Bukan #Pro
Jokowi, yang pro sudah banyak banget.
Bukan #Anti
Jokowi, yang anti juga sudah banyak.
Ini semua
hanyalah opini semata.
Figur yang paling populer di Indonesia saat ini mungkin adalah
Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi. Beliau boleh dibilang sebagai seorang
birokrat, politisi, pengusaha, tapi artis juga, mengingat sedemikian populernya
beliau di mata masyarakat Indonesia. Saya pribadi pun mengakui bahwa Jokowi
adalah orang yang merakyat, ramah, apa adanya, dan InsyaAllah bersih. Saya
pikir wajar apabila banyak orang yang menginginkan beliau menjadi the next
President of Indonesia. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan itu. Yang
saya khawatirkan adalah justru orang-orang yang ada di sekitar beliau ataupun
mencoba mengambil keuntungan dari kepopulerannya. Ketika kebanyakan politisi
yang biasanya punya motivasi tertentu dalam setiap tindakannya, kemudian
mendukung Jokowi – sekalipun berbeda parpol, tentu ada udang di balik batu.
Begitu pula bagaimana Jokowi bisa menjadi ‘media darling’, terus-menerus
diekspos secara positif oleh media massa maupun elektronik. Sudah menjadi
rahasia umum kalau media-media massa di Indonesia kebanyakan dimiliki oleh
sekelompok orang yang punya kepentingan baik politis maupun ekonomi. Tentu
mereka tidak akan begitu saja mem-blow up seseorang sebegitu rupa, sementara
biasanya mereka begitu mudah mengkritik pejabat publik.
Mengutip
kata budayawan Emha Ainun Nadjib, salah satu karakter orang Indonesia adalah
‘gumunan’. Tiap ada publik figur yang diekspos terus-menerus di media, maka orang
yang bersangkutan otomatis akan menjadi pusat perhatian dan topik perbincangan
masyarakat. Kalau yang bersangkutan kontroversial ataupun hanya cari sensasi,
justru makin laku menjadi bintang di berbagai program tv, dan masyarakat tetap
sumringah tiap kali ketemu hingga minta foto bersama. Apalagi, yang dicitrakan
positif seperti Jokowi. Saya pribadi bingung, tiap kali di sosial media ada
orang yang mengkritik Jokowi sedikit saja, maka langsung saja banyak orang yang
mem-bushing orang tersebut, memberikan komentar tidak setuju dengan nada sinis,
dan sebagainya. Seolah-olah Jokowi itu tidak boleh disalahkan atau bahkan
sekedar dikritik. Saya sama sekali tidak melarang atau menyalahkan orang yang
mengidolai atau memuja seorang publik figur. Saya pun juga mengidolai beberapa
tokoh. Tapi, tetap harus proporsional dan pada tempatnya. Bukankah bila kita
‘sayang’ pada seseorang, kita menginginkan dia menjadi baik? Jokowi, atau
siapapun itu, juga manusia biasa yang kadang bisa lupa dan khilaf, dan kita
punya hak untuk mengingatkan beliau agar bisa bekerja lebih baik lagi.
Seseorang
dengan kepribadian easy going seperti Jokowi, juga tetap memiliki batas
resistensi diri atau daya tahan terhadap stressor. Harapan yang terlalu besar
dari masyarakat terhadap Jokowi justru bisa menjadi bumerang, baik bagi Jokowi
sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan, seorang manusia biasa
diharapkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang super kompleks
yang telah menjangkiti Indonesia sekarang ini. Jokowi sendiri sudah menyatakan
bahwa dirinya bukanlah dewa. Harapan yang teramat besar dari rakyat tersebut
tentu dapat menjadi beban luar biasa di pundak beliau, sehingga dikhawatirkan
pekerjaannya tidak dapat maksimal (apalagi pekerjaannya adalah menyelesaikan
berbagai masalah besar dalam sebuah negara yang besar), dan ini juga tidak akan
bagus bagi Indonesia sendiri. Apalagi, saat ini Jokowi baru 1 tahun menjabat
sebagai Gubernur DKI. Kalau kita tergesa-gesa mendorongnya maju sebagai capres
di 2014, tentu tugas di DKI akan menjadi ‘unfinished business’ baginya dan juga
bagi Jakarta. Ketika berbagai persoalan di ibukota belum rampung digarap,
bahkan beberapa planning-nya saja masih dalam proses, apakah harus kemudian
Jokowi sekonyong-konyong dinaikkan untuk merampungkan persoalan yang lebih
besar dan berskala Nasional? Apakah seorang murid kelas 2 SMA yang sedang
memulai mengerjakan PR-nya tiba-tiba kita suruh menyelesaikan tugas kuliah
semester 3?
Ketika
Jokowi memutuskan maju sebagai calon Gubernur DKI, ketika itu masa jabatannya
sebagai walikota Solo sudah memasuki periode kedua tahun kedua, dan berbagai
pekerjaannya sudah berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pada saat itu Solo sudah
bisa beliau tinggalkan, dan penerusnya (FX Hadi Rudyatmo) tinggal meneruskan
serta menyempurnakan saja apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi. Maka, alangkah
bijaknya apabila sekarang kita beri kesempatan kepada Jokowi untuk
menyelesaikan dulu tugas-tugasnya di DKI, baru nanti mungkin pada Pemilu 2019
bisa kita lihat apakah beliau siap untuk menjadi calon presiden. Jadi, jika
anda memang suka pada Jokowi dan cinta kepada Indonesia, maka untuk saat ini,
jangan ganggu Jokowi!