Menjelang
tahun politik Pemilu 2014 mendatang, semakin banyak lembaga survey yang
melakukan polling ataupun jajak pendapat mengenai siapa saja capres yang
potensial terpilih tahun depan dan juga parpol-parpol mana saja yang akan
menguasai parlemen. Hampir semua hasil survey menunjukkan penurunan
elektabilitas yang sangat signifikan yang dialami oleh parpol-parpol Islam.
Seperti hasil survey Lembaga Survey Nasional (LSN) yang tidak menempatkan satu pun parpol Islam dalam 5 besar. Sementara Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan perolehan suara partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, dan PPP jeblok, masing-masing hanya di bawah 5 persen. Kedua lembaga survey tersebut menunjukkan hasil yang hampir mirip, dengan dominasi Golkar dan PDI P yang masih berada di dua besar.
Penurunan
suara yang sangat drastis dari partai-partai bernuansa Islam ini tentu menjadi
ironi tersendiri. Hal ini mengingat bagaimana dulunya partai Islam pernah
berjaya di negeri ini, seperti di Pemilu 1955 yang dikuasai oleh Masyumi dan
NU. Demikian pula pada Pemilu pertama pasca-Reformasi tahun 1999, yang
menunjukkan jumlah suara yang sangat besar yang diperoleh oleh PAN, PKB, dan
juga PBB. Patut diingat pula, saat ini di negara-negara Islam tengah terjadi
‘Arab Spring’ atau revolusi besar-besaran di mana partai-partai Islam yang
dulunya kurang diperhitungkan, berhasil memenangkan pemilu di Mesir, Tunisia,
Libya, hingga Turki. Ada apa dengan partai-partai Islam di Indonesia?
Menurut
saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya elektabilitas parpol Islam
di Indonesia :
1. Tidak memiliki media massa yang besar
Sudah banyak hasil
penelitian dan teori yang menyatakan bahwa media massa memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam membentuk opini masyarakat. Dalam 5 besar kebanyakan hasil
survey untuk perolehan suara Pemilu 2014, partai Nasdem, Hanura, dan Golkar
selalu masuk. Nasdem dan Golkar diketuai oleh pemilik 2 stasiun televisi berita
terbesar di Indonesia, sementara Hanura kini didukung oleh bos sebuah grup
media raksasa yang membawahi 3 stasiun televisi dan sejumlah koran nasional
sekaligus. Tak heran jika mereka bias menggiring para pemirsa dan pembacanya
untuk mendukung mereka atau setidaknya memandang positif partai mereka. Sementara
partai-partai Islam tidak ada yang memiliki sumber daya informational power semacam ini. Yang ada justru sebaliknya, pada
akhirnya partai-partai Islam kebanyakan hanya menjadi sasaran pencitraan
negatif, yang akhirnya membuat masyarakat menutup mata terhadap mereka.
2. Dipandang bertopeng
Ya, masyarakat saat ini
menganggap bahwa ‘Islam’ yang diusung oleh parpol-parpol Islam tersebut
hanyalah digunakan sebagai topeng belaka. Publik memandang para petinggi dari
parpol-parpol tersebut kebanyakan sudah berperilaku yang tidak Islami, atau
dengan kata lain dianggap munafik. Ini bukan pendapat saya lho ya, tapi
kenyataannya masyarakat sekarang ini memang sudah memiliki mind-set seperti itu. Pada akhirnya, masyarakat menjadi kurang
bersimpati terhadap parpol-parpol ini. Apalagi setelah berbagai kasus korupsi
yang turut menyeret anggota-anggota bahkan ketua dari sejumlah parpol Islam
ini, membuat kepercayaan publik makin menurun. Masyarakat Indonesia dewasa ini
cenderung lebih menyukai figur-figur yang dianggap ‘apa adanya’, seperti Jokowi
atau Dahlan Iskan misalnya, yang celakanya juga tidak dimiliki oleh PKS, PKB,
PAN, ataupun PPP. Mungkin ada, atau bahkan banyak, tapi sayangnya mereka kurang
menonjol.
3. Islam dianggap tak bisa memberi solusi
Mungkin inilah penyebab
utama menurunnya suara parpol Islam di Indonesia. Kemenangan partai-partai
Islam di Timur Tengah dewasa ini umumnya disebabkan oleh sudah jenuhnya
masyarakat di sana dengan sistem pemerintahan diktator serta kebijakan ekonomi
kapitalis dan liberal yang dianggap kurang mampu memberikan dampak positif bagi
kehidupan masyarakat. Sehingga, mereka mulai menyadari kembali bahwa Islam
adalah solusi terbaik, sebagaimana yang telah mereka rasakan di masa kejayaan
Islam dahulu, yang kemudian mengantarkan masyarakat di negara-negara tersebut
untuk memilih partai Islam. Nah, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya.
Masyarakat di sini merasakan bahwa berbagai organisasi Islam yang ada, termasuk
parpol-parpolnya, kurang peduli dengan kesejahteraan rakyat. Masyarakat
Indonesia yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan, menganggap
parpol-parpol Islam tersebut kurang melakukan tindakan nyata dalam membantu
menaikkan taraf hidup mereka. Akhirnya, dalam setiap pemilihan umum, termasuk
pemilukada, rakyat tidak lagi melihat yang mereka pilih itu beragama apa,
berideologi apa, yang penting bisa menjamin isi perut saja.
Sebenarnya,
asalkan berbagai partai politik Islam yang ada mampu membuktikan kesungguhan
mereka, baik dalam ber-Islam maupun dalam menunjukkan kepedulian pada rakyat,
ketiga faktor di atas bisa tidak berlaku dan parpol Islam mampu meraih
kemenangan. Contohnya adalah yang terjadi di pemilukada gubernur Jawa Barat dan
Sumatra Utara 2013 yang lalu. Meskipun sebelumnya berbagai media massa demikian
gencarnya mencitrakan PKS secara negatif pasca ditahannya presiden mereka oleh
KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi, namun pada kenyataannya cagub
yang diusung partai berlambang bulan sabit kembar ini mampu tampil sebagai
pemenang. Faktor incumbent bisa dikesampingkan mengingat Fauzi Bowo sebagai
incumbent bisa kalah dalam pilgub DKI. Ini menunjukkan Ahmad Heryawan dan Gatot
Pujo Nugroho mampu membuktikan bahwa mereka telah dipercaya oleh rakyat Jabar
dan Sumut. Faktor personal lebih berpengaruh dalam pilkada? Begini, baik Aher
maupun Gatot, sekalipun keduanya melepaskan atribut PKS-nya, tetap saja mereka
dalam hal ini membawa nafas pemerintahan yang Islami. Kesimpulannya, asalkan
ada bukti, maka rakyat pun dapat percaya kepada Islam. Bukti itulah yang patut
ditunggu dari partai-partai Islam, menjelang semakin dekatnya Pemilu 2014.