Halaman

Kamis, 28 November 2013

Goyang Cesar Style


Beberapa bulan belakangan muncul fenomena joget yang begitu booming di Indonesia, yang sering disebut sebagai ‘Goyang Cesar’. Goyang cesar mulai dipromosikan dalam acara Yuk Kita Sahur yang ditayangkan oleh Tr*ns tv pada bulan Ramadhan lalu. Mungkin pihak tr*ns tv sendiri tidak pernah menyangka bahwa goyang cesar bakal begitu digemari oleh khayalak ramai di seluruh penjuru tanah air.
Saya pribadi kurang sepakat ketika banyak di antara teman-teman saya di social media yang bersikap sinis terhadap joget ini. Sejak awal kemunculannya, jujur saya menikmati joget ini. Melihat perkembangannya kemudian yang makin digemari oleh masyarakat, saya berpikir bahwa joget ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk promosi kesenian dangdut Indonesia ke dunia internasional. Misalnya melalui perwakilan-perwakilan PPI (pesatuan pelajar Indonesia) yang tersebar di berbagai negara, yang kemudian melalui media youtube, flashmob, atau semacamnya mempromosikan joget ini. Bayangan saya, joget ini tidak hanya akan menduniakan budaya Indonesia, tapi bahkan bisa mengalahkan fenomena Gangnam style.
Hanya saja, yang saya sayangkan, belakangan ini segala bentuk promosi joget ini lebih banyak cenderung ke arah komersialisasi. Berbagai pihak lebih sering menggunakan joget ini untuk menarik keuntungan belaka bagi usahanya. Di samping itu, juga timbul persaingan yang tidak sehat antar stasiun tv. Begitu goyang cesar booming, masing-masing stasiun tv seperti berlomba-lomba menciptakan jogetnya sendiri, demi keuntungan bisnisnya masing-masing tentunya.
Fenomena ini sungguh bukan yang saya harapkan. Dalam hal ini saya sama sekali bukannya membela tr*ns tv. Seandainya yang pertama kali memperkenalkan goyang cesar itu adalah r*ti, s*tv, a*tv, atau yang lainnya, saya tetap akan mendukungnya. Ketika ada suatu karya seni yang itu mengandung unsur yang kental akan budaya bangsa, dan kemudian booming, mestinya seluruh media massa yang ada mendukung karya tersebut dan membantu promosinya ke dunia Internasional.
Hal inilah yang dilakukan seluruh stasiun tv di Korea Selatan terhadap Gangnam Style, hingga menyebabkan dance tersebut terkenal ke seantero jagat. Tak peduli dari stasiun tv atau manajemen artis mana si Psy (penyanyi Gangnam style) berasal, ketika Gangnam style mulai populer dan dikenal di luar negeri, berbagai stasiun tv dan manajemen artis Korea yang lain lantas turut mendukungnya.
Apakah berarti saya melarang stasiun-stasiun tv lain untuk menciptakan joget juga? Tentu saja tidak. Itu hak masing-masing. Lho, saya juga suka kok dengan joget yang lain, seperti goyang campur-campur a*tv ataupun goyang gaspol r*ti. Kalau ada stasiun tv lain yang punya joget dangdut versi lain, ataupun karya seni lain yang juga berunsur budaya lokal, dan ternyata booming, maka stasiun-stasiun tv lain juga mesti mendukungnya, begitu seterusnya. Malah kalau seperti itu, justru bakal makin banyak macam karya seni Indonesia yang dipromosikan di luar negeri, dan secara tidak langsung nama Indonesia makin terkenal dalam kancah Internasional. Jadi, maksud saya di atas adalah, yang terpenting ‘perlombaan joget’ ini tidak lantas hanya untuk tujuan komersil semata. Semoga saja demikian.

Jumat, 25 Oktober 2013

Jangan Ganggu Jokowi

Bukan #Pro Jokowi, yang pro sudah banyak banget.
Bukan #Anti Jokowi, yang anti juga sudah banyak.
Ini semua hanyalah opini semata.


Figur yang paling populer di Indonesia saat ini mungkin adalah Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi. Beliau boleh dibilang sebagai seorang birokrat, politisi, pengusaha, tapi artis juga, mengingat sedemikian populernya beliau di mata masyarakat Indonesia. Saya pribadi pun mengakui bahwa Jokowi adalah orang yang merakyat, ramah, apa adanya, dan InsyaAllah bersih. Saya pikir wajar apabila banyak orang yang menginginkan beliau menjadi the next President of Indonesia. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan itu. Yang saya khawatirkan adalah justru orang-orang yang ada di sekitar beliau ataupun mencoba mengambil keuntungan dari kepopulerannya. Ketika kebanyakan politisi yang biasanya punya motivasi tertentu dalam setiap tindakannya, kemudian mendukung Jokowi – sekalipun berbeda parpol, tentu ada udang di balik batu. Begitu pula bagaimana Jokowi bisa menjadi ‘media darling’, terus-menerus diekspos secara positif oleh media massa maupun elektronik. Sudah menjadi rahasia umum kalau media-media massa di Indonesia kebanyakan dimiliki oleh sekelompok orang yang punya kepentingan baik politis maupun ekonomi. Tentu mereka tidak akan begitu saja mem-blow up seseorang sebegitu rupa, sementara biasanya mereka begitu mudah mengkritik pejabat publik.

Mengutip kata budayawan Emha Ainun Nadjib, salah satu karakter orang Indonesia adalah ‘gumunan’. Tiap ada publik figur yang diekspos terus-menerus di media, maka orang yang bersangkutan otomatis akan menjadi pusat perhatian dan topik perbincangan masyarakat. Kalau yang bersangkutan kontroversial ataupun hanya cari sensasi, justru makin laku menjadi bintang di berbagai program tv, dan masyarakat tetap sumringah tiap kali ketemu hingga minta foto bersama. Apalagi, yang dicitrakan positif seperti Jokowi. Saya pribadi bingung, tiap kali di sosial media ada orang yang mengkritik Jokowi sedikit saja, maka langsung saja banyak orang yang mem-bushing orang tersebut, memberikan komentar tidak setuju dengan nada sinis, dan sebagainya. Seolah-olah Jokowi itu tidak boleh disalahkan atau bahkan sekedar dikritik. Saya sama sekali tidak melarang atau menyalahkan orang yang mengidolai atau memuja seorang publik figur. Saya pun juga mengidolai beberapa tokoh. Tapi, tetap harus proporsional dan pada tempatnya. Bukankah bila kita ‘sayang’ pada seseorang, kita menginginkan dia menjadi baik? Jokowi, atau siapapun itu, juga manusia biasa yang kadang bisa lupa dan khilaf, dan kita punya hak untuk mengingatkan beliau agar bisa bekerja lebih baik lagi.

Seseorang dengan kepribadian easy going seperti Jokowi, juga tetap memiliki batas resistensi diri atau daya tahan terhadap stressor. Harapan yang terlalu besar dari masyarakat terhadap Jokowi justru bisa menjadi bumerang, baik bagi Jokowi sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan, seorang manusia biasa diharapkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang super kompleks yang telah menjangkiti Indonesia sekarang ini. Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa dirinya bukanlah dewa. Harapan yang teramat besar dari rakyat tersebut tentu dapat menjadi beban luar biasa di pundak beliau, sehingga dikhawatirkan pekerjaannya tidak dapat maksimal (apalagi pekerjaannya adalah menyelesaikan berbagai masalah besar dalam sebuah negara yang besar), dan ini juga tidak akan bagus bagi Indonesia sendiri. Apalagi, saat ini Jokowi baru 1 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI. Kalau kita tergesa-gesa mendorongnya maju sebagai capres di 2014, tentu tugas di DKI akan menjadi ‘unfinished business’ baginya dan juga bagi Jakarta. Ketika berbagai persoalan di ibukota belum rampung digarap, bahkan beberapa planning-nya saja masih dalam proses, apakah harus kemudian Jokowi sekonyong-konyong dinaikkan untuk merampungkan persoalan yang lebih besar dan berskala Nasional? Apakah seorang murid kelas 2 SMA yang sedang memulai mengerjakan PR-nya tiba-tiba kita suruh menyelesaikan tugas kuliah semester 3?


Ketika Jokowi memutuskan maju sebagai calon Gubernur DKI, ketika itu masa jabatannya sebagai walikota Solo sudah memasuki periode kedua tahun kedua, dan berbagai pekerjaannya sudah berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pada saat itu Solo sudah bisa beliau tinggalkan, dan penerusnya (FX Hadi Rudyatmo) tinggal meneruskan serta menyempurnakan saja apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi. Maka, alangkah bijaknya apabila sekarang kita beri kesempatan kepada Jokowi untuk menyelesaikan dulu tugas-tugasnya di DKI, baru nanti mungkin pada Pemilu 2019 bisa kita lihat apakah beliau siap untuk menjadi calon presiden. Jadi, jika anda memang suka pada Jokowi dan cinta kepada Indonesia, maka untuk saat ini, jangan ganggu Jokowi!

Kamis, 12 September 2013

Film-film Hollywood Berjudul Aneh

Selama ini kalau kita memperhatikan judul-judul sebuah film, pada umumnya memiliki pola bahasa yang menarik, dan terkadang menggunakan kiasan yang filosofis atau puitis. Contoh dari judul-judul film Indonesia antara lain seperti 'Ketika Cinta Bertasbih', 'Perempuan Punya Cerita', 'Mengejar Matahari', 'Tendangan dari Langit', 'Biola Tak Berdawai', dsb. Meskipun tidak selalu demikian, namun bagusnya judul sebuah film seringkali mewakili kualitas dari film tersebut. Akan tetapi, saya menemukan sejumlah film Hollywood yang berkualitas namun memiliki judul yang aneh apabila diterjemahkan (secara harfiah) ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan tidak seperti judul film.
Berikut sebagian film-film Hollywood berjudul aneh tersebut :

Cloudy With a Chance of Meatballs
=
Berawan Dengan Kesempatan Bakso







Burn After Reading
=
Terbakar Setelah Membaca







Lovely Bones
=
Tulang-tulang Tercinta







I am Number Four
=
Aku Nomor Empat
(*kamu nomor berapa?)






You Will Meet a Tall Dark Stranger
=
Kau Akan Bertemu Orang Asing yang Tinggi dan Hitam

Did You Hear About the Morgans?
=
Apakah Kau Sudah Mendengar Tentang Para Morgan?

Up
=
Naik
(*udah? gitu aja?)






I Do
=
Aku Melakukan







Hunger Games
=
Permainan Kelaparan
He's Just Not That Into You
=
......................
(*maaf, ada yang bisa bantu saya menerjemahkannya? ^_^" )







Borat: Cultural Learning of America for Make Benefit Glourious Nation of Kazakhstan
=
Borat: Mempelajari Budaya Amerika untuk Memberi Keuntungan bagi Kejayaan Negara Kazakhstan

Rabu, 28 Agustus 2013

Empati Antar Kelompok

Ada 274 orang diusir dari desanya, kemudian terpaksa mengungsi dengan makanan dan air seadanya, hingga kemudian nasibnya terkatung-katung dan bahkan kemudian hendak diusir lagi ke tempat yang lebih jauh. SIAPAPUN mereka, merasa kasihan kah anda?

Orang-orang sedang shalat shubuh berjamaah, kemudian tiba-tiba diserang dengan brutal hingga menewaskan tak kurang dari 120 orang dan lebih dari seribu orang lainnya menderita luka-luka. SIAPAPUN mereka, merasa miris kah anda?

Oke, sekarang saya beritahukan pada anda. Cerita yang pertama adalah mengenai kasus Syiah di Sampang, Madura, yang terusir dari kampung halamannya pasca kerusuhan sekterian lantaran mereka dianggap sesat oleh penduduk sekitarnya (sumber : nasional.kompas.com, 23-11-2012). Sedangkan cerita yang kedua adalah mengenai demonstran pendukung presiden Morsi dari Ikhwanul Muslimin yang dikudeta oleh pihak militer (sumber : www.republika.co.id, 20 Agustus 2013).
Kenapa dua cerita yang saya angkat di awal artikel ini? Karena kedua kelompok yang saya ketengahkan tersebut masing-masing memiliki pihak pro dan kontra yang saling berlawanan.

Umumnya kelompok-kelompok dan pergerakan yang membela Ikhwanul Muslimin di Mesir, juga kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum muslim yang terzalimi di Palestina, Irak, Afghanistan, Rohingya di Myanmar, hingga di Suriah. Selain itu mereka juga sering membela orang-orang yang mendapat perlakuan diskriminatif lantaran berusaha mempertahankan keyakinannya, semisal wanita yang dipecat oleh perusahaannya karena enggan melepas jilbab. Empati yang ditunjukkan kelompok-kelompok ini sangat bagus dan saya mendukung sepenuhnya. Namun, di sisi lain, seringkali kelompok-kelompok atau pergerakan ini kurang menunjukkan kepekaan terhadap kaum-kaum termarjinalkan dan minoritas di Indonesia seperti komunitas Syiah, Ahmadiyah, hingga kaum LGBT dan orang berpenampilan preman, bahkan kebanyakan memandang negatif terhadap mereka.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang membela Syiah Sampang, umumnya juga membela orang-orang Ahmadiyah, kaum minoritas non-Muslim, hingga kelompok sosial termarjinalkan yang lain. Namun, di sisi lain, mereka seringkali diam atau bahkan cenderung membenarkan perlakuan zolim, diskriminatif dan tidak adil yang ditimpakan kepada orang-orang dari kelompok-kelompok yang dianggap ‘Islamis’. Kalau yang menerapkan ‘empati standar ganda’ semacam ini adalah orang-orang eksklusif-fundamentalis saya mungkin masih maklum, tapi agak aneh juga kalau yang menerapkannya adalah orang-orang yang mengaku pluralis atau liberalis. Lalu ke mana propaganda ‘toleransi untuk semua’ yang didengung-dengungkan selama ini?

Intergroup Empathy (empati antar kelompok)

Alasan utama saya menulis ini adalah karena keprihatinan. Seharusnya yang namanya berempati itu tidak milih-milih, tidak melihat siapa yang terdzolimi dan siapa yang didzolimi.


Empati dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merespon pikiran dan perasaan orang lain, baik secara emosional maupun dengan menggunakan pikiran (Taufik, 2012). Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat akurasi empati seseorang adalah faktor hubungan antara orang tersebut dengan target empati. Empati akan sulit dilakukan apabila terdapat jarak sosial antara orang yang berempati dengan target empati-nya. Manusia umumnya cenderung kurang peka atau perhatian terhadap emosi negatif (seperti kesedihan atau kemarahan) yang dialami oleh orang yang memiliki jarak ruang dan waktu dengannya, ataupun berbeda dalam hal ras, golongan, ataupun kelompok sosial (Batson & Ahmad, dalam Cikara, dkk., 2011).
Namun, empati memiliki konsep yang dinamakan perspective taking, yaitu menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain serta betul-betul mengerti dan memahami apa yang terjadi pada orang lain tersebut (Taufik, 2012). Perspective taking yang menitikberatkan pada emosi disebut dengan emotional responses. Nah, melalui proses perspective taking inilah empati dapat membantu seseorang untuk lebih memahami perasaan dan emosi orang dari kelompok atau golongan yang berbeda, sekaligus meningkatkan interaksi yang positif, dan memperbaiki hubungan interpersonal maupun antar kelompok yang semula saling tidak menyukai satu sama lain (Yabar & Hess, 2007).
Perspective taking maupun emotional responses membentuk empat kondisi psikologis di dalam hubungan antar kelompok (Batson & Ahmad, dalam Taufik, 2012) yaitu :
  1. Imagine-self perspective : yaitu membayangkan bagaimana kita berpikir dan merasakan apabila kita berada pada kondisi atau posisi seseorang.
  2. Imagine-other perspective : yaitu membayangkan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain pada sebuah situasi.
  3. Emotion matching : yaitu merasakan emosi yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain.
  4. Empathic concern : yaitu kemampuan merasakan apa yang sedang dibutuhkan oleh orang lain.

Memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Pada tataran inilah kita seharusnya mampu menggunakan empati kita dalam melihat orang-orang yang ‘berbeda’ dengan kita. Dengan adanya empati ini, kita tidak akan dengan mudahnya memberikan prasangka, penilaian, ataupun sikap yang buruk terhadap orang lain. Misal terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah. Sekalipun menurut kita Syiah dan Ahmadiyah itu sesat, apakah kemudian itu menghalangi kita untuk merasa kasihan dan bertindak simpati terhadap para korban yang terusir dari kampungnya ataupun yang masjidnya dibakar? Begitupun sebaliknya, terhadap Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan kawan-kawannya. Anda boleh saja mengatakan Ikhwanul Muslimin dan Hamas itu salah. Tapi, jika kemudian membunuhi mereka (bahkan termasuk anak-anak dan wanitanya), merampas hak milik mereka, mengganggu hak mereka untuk beribadah dan menerapkan apa yang menurut mereka diajarkan oleh agama mereka, apakah itu semua dibenarkan? Hmm.....

Oke, coba saya kasih satu contoh orang yang gak bisa berempati antar kelompok. Sebut saja namanya Pak Kencot, sedang jalan kaki. Tiba-tiba di dekatnya ada seorang pemuda naik motor, brakk! jatuh dia/kecelakaan tunggal. Di sekitar mereka gak ada orang lain. Pak Kencot langsung mendekati pemuda tersebut, yang ternyata sudah sekarat dan harus segera diambil tindakan. Sebelum menolongnya, Pak Kencot malah tanya dulu "kamu orang Jawa atau luar Jawa?". Terus pemuda itu menjawab sambil kesakitan "aduuuh....Jawa, aduuh..." Terus Pak Kencot tanya lagi "suku Jawa, Sunda, atau Betawi?" terus pemuda itu jawab lagi sambil terus memegangi kepalanya "Jawa pak! aduuuh...sakit sekali ini pak!! tolong..." Pak Kencot masih bertanya lagi "Jawa Timur, Tengah, atau Jogja?!" orang itu jawab lagi sambil meronta-ronta "Jawa Tengah!! aduuh! tolong pak, aduuuh!" Sudah begitu kondisinya, eh Pak Kencot masih tanya lagi "Jawa tengahnya Solo, Ngapak, residenan Kudus, atau Magelang?" "Ngapaaaak!!!!!" pemuda itupun berteriak. Sudah klimaks, dan Pak Kencot masih juga bertanya "Ngapak Banyumasan atau Tegal?" Akhirnya, pemuda itu pun........(isi sendiri)
Apakah kita mau seperti Pak Kencot?

Satu hal lagi. Bukankah dengan berempati, sebenarnya itu justru memudahkan kita untuk berdakwah? Misalnya terhadap kaum homoseksual. Dengan berempati, kita dapat memahami dan mengerti kenapa mereka seperti ini dan itu. Setelah faham, kita akan mudah untuk meluruskan mereka dan mengarahkan mereka kepada hal yang lebih benar. Melalui empati, kita tidak akan mudah men-cap jelek atau mengucilkan mereka di satu sisi, dan di sisi lain tanpa harus melebur menjadi homoseksual juga. Begitu juga dapat diterapkan dalam dakwah terhadap kelompok-kelompok yang lain.

Mungkin demikian yang bisa saya gambarkan. Saya sendiri masih perlu belajar banyak untuk dapat berempati, karena menurut sebagian orang kadang saya masih suka berpikiran picik, hehe. Sebelum tulisan ini diakhiri, inti dari artikel ini mungkin dapat terwakili oleh Al Qur’an Surat Al Maa’idah ayat 5 berikut ini :

“.....Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”

Wallahu’alam bisshowab.



Daftar Pustaka :
Cikara, M., Bruneau, E.G., & Saxe, R.R. (2011). Us and them : intergroup failures of empathy. Current Directions in Psychological Science, 20 (3), 149-153.
Taufik (2012). Empati, pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Yabar, Y. & Hess, U. (2007). Display of empathy and perception of outgroup members. New Zealand Journal of Psyhology, 36 (1), 42-49.


Kamis, 30 Mei 2013

Matematika Relasi Sosial

Anda tentu tahu rumus matematika ini :

(+) x (+) = (+)
(+) x (-) = (-)
(-) x (+) = (-)
(-) x (-) = (+)

Ternyata, dalam kehidupan sosial sehari-hari, rumus ini juga dapat diterapkan, dalam hal memprediksi bagaimana potensi hubungan kita dengan seseorang, berdasarkan hubungan orang tersebut dengan orang lain yang telah memiliki hubungan terlebih dahulu dengan kita. 
Dalam hal ini, nominal positif (+) kita substitusikan sebagai orang yang memiliki hubungan dengan kita sebagai seorang teman, sahabat, kerabat, atau sejenisnya. Sementara nominal negatif (-) kita substitusikan sebagai orang yang memiliki hubungan kurang baik dengan kita, semisal musuh, saingan, ancaman, atau sejenisnya.
Maka, akan kita dapatkan rumus sebagai berikut :

Teman (+) dari Temanku (+) adalah (=) Temanku (+)
Teman (+) dari Musuhku (-) adalah (=) Musuhku (-)
Musuh (-) dari Temanku (-) adalah (=) Musuhku (-)
Musuh (-) dari Musuhku (-) adalah (=) Temanku (+)

Memang, suatu dinamika sosial tidak akan se-kaku rumus matematika. Akan tetapi, pada kenyataannya, relasi sosial serupa rumus di atas lah yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Kita biasanya akan menganggap teman dari teman kita juga bisa menjadi teman bagi kita. Kita akan nyaman bergaul dengan mereka. Sementara apabila kita memusuhi seseorang, kita akan mengganggap teman dari orang tersebut sebagai musuh kita juga. Begitu juga dengan orang yang memusuhi teman kita, biasanya kita akan balas memusuhi mereka. Uniknya, apabila kita mungkin punya musuh, kemudian ada orang lain yang memusuhi musuh kita itu, kita biasanya akan ‘berkoalisi’ dengan orang lain tersebut. 

Rumus ini memang tidak selalu dapat digeneralisir secara sempurna. Tapi setidaknya, rumus ini bisa kita gunakan untuk memahami berbagai interaksi dan relasi sosial yang ada di sekitar kita, khususnya dalam ranah politik, kompetisi, dan tak jarang juga di dunia kerja. Sehingga, kita dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mungkin dapat mengenai diri kita sendiri. Namun, apapun itu, yang jelas saya pribadi dan juga anda, tentu tidak pernah berharap punya musuh, dan hanya menginginkan rumus yang pertama ( + x + = +) yang terjadi pada diri kita.