Terdapat semacam mindset umum di dalam masyarakat, mengenai konsep ‘orang
baik’. Syarat mutlak agar seseorang dapat dianggap baik adalah TIDAK MUNAFIK.
Orang-orang jaman sekarang tidak lagi peduli apakah yang bersangkutan itu
seorang yang berpenampilan tidak layak, ataukah orang yang tidak sopan, selama
dia jujur, orang akan respek. Tidak peduli apakah dia seorang preman atau
seorang asusila, yang penting dia jujur.
Di satu sisi, cara berpikir seperti ini ada positifnya. Kita menjadi tidak
mudah menilai orang hanya dari penampilannya saja. Ibaratnya, pepatah “don’t
judge a book from its cover” sekarang sudah banyak yang mampu mengamalkannya.
Itu bagus. Namun di sisi lain, adanya semacam syarat mutlak ini menyebabkan
orang menjadi – sebaliknya - otomatis berpandangan negatif terhadap siapapun
yang munafik ataupun yang dianggap munafik.
Akibatnya, banyak kita saksikan bagaimana banyak orang yang dipandang alim
ataupun para ulama, ustad, ahli agama, begitu sekalinya mereka dianggap munafik
oleh masyarakat, maka seketika itu juga hancurlah citra mereka. Tidak cuma itu.
Orang-orang agamis semacam itu juga menjadi seolah-olah ‘dilarang’ untuk
berbuat salah barang sedikit saja. Padahal, toh mereka juga manusia biasa yang
bisa salah dan lupa.
Oke, saya sangat sepakat bahwa kita tidak boleh begitu saja memandang
negatif orang yang berpenampilan dan berkelakuan preman, atau yang tidak pernah
beribadah dan nggak paham agama. Karena saya pun berpandangan bahwa mereka
tetap manusia, masih punya banyak kelebihan lain, apalagi jika mereka punya
banyak amal dan punya habluminannas
atau hati dan sikap yang baik terhadap orang lain.
Yang saya tidak suka adalah, bagaimana media-media massa sekarang, ataupun
segolongan orang-orang di media sosial, berupaya membentuk opini yang tadi,
yaitu bahwa “Tidak masalah dia nggak shalat, nggak pakai jilbab, nggak ngerti
agama, yang penting dia jujur dan baik. Sebaliknya jika dia rajin beribadah dan
menguasai agama, namun ada perilakunya yang tidak konsisten, maka dia adalah
orang yang tidak baik. Titik.” Pembentukan cara berpikir masyarakat seperti ini
tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan mindset bahwa Agama itu Tidak
Penting.
Maka dari itu, di sini saya hendak
menekankan mengenai sebuah konsep mengenai ‘Religiusitas’. Jadi, menurut Glock
dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004), religiusitas itu meliputi 5
dimensi :
1.
Dimensi Keyakinan (Religious
Belief). Meliputi tingkat keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, dan juga
hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, berikut tingkat kepatuhannya terhadap
hal-hal tersebut. Dalam islam, ini berkaitan dengan keimanan dan akidah.
2.
Dimensi Ibadah (Religious
Practice). Meliputi frekuensi, intensitas, variasi, serta pemaknaan seseorang
dalam menjalankan ritual keagamaannya.
3.
Dimensi Pengalaman (Religious
Feeling). Meliputi perasaan-perasaan atau emosi keagamaan yang dirasakan
oleh seseorang, yang diperoleh dair peristiwa di sekelilingnya. Mencakup juga
pengalaman-pengalaman khusus dan perubahan emosi religius yang dialami
seseorang atau sekelompok orang.
4.
Dimensi Pengetahuan (Religious
Knowledge). Mencakup tingkat pengetahuan, penghafalan, serta pengetahuan
seseorang mengenai ajaran agamanya, berikut usaha yang dilakukan untuk memperolehnya.
5.
Dimensi Konsekuensial (Religious
Effect). Mencakup sejauh mana perilaku seseorang sehari-hari dan dalam
kehidupan sosial dilandasi oleh agamanya. Dalam islam, dimensi ini dapat
disamakan dengan akhlak atau kesalehan sosial.
Seorang individu bisa memiliki tingkat yang tinggi dalam satu dimensi,
namun memiliki tingkatan yang rendah dalam dimensi lain. Misalnya, seseorang
bisa jadi rajin beribadah (tinggi dalam dimensi ibadah-nya), namun sombong dan
tidak suka bersedekah (rendah dalam dimensi konsekuensial). Bisa juga ada orang
lain yang sangat menguasai pengetahuan tentang agama (tinggi dalam dimensi
pengetahuan), namun hal itu justru membuat dia meragukan Tuhan (rendah dalam
dimensi keyakinan). Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dapat disebut sebagai orang yang
‘relijius’ (atau versi saya, orang yang ‘baik’) adalah orang yang memenuhi lima
dimensi di atas. Apabila salah satu saja dari kelima dimensi di atas tidak
dimiliki oleh orang yang bersangkutan, maka dia tidak dapat dibilang ‘relijius’
atau ‘baik’.
Jadi, sebenarnya, orang yang tidak taat beragama namun baik hati, dengan
orang yang taat beragama namun sedikit munafik, itu statusnya sama. Tidak ada
yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dan kurang bijak juga untuk memandang
negatif keduanya, karena bagaimanapun untuk menjadi orang yang betul-betul
relijius itu sulit (saya pribadi pun merasa belum bisa seperti itu).
Menjadi manusia yang sempurna itu mustahil, akan tetapi setidaknya kita
sebagai manusia berupaya memenuhi kelima dimensi di atas walaupun mungkin masih
dalam taraf yang rendah. Tapi setidaknya, melalui pemahaman tentang
religiusitas ini (bisa Anda baca-baca lagi dari berbagai sumber), di satu sisi
kita tidak mudah untuk men-judge orang lain buruk, dan di sisi lain kita tetap
meyakini bahwa yang namanya Agama itu Penting.
referensi :
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2004). Psikologi islami. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.