Halaman

Selasa, 30 September 2014

Matinya Politik Pencitraan


Pemilihan kepala daerah atau pilkada akhirnya resmi dikembalikan ke DPRD alias tidak lagi dipilih secara langsung. Banyak orang yang menyebut, baik melalui media maupun melalui berbagai aksi, bahwa keputusan yang diperoleh melalui hasil sidang paripurna DPR RI kamis (25/9) lalu ini adalah kematian bagi demokrasi. ‘RIP Demokrasi’. Begitu kira-kira judulnya. Benarkah demikian? Itu terserah pada Anda.
Yang jelas, saya juga melihat ada hal lain yang ikut ‘mati’ sebagai akibat dari RUU pilkada ini. Dia adalah ‘politik pencitraan’. Ya, politik pencitraan boleh dikatakan habis. ‘Mati’, dalam arti sebenarnya. Dan ini berlaku untuk kedua kubu, baik yang mendukung pilkada langsung (kubu koalisi PDIP), maupun pengusung pilkada lewat DPRD (Koalisi Merah Putih).
Saya betul-betul heran dan tak habis pikir dengan langkah-langkah yang diambil oleh KMP pasca kalah di pilpres. Bukannya menerima dengan legowo dan besar hati, mereka malah melakukan hal-hal yang justru bisa memperburuk citra mereka sendiri. Pertama-tama, mereka menggugat melalui MK. Sebenarnya ini mungkin sudah melalui mekanisme hukum yang benar, tapi tetap saja kesan yang ditangkap masyarakat, Prabowo dan partai-partai pengusungnya tidak mau menerima kekalahan.
Setelah gugatannya ditolak MK, mereka coba mencari cara lain untuk tetap punya kuasa. Yaitu dengan mencoba menggolkan pilkada via DPRD. Seharusnya mereka sudah tahu dan mampu memprediksi bahwa sikap ini akan membuat mereka dicap telah mencabut hak berpolitik rakyat dan justru akan banyak menimbulkan kongkalikong. Lagi-lagi, ini bisa berakibat fatal bagi suara KMP di 2019, karena amat sangat mungkin rakyat menjadi sudah tidak percaya lagi pada partai-partai di koalisi tersebut (dan gejala itu sudah nampak sedemikian rupa). Namun, toh mereka tetap bergeming. Ini, menunjukkan bahwa Prabowo dan para pendukungnya tidak lagi menganggap politik pencitraan sebagai sesuatu yang penting.
Ketika mengajukan ide pilkada via DPRD, kubu KMP sendiri beralasan bahwa pilkada secara langsung rawan dengan politik uang dan juga kental dengan politik pencitraan. Pernyataan ini sedikit banyak ada benarnya. Ketika hak memilih itu ada di tangan rakyat, maka strategi yang bisa diambil oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada, salah satu yang paing jitu adalah politik pencitraan. Dan ini sudah terbukti sukses. Khususnya dilakoni oleh para partai koalisi pendukung Jokowi. Taktik yang mereka mainkan sangat rapi untuk bisa mengambil hati masyarakat, untuk bisa menampilkan diri bahwa mereka memang berpihak pada rakyat (entah itu betul atau tidak). Dengan dihapuskannya pilkada secara langsung ini, maka praktis membuat partai-partai koalisi kotak-kotak tersebut tidak bisa lagi menggunakan strategi politik pencitraan ini.
Itulah yang saya katakan, ‘politik pencitraan’ telah mati, bagi kedua belah pihak. Lantas, sebenarnya manakah yang lebih tepat, pilkada langsung atau melalui DPRD? Sebenarnya untuk situasi saat ini, memang yang lebih pas adalah pilkada langsung. Saya pribadi pun termasuk pendukung pilkada langsung, walaupun pada pilpres lalu saya mendukung koalisi merah putih (saya terbuka saja ya). Namun, sebenarnya, semua berpulang pada kondisi mental bangsa Indonesia sendiri. Selama rakyat Indonesia masih banyak yang belum cerdas dalam berpolitik dan - inilah masalahnya - belum makmur, maka pilkada langsung memang akan rawan politik pencitraan dan masih dapat menimbulkan sejumlah masalah yang pada akhirnya melahirkan pemimpin berjiwa ‘idol’. Demikian pula, selama masih banyak orang pintar yang haus jabatan dan materi, serta orang kaya yang haus kekuasaan, serta politikus-politikus yang…..ya begitulah, maka pemilihan melalui DPRD tetap akan mengesampingkan kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya tak begitu masalah sistem pemilihan seperti apa yang diterapkan, semuanya berpulang pada mental rakyat Indonesia dan para elit politik sendiri. Selama mental rakyat dan elit baik, maka sistem apapun yang diterapkan bisa berlangsung secara ideal. Namun selama mental rakyat dan elit tetap seperti sekarang ini, maka sistem apapun yang diterapkan niscaya belum bisa menghasilkan the real good governance.

Wallahu a’lam bisshowab.