Halaman

Senin, 27 Januari 2014

Isih Penak Jamanku

Jelang Pemilu 2014, konstelasi politik di Indonesia makin berwarna. Tidak hanya di kalangan atas, di kalangan akar rumput pun semakin banyak fenomena yang menarik. Salah satunya adalah maraknya tagline “Piye kabare le? Isih penak jamanku tho?” (“Bagaimana kabarnya nak? Masih enak jamanku kan?”) Tagline ini muncul disertai poster wajah mantan presiden Soeharto, dengan senyum khasnya sembari melambaikan tangan. Poster pak Harto ini beredar di mana-mana, mulai dari stiker-stiker, spanduk, mural, hingga lukisan di belakang truk. Masyarakat terlihat menyambut fenomena ini secara positif, yang salah satunya ditunjukkan dengan lakunya atribut-atribut bergambar serupa.

Entah fenomena ‘penak jamanku’ ini memang telah di-setting oleh sejumlah kelompok ataupun muncul begitu saja, yang jelas fenomena ini memberikan stimulus kepada masyarakat untuk mengingat kembali era Orde Baru di bawah kepemimpinan pak Harto, lalu membandingkannya dengan zaman sekarang. Respon yang sering timbul dari masyarakat adalah, mengiyakan tagline tersebut. Rakyat pada akhirnya terpikirkan bahwa era reformasi saat ini tidaklah lebih baik daripada era Orde baru dahulu, bahkan mungkin lebih buruk.



Saya pribadi tidak secara utuh setuju ataupun tidak menyetujui tagline ‘penak jamanku’ tersebut. Dan memang yang hendak saya bahas di sini bukan soal slogan itu sendiri. Saya lebih menyoroti bagaimana orang-orang di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya, memang sudah pada dasarnya memiliki rasa tidak puas dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk pemimpin. Perasaan tidak puas (displeasure) terhadap pemimpin setidaknya dapat disebabkan oleh 3 hal :

Comparing. Membandingkan antar dua hal atau lebih sudah menjadi naluri alamiah dari manusia. Seorang wanita seringkali secara otomatis membandingkan penampilan fisiknya dengan wanita lainnya. Orang tua secara tidak sadar sering membanding-bandingkan anaknya yang satu dengan yang lain. Apalagi ketika memang dihadapkan kepada pilihan, seperti misalnya antara tiga baju yang akan dibeli, perilaku membandingkan itu akan muncul dengan sendirinya. Dalam perilaku membandingkan ini, tentu akan ada saja kekurangan yang nampak dari hal yang dinilai. Begitu juga saat menilai seorang pemimpin. Ketika membandingkan antara pemimpin yang saat ini dengan yang sebelumnya, tentu akan ada saja kejelekan yang kita dapat dari pemimpin saat ini bila dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya. Hal ini membuat rakyat jadinya tidak akan pernah puas. Ini mungkin menjadi salah satu sebab kenapa Mesir, Thailand, dan Ukraina terus saja bergolak meski sudah gonta-ganti pemimpin. Semoga Indonesia tidak demikian.

Tidak Bersyukur. Kalau soal yang satu ini semua sudah tahu lah, memang begitu sifatnya manusia (termasuk saya). Dikasih hati minta ampela. Miskin, minta kaya. Begitu dikasih kaya, minta lebih kaya lagi, begitu seterusnya. Sudah punya motor, pingin mobil. Sudah punya mobil, pingin yang lebih bagus lagi. Sehingga begitu juga dalam menyikapi pemimpin. Niscaya tidak akan pernah ada pemimpin yang bisa memuaskan rakyatnya.

Ketergantungan terhadap figur. Chicago Bulls tidak pernah bagus lagi semenjak kepergian Michael Jordan. Ferrari tidak sestabil ketika Michael Schumacher masih di sana. Manchester United sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson hingga saya menulis ini, prestasinya boleh dibilang jeblok. Ketokohan seorang pemimpin di dalam kelompok dapat memberikan dampak yang positif ataupun negatif. Apabila pemimpin yang bersangkutan pernah lama ‘berkuasa’ dan menorehkan berbagai catatan, baik ataupun buruknya dia akan terus dikenang oleh kelompok yang bersangkutan. Termasuk dalam konteks bernegara, maka rakyat akan menjadikan kepala negara/pemerintahan yang sebelumnya pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama sebagai acuan dalam menilai setiap kepala negara yang baru. Contoh paling shahih adalah Korea Utara, Russia, serta sejumlah negara Afrika. Soeharto terbilang sukses dalam meng-cut memori rakyatnya terhadap era Soekarno, meski mungkin dengan metode yang represif. Sementara, kebebasan di era reformasi ini memberikan ruang yang luas bagi rakyat untuk terus mengkritisi pemimpinnya. Dalam mengkritik ini, rakyat menjadikan presiden-presiden sebelumnya sebagai acuan, sehingga menjadi sulit untuk melupakan mereka.


Tulisan ini bukan bermaksud membela atau sebaliknya mencela pemerintah sekarang maupun pemerintah-pemerintah yang lalu. Tujuan utama saya adalah mengajak pembaca untuk lebih proporsional dalam menilai pemerintah. Kritik itu harus, namun dengan tetap tidak keluar dari orientasi perbaikan, bukan membandingkan apalagi menjatuhkan. Jika kita hanya berorientasi pada kedua hal yang terakhir, tidak akan pernah ada presiden yang cocok bagi Indonesia, siapapun dia.