Halaman

Sabtu, 30 Maret 2013

Terpuruknya Partai Islam di Indonesia


Menjelang tahun politik Pemilu 2014 mendatang, semakin banyak lembaga survey yang melakukan polling ataupun jajak pendapat mengenai siapa saja capres yang potensial terpilih tahun depan dan juga parpol-parpol mana saja yang akan menguasai parlemen. Hampir semua hasil survey menunjukkan penurunan elektabilitas yang sangat signifikan yang dialami oleh parpol-parpol Islam. Seperti hasil survey Lembaga Survey Nasional (LSN) yang tidak menempatkan satu pun parpol Islam dalam 5 besar. Sementara Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan perolehan suara partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, dan PPP jeblok, masing-masing hanya di bawah 5 persen. Kedua lembaga survey tersebut menunjukkan hasil yang hampir mirip, dengan dominasi Golkar dan PDI P yang masih berada di dua besar.



Penurunan suara yang sangat drastis dari partai-partai bernuansa Islam ini tentu menjadi ironi tersendiri. Hal ini mengingat bagaimana dulunya partai Islam pernah berjaya di negeri ini, seperti di Pemilu 1955 yang dikuasai oleh Masyumi dan NU. Demikian pula pada Pemilu pertama pasca-Reformasi tahun 1999, yang menunjukkan jumlah suara yang sangat besar yang diperoleh oleh PAN, PKB, dan juga PBB. Patut diingat pula, saat ini di negara-negara Islam tengah terjadi ‘Arab Spring’ atau revolusi besar-besaran di mana partai-partai Islam yang dulunya kurang diperhitungkan, berhasil memenangkan pemilu di Mesir, Tunisia, Libya, hingga Turki. Ada apa dengan partai-partai Islam di Indonesia?

Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya elektabilitas parpol Islam di Indonesia :
1.   Tidak memiliki media massa yang besar
Sudah banyak hasil penelitian dan teori yang menyatakan bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk opini masyarakat. Dalam 5 besar kebanyakan hasil survey untuk perolehan suara Pemilu 2014, partai Nasdem, Hanura, dan Golkar selalu masuk. Nasdem dan Golkar diketuai oleh pemilik 2 stasiun televisi berita terbesar di Indonesia, sementara Hanura kini didukung oleh bos sebuah grup media raksasa yang membawahi 3 stasiun televisi dan sejumlah koran nasional sekaligus. Tak heran jika mereka bias menggiring para pemirsa dan pembacanya untuk mendukung mereka atau setidaknya memandang positif partai mereka. Sementara partai-partai Islam tidak ada yang memiliki sumber daya informational power semacam ini. Yang ada justru sebaliknya, pada akhirnya partai-partai Islam kebanyakan hanya menjadi sasaran pencitraan negatif, yang akhirnya membuat masyarakat menutup mata terhadap mereka.

2.  Dipandang bertopeng
Ya, masyarakat saat ini menganggap bahwa ‘Islam’ yang diusung oleh parpol-parpol Islam tersebut hanyalah digunakan sebagai topeng belaka. Publik memandang para petinggi dari parpol-parpol tersebut kebanyakan sudah berperilaku yang tidak Islami, atau dengan kata lain dianggap munafik. Ini bukan pendapat saya lho ya, tapi kenyataannya masyarakat sekarang ini memang sudah memiliki mind-set seperti itu. Pada akhirnya, masyarakat menjadi kurang bersimpati terhadap parpol-parpol ini. Apalagi setelah berbagai kasus korupsi yang turut menyeret anggota-anggota bahkan ketua dari sejumlah parpol Islam ini, membuat kepercayaan publik makin menurun. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung lebih menyukai figur-figur yang dianggap ‘apa adanya’, seperti Jokowi atau Dahlan Iskan misalnya, yang celakanya juga tidak dimiliki oleh PKS, PKB, PAN, ataupun PPP. Mungkin ada, atau bahkan banyak, tapi sayangnya mereka kurang menonjol.

3.   Islam dianggap tak bisa memberi solusi
Mungkin inilah penyebab utama menurunnya suara parpol Islam di Indonesia. Kemenangan partai-partai Islam di Timur Tengah dewasa ini umumnya disebabkan oleh sudah jenuhnya masyarakat di sana dengan sistem pemerintahan diktator serta kebijakan ekonomi kapitalis dan liberal yang dianggap kurang mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Sehingga, mereka mulai menyadari kembali bahwa Islam adalah solusi terbaik, sebagaimana yang telah mereka rasakan di masa kejayaan Islam dahulu, yang kemudian mengantarkan masyarakat di negara-negara tersebut untuk memilih partai Islam. Nah, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Masyarakat di sini merasakan bahwa berbagai organisasi Islam yang ada, termasuk parpol-parpolnya, kurang peduli dengan kesejahteraan rakyat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan, menganggap parpol-parpol Islam tersebut kurang melakukan tindakan nyata dalam membantu menaikkan taraf hidup mereka. Akhirnya, dalam setiap pemilihan umum, termasuk pemilukada, rakyat tidak lagi melihat yang mereka pilih itu beragama apa, berideologi apa, yang penting bisa menjamin isi perut saja.

Sebenarnya, asalkan berbagai partai politik Islam yang ada mampu membuktikan kesungguhan mereka, baik dalam ber-Islam maupun dalam menunjukkan kepedulian pada rakyat, ketiga faktor di atas bisa tidak berlaku dan parpol Islam mampu meraih kemenangan. Contohnya adalah yang terjadi di pemilukada gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara 2013 yang lalu. Meskipun sebelumnya berbagai media massa demikian gencarnya mencitrakan PKS secara negatif pasca ditahannya presiden mereka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi, namun pada kenyataannya cagub yang diusung partai berlambang bulan sabit kembar ini mampu tampil sebagai pemenang. Faktor incumbent bisa dikesampingkan mengingat Fauzi Bowo sebagai incumbent bisa kalah dalam pilgub DKI. Ini menunjukkan Ahmad Heryawan dan Gatot Pujo Nugroho mampu membuktikan bahwa mereka telah dipercaya oleh rakyat Jabar dan Sumut. Faktor personal lebih berpengaruh dalam pilkada? Begini, baik Aher maupun Gatot, sekalipun keduanya melepaskan atribut PKS-nya, tetap saja mereka dalam hal ini membawa nafas pemerintahan yang Islami. Kesimpulannya, asalkan ada bukti, maka rakyat pun dapat percaya kepada Islam. Bukti itulah yang patut ditunggu dari partai-partai Islam, menjelang semakin dekatnya Pemilu 2014.